Sejumlah perupa mengintepretasikan tentang relativitas waktu dalam berbagai karya yang ditampilkan dalam Artjog 2021 di Yogyakarta.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Waktu merayap tidak pernah istirahat. Sekian peristiwa terekam sehingga waktu teramat kaya akan kisah manusia. Ketika mempertanyakan waktu lewat seni rupa, ragam keindahan pun terberai. Sekalipun kadang getir, waktu tetap menerbitkan harapan untuk hari esok lebih baik.
Telaah seni rupa tentang waktu itu hadir di perhelatan seni rupa Artjog 2021 di Yogyakarta, yang bertajuk ”Arts in Common-Time (to) Wonder”. Pembukaan dilakukan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno secara daring, Kamis (8/7/2021), di tengah berlangsungnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat di Jawa dan Bali.
Sepanjang PPKM darurat, publik belum bisa mengunjungi pameran secara fisik di Jogja National Museum (JNM) yang melibatkan 41 seniman dari sejumlah daerah. Pameran direncanakan berlangsung hingga 31 Agustus 2021. Di sepanjang PPKM, pameran secara daring dilangsungkan.
”Telaah tentang waktu membuka kesadaran untuk membaca masa lalu dan memproyeksikan masa depan,” ujar kurator Artjog 2021, Agung Hujatnikajennong, dalam perbincangan melalui telepon, Selasa (13/7/2021).
Waktu di masa lampau, kini, dan masa depan, itu semuanya penting. Namun, Agung menggarisbawahi dengan pernyataan ini. Artjog mengajak publik untuk melihat semua waktu. Namun, ada hal yang jauh lebih penting, yaitu mengajak publik menjadi tuan atas waktunya sendiri. Begitu pula, para seniman yang tampil di Artjog diajak untuk menjadi tuan atas waktunya sendiri meski mereka merespons ingatan atau sejarah di masa lalu.
Salah satu seniman yang diundang, Agung Kurniawan (53) atau akrab disapa Agung Leak, menampilkan karya yang diberi judul ”Bolehkah Aku Menari Denganmu Sekali Ini Saja?”. Agung menampilkan lampu gantung dengan baju-baju yang digantung di lampu itu. ”Pakaian-pakaian yang digantung di lampu gantung itu milik para ibu penyintas tragedi 1965,” ujar Agung, yang merampungkan studi arkeologi di Universitas Gadjah Mada (UGM), kemudian menuntaskan pula studi seni grafis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta .
Agung menceritakan insprasi judul ”Bolehkah Aku Menari Denganmu Sekali Ini Saja?” berasal dari kisah Bu Nik, yang memiliki nama Sri Wahyuni, yang meninggal sekitar dua tahun silam. Sri Wahyuni seorang penyanyi langgam Jawa yang memiliki kekelaman hidup akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Agung menelisik kehidupan Sri Wahyuni, yang pernah tinggal di belakang Gedung Jefferson, di seberang Pasar Kranggan, Yogyakarta, sebelum G30S 1965. Gedung Jefferson, yang kini menjadi cagar budaya, dulu dikenal sebagai ruang tahanan warga yang ditangkap dan dituding berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965. Sri Wahyuni melakoni itu hingga kemudian dipenjara tanpa persidangan di Ambarawa selama lima tahun.
”Setelah dipenjara, Sri Wahyuni pulang ke rumahnya. Namun, rumahnya sudah disita negara, sampai-sampai ia berdiam dan menginap di depan rumahnya sebagai bentuk protes yang tidak pernah dihiraukan,” kata Agung, seraya melanjutkan kisah hidup Sri Wahyuni akhirnya terlunta-lunta di tengah Kota Yogyakarta.
Karya Agung ini hanya satu kisah di antara puluhan karya menarik lainnya di Artjog 2021. Di antaranya, Jompet Kuswidananto (45) yang menampilkan seni instalasi yang berjudul ”Love Is A Many Splendored Thing”. Judul ini terinspirasi judul lagu populer yang dirilis di Amerika Serikat tahun 1955.
