Penulis Menjawab Tantangan
Situasi rawan yang dipercepat oleh pandemi Covid-19 ini membuat banyak penulis berada di tubir jurang. Bahkan, ada di antaranya yang tidak sanggup menghidupi diri sendiri.
Ekosistem kepenulisan di Indonesia sedang terancam. Situasi rawan yang dipercepat oleh pandemi Covid-19 ini membuat banyak penulis berada di tubir jurang. Bahkan, ada di antaranya yang tidak sanggup menghidupi diri sendiri. Festival Bantu Teman, salah satunya, digagas untuk meminimalisasi kerawanan itu.
Sejumlah penulis muda bahu-membahu menggalang donasi, berbagi pengetahuan, dan menyalurkannya kepada para penulis yang sedang membutuhkan bantuan. Mereka mengerjakan segala sesuatu dengan gotong royong dan penuh sukacita demi menjawab seluruh tantangan di depan mata.
Salah satu mata acara dalam festival itu dituangkan dalam perbincangan dengan tema ”Dunia Perbukuan Ableist?” Kata ”ableist” mengacu pada persoalan prasangka sosial yang sering menimpa kelompok disabilitas. Ini ditampilkan sebagai sesi pertama di hari ketiga Festival Bantu Teman, Kamis (16/9/2021) pukul 15.00 hingga 16.30.
Festival Bantu Teman berlangsung selama lima hari, 14-18 September 2021. Acara digelar secara virtual melalui Zoom. Dalam satu hari, kegiatan bervariasi dan berlangsung selama tujuh jam, mulai dari pukul 15.00 hingga 22.00.
Dihadirkan diskusi panel, pertunjukan seni sastra, dan lainnya. Festival ini melibatkan narasumber sekitar 70 pekerja buku, musisi, seniman, pekerja film, dan pegiat literasi. Peserta diberi kesempatan berpartisipasi dan memberikan donasi untuk mengikuti rangkaian kegiatan ini. Diskusi panel ”Dunia Perbukuan Ableist?” menghadirkan narasumber Indah Darmastuti dan Nanik Indarti dengan dimoderatori Muhammad Khambali.
Pegiat literasi
Indah seorang pegiat literasi bagi penyandang disabilitas netra di Solo. Ia mendirikan lembaga Difalitera dan Teras Baca bagi penyandang disabilitas netra. Ia memilih mengganti penggunaan kata disabilitas menjadi difabilitas. Kata disabilitas merujuk pada makna ketidakmampuan, sedangkan difabilitas merujuk pada kemampuan dengan cara berbeda.
”Sejak pertemuan dengan penyandang difabilitas netra pada 2016-2017, kami memperbincangkan soal sastra dan difabilitas,” ujar Indah. Indah merintis kegiatan sastra suara dengan membuat audio karya sastra cerpen, puisi, dan cerita-cerita anak yang ditujukan untuk penyandang difabilitas netra.
Sementara Nanik Indarti seseorang yang memiliki karunia tubuh mini atau achondroplasia. Lulusan pendidikan seni teater di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini merintis Komunitas Unique Project, komunitas teater yang melibatkan para pegiat dengan karunia tubuh mini.
”Saya menulis buku berjudul Aku Perempuan Unik. Di dalam buku itu, saya menunjukkan perempuan dengan tubuh mini setara dengan orang lain. Mereka bisa menjadi guru atau dosen, pegawai negeri sipil, dan sebagainya,” ujar Nanik yang mengumpulkan informasi dari 109 orang bertubuh mini.
Setiap orang dari 109 orang itu memiliki kisah hidup unik dan menarik. Nanik mendorong agar satu per satu di antara mereka juga bisa menuliskan kisah hidupnya menjadi sebuah buku meski tidak mudah karena dihadapkan berbagai tantangan, di antaranya persoalan kepercayaan diri. Aktivisme Indah dan Nanik memberi contoh persentuhan mereka dengan buku dan dunia kepenulisan.
Di situ terlihat pentingnya profesi penulis. Penulis membentuk dan membangun peradaban. Akan tetapi, perubahan zaman seperti di masa pandemi Covid-19 sekarang ini menggiring para penulis independen memasuki situasi yang rawan untuk tumbuh dan merawat keberlangsungan mereka.
Solidaritas
Penyair Mutia Sukma (33) menuturkan riwayat terbangunnya Festival Bantu Teman. Festival ini sebagai ungkapan solidaritas terhadap dunia kepenulisan. Pada awalnya, sekitar tahun 2018, Mutia mulai merintis bersama lima penulis lainnya. Mereka menggalang donasi untuk memberikan pertolongan kepada salah satu penulis yang sedang sakit.
