Film animasi Luca dari Pixar mengajarkan nilai-nilai kehidupan seperti impian, persahabatan dan pantang menyerah.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Pesisir wilayah Riviera Italia yang memikat tergambar indah dalam Luca (2021), sebuah film animasi petualangan dari Pixar. Tidak hanya pemandangan dan budaya Italia, Luca menawarkan cerita hangat tentang transisi seorang monster laut menuju kedewasaan selama berpetualang di daratan manusia.
Berlatar di Italia pada akhir 1950-an, Luca mengisahkan petualangan Luca Paguro (disuarakan Jacob Tremblay), seorang monster laut penakut berusia 13 tahun yang penuh rasa penasaran. Tak sengaja ia bertemu remaja monster laut berjiwa bebas, Alberto Scorfano (Jack Dylan Grazer).
Mengikuti Alberto, Luca mendapati mereka adalah makhluk hibrida karena bisa berubah menjadi manusia jika tubuh mereka mengering. Luca dan Alberto ternyata cocok sehingga mulai berteman. Apalagi, mereka sama-sama penasaran dengan kehidupan manusia dan tertarik pada motor skuter Vespa.
Karena ingin berkeliling dunia dengan Vespa, duo ini akhirnya pergi ke kota kecil Portorosso di Riviera Italia. Mereka mendapati manusia ternyata membenci dan memburu monster laut, sama seperti peringatan orangtua Luca.
Luca dan Alberto kemudian bertemu Ercole Visconti (Saverio Raimondo), seorang perundung. Beruntung mereka tertolong Giulia Marcovaldo (Emma Berman) yang juga sering terkucilkan. Luca, Alberto, dan Giulia akhirnya sepakat membentuk tim untuk mengikuti Portorosso Cup Race. Luca dan Alberto mengincar uang hadiah untuk Vespa, sedangkan Giulia ingin mendapatkan rasa hormat warga.
Perjuangan mereka tidak akan mudah. Mereka harus berhadapan dengan Ercole dan tim-nya di perlombaan triatlon. Di samping itu, Luca dan Alberto juga bersusah payah menyembunyikan identitas mereka sebagai monster laut agar tidak diburu.
Luca telah tayang di platform Disney+ sejak 18 Juni lalu. Mengambil latar belakang di Italia, kisah Luca terinspirasi dari masa kecil sutradaranya, Enrico Casarosa, di Genova. Luca menjadi salah satu film Pixar yang mengangkat budaya suatu negara selain film Ratatouille (2007), Brave (2012), dan Coco (2017).
Desainer Produksi Luca, Daniela Strijleva mengatakan, tim-nya berhati-hati dalam memberi nuansa Riviera Italia dalam film. “Pantai-pantai di Cinque Terre memiliki kerikil-kerikil kecil dan tidak berpasir. Warna airnya hijau yang indah dan biru tua, seperti zamrud. Palet-nya sangat hangat dan terdiri dari beberapa warna, mulai dari kuning, warna salmon hingga merah terakota,” tutur Strijleva.
Luca adalah film keluarga. Beberapa nilai yang tersirat dalam film ini adalah impian, persahabatan, dan pantang menyerah. Luca menjalani hidup apa adanya karena takut bereksplorasi. Setelah bertemu Alberto, segalanya berubah. Luca ikut bermimpi untuk menjelajahi dunia dengan vespa.
Luca dan Alberto turut menginspirasi satu sama lain untuk keluar dari zona nyaman. Kepolosan Luca mendorong Alberto menjadi lebih kreatif, sedangkan jiwa bebas Alberto membuat Luca menjadi berani. Mereka juga tidak putus asa ketika menghadapi tantangan, termasuk perundungan, demi meraih mimpi.
Krisis identitas
Luca dan Alberto adalah monster hibrida yang bisa hidup di darat dan laut. Namun, konsep monster tersebut sekaligus bisa menjadi cerminan fenomena krisis identitas kelompok minoritas dalam masyarakat heterogen di dunia nyata.
“Gagasan tentang monster laut sebagai metafora untuk orang yang merasa aneh dan tidak pada tempatnya dalam hidup mungkin cocok untuk banyak orang,” kata sutradara Casarosa yang turut merasakan pengalaman serupa setelah hijrah ke Amerika Serikat dua dekade silam.
Dalam masyarakat heterogen, terdapat relasi sosial antara kelompok mayoritas atau dominan dan kelompok minoritas. James Wilfrid Vander Zanden lewat buku The Social Experience: An Introduction to Sociology (1988) menyampaikan, pembagian kelompok masyarakat tersebut sebenarnya lebih mengacu pada status sosial, bukan berkonotasi pada angka.
Kelompok mayoritas merujuk pada kelompok dengan kekuasaan untuk mengontrol sektor kehidupan, seperti politik, ekonomi, hukum, budaya, dan sosial. Kelompok ini cenderung menganggap kelompok lain sebagai liyan (the others). Perbedaan ini kerap memicu konflik akibat prasangka antara satu sama lain. Kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi juga akhirnya harus beradaptasi agar bertahan.
Dampak relasi sosial itu juga terlihat pada film Luca. Salah satunya ketika tekanan sosial dari kelompok mayoritas (manusia) membuat Luca ketakutan diserang jika identitasnya terbongkar. Dirinya sejenak mengalami krisis identitas sebagai monster laut. Alhasil, persahabatannya dengan Alberto sempat goyah.
Di kehidupan nyata, pergumulan Luca tidak asing. Banyak kasus kaum minoritas harus beradaptasi terhadap tuntutan mayoritas. Di Indonesia, contohnya terlihat pada kasus-kasus dalam berbagai aspek kehidupan, seperti penetapan kulit putih sebagai standar kecantikan, kurangnya fasilitas umum bagi penyandang difabel, hingga pelarangan membangun rumah ibadah agama tertentu.
Luca harus bekerja lebih keras untuk menunjukkan bahwa dirinya sama berharganya seperti manusia. Bahwa seseorang seharusnya dilihat dari kemampuan atau prestasi, bukan dari kekayaan, latar belakang, apalagi penampilan. Luca mengajarkan agar kita jangan pernah menyerah. (ABC News/The Hollywood Reporter)