”Semangat dari karya ini tentang cinta yang mulia, cinta yang megah, sekaligus cinta sebagai akar suatu masalah. Saya menghadirkan dualisme cinta dan horor, cinta dan luka,” ujar Jompet, peserta yang menerima Commission Work atau karya yang dipesan oleh penyelenggara Artjog 2021.
Karya instalasi Jompet menempati ruang berukuran sekitar 15 meter x 20 meter. Pengunjung diajak menikmati rangkaian keindahan yang artistik, romantik, nostalgik, sekaligus menggetirkan. Jompet menyusun seni instalasinya dengan enam karya.
Di balik keindahan yang menggetirkan itu, Jompet menawarkan persoalan pembacaan sejarah yang dituliskan pihak yang menang. Sejarah tidak diberi ruang untuk pihak yang kalah. Sejarah diisi romantisisme dan puja-puji, tetapi menyembunyikan luka dan yang terluka.
Kadangkala orang keliru dengan anggapan ketidakpastian ada di masa depan. Ternyata banyak ketidakpastian pula di masa lalu. Inilah yang direspons peserta Artjog 2021 yang menetap di Bali, Citra Sasmita (31), menyuguhkan karya berjudul ”Timur Merah Project VII: Divine Comedia”.
Citra membuat lukisan dengan gaya tradisi Bali, Kamasan, di sepanjang kanvas berukuran 600 cm x 90 cm. Ada dua tiang antik khas Bali mengapitnya sebagai penanda pintu gerbang memasuki dunia kisah yang dituangkan di kanvasnya itu.
”Karya ini menghadirkan sejarah masa lampau yang memiliki ketidakpastian. Seperti kisah masa lalu Bali sebagai ketidakpastian dari sekadar konstruksi yang dibangun kolonial Hindia-Belanda pada masanya, juga termasuk narasi 1965 yang dipenuhi ketidakpastian,” ujar Citra, yang menekuni penelusuran teks dan naskah lama Bali.
Citra tinggal di Batubulan, Gianyar. Ia menuturkan, di desanya terdapat kuburan massal untuk para korban 1965. Sampai sekarang tidak pernah jelas siapa saja yang dimakamkan di situ serta penyebab kematian mereka. Dari situlah Citra menarik kesimpulan, jangankan sejarah yang sudah berabad-abad silam, sejarah yang ”kemarin” saja masih penuh dengan ketidakpastian.
Peserta lainnya, Nurrachmat Widyasena (31). Seniman yang menetap di Bandung itu menampilkan respons atas waktu dengan karya yang cukup unik. Ia membuat karya simulasi fiksi tentang mesin waktu yang diberi judul ”PT Besok Jaya Operasi Taimket”.
”Saya ingin mengenalkan diri bukan sebagai seniman, melainkan CEO PT Besok Jaya, seorang pengusaha produk mesin waktu,” ujar Nurrachmat, lulusan studi seni grafis di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB).
Nurrachmat menghadirkan rangkaian instalasi sepeda yang diubah menjadi mesin waktu. Kemudian ada kerangka yang memuat jurnal-jurnal pengetahuan dan sebuah instalasi kain spanduk yang dibuat mengerucut. Instalasi kain mengerucut ini disebutnya sebagai lubang cacing untuk memproyeksikan pemetaan video (video mapping).
Dalam merespons waktu, para seniman berusaha menggunakan pisau estetik untuk menggambarkan waktu yang tertinggal dan waktu yang samar-samar di masa depan. Sementara waktu kini, seolah tak mampu menjadi jembatan penghubung untuk sebuah keadilan hidup.
Begitulah cara para seniman menghadirkan kesadaran tentang waktu yang tak selamanya berjalan baik-baik saja. Kita mesti menolehnya setiap saat untuk memastikan bahwa segala sesuatu mesti dibereskan pada akhirnya.