”Penulis independen berbeda dengan jurnalis karena tidak ada perusahaan atau lembaga yang mengurusi kesejahteraannya,” ujar Mutia yang menerbitkan buku kumpulan puisinya 2008-2018 dengan judul Cinta dan Ingatan (2019).
Solidaritas tergalang, tetapi tak berselang lama mereka dihadapkan lagi pada persoalan lain. Kali ini, persoalan keuangan. Mutia kembali membangun solidaritas bersama penulis lain untuk meringankan beban rekan-rekannya sesama penulis.
Waktu berlalu, hingga tahun 2020 memasuki pandemi Covid-19 dijumpai ada penulis terpapar. Solidaritas kembali digalang untuk membantu proses isolasi mandiri bagi penulis itu.
Dari sinilah dibangun kesadaran pertama kali terhadap kondisi penulis yang rawan di masa pandemi. Pada akhirnya, solidaritas itu berkembang. Para penulis menghimpun gerakan melalui media sosial Instagram dengan tagar #temanbantuteman untuk mengumpulkan donasi bagi korban pandemi Covid 19.
Donasi diwujudkan menjadi sumbangan makanan gratis bagi penulis yang terpapar Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri. Publik sukarela memberikan donasi, termasuk melalui program lelang buku. ”Dari sini para penulis menjadi sadar bahwa mereka juga menjadi bagian masyarakat yang rawan. Kami akhirnya tidak hanya memperbincangkan tentang novel, puisi, cerpen, dan sebagainya. Kami mulai memperbincangkan sebuah ekosistem kepenulisan,” tutur Mutia seraya mengutarakan ide tentang koperasi bagi penulis yang saat ini mulai diperbincangkan.
Keterlibatan publik berdonasi lewat tagar #temanbantuteman menarik perhatian banyak orang. Salah satunya, pegiat produksi seni pertunjukan Andintan Mitayani, yang akrab disapa Mitae. Beberapa pekan lalu, Mitae mengusulkan membuat kegiatan yang bisa mengembangkan program donasi #temanbantuteman sekaligus bertujuan mengembangkan ekosistem berkelanjutan bagi penulis.
”Aku melihat semangat teman-teman, kemudian aku menawarkan program yang akhirnya menjadi Festival Bantu Teman ini. Sebelumnya, aku juga melihat ada nama-nama besar yang mau melibatkan diri memberikan donasi lewat tagar #temanbantuteman ini,” ujar Mitae seraya mengirimkan foto dan video proses produksi Festival Bantu Teman.
Penyair Joko Pinurbo menjadi salah satu tokoh yang giat mengikuti gerakan para penulis menjalin solidaritas sekaligus merintis ekosistemnya. Jokpin, panggilan akrabnya, ikut melelang 20 judul buku kumpulan puisinya selama ini. ”Dari buku pertama yang terbit pada 1999 hingga buku terbaru pada 2021, sebanyak 20 judul saya jadikan satu paket untuk dilelang. Hasil lelang paket buku itu Rp 10 juta, lalu disumbangkan untuk gerakan #temanbantuteman ini,” ujar Jokpin yang juga hadir menjadi salah satu narasumber Festival Bantu Teman.
Joko Pinurbo menjadi narasumber di sesi terakhir pada hari kedua dalam perbincangan yang diberi tajuk ”Gelak Sedih, Puisi, dan Pandemi”, Rabu (15/9/2021) pukul 20.30-22.00. Salah satu isinya, Jokpin memaparkan penerbitan buku kedua di tahun 2021 berupa kumpulan 50 puisi terbarunya. ”Puisi-puisi terbaru saya juga banyak berbicara tentang pandemi,” ujar Jokpin.
Jokpin menyebut kondisi penulis seperti anak yatim piatu. Seorang anak yatim piatu tidak ada yang menaungi, tidak tahu harus mengadu ke mana untuk bertahan hidup. Akan tetapi, dunia kepenulisan akan selalu dibutuhkan untuk perubahan peradaban masyarakat.
”Para pekerja kepenulisan membutuhkan jaring pengaman, tidak mungkin terus-menerus mengandalkan saweran,” ujar Jokpin. Demi melangsungkan ekspresi kebebasannya, jaring pengaman bagi penulis juga tidak dimungkinkan datang dari pemerintah. Penulis harus menghindari sebuah ikatan dari pihak lain demi obyektivitas, keberanian, dan kebebasan berpikir tentang luasnya cakrawala kehidupan.