Gitaris Aria Baron Suprayogi kerap dipanggil Abah atau ayah bukan hanya oleh keluarganya, melainkan juga gitaris lain. Layaknya seorang bapak, Baron menyokong perkembangan musisi lain, juga ekosistem musik Indonesia.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI DAN DWI AS SETIANINGSIH
·5 menit baca
Gitaris Aria Baron Suprayogi memungkasi dedikasinya pada musik Indonesia. Dia berpulang pada Selasa (29/6/2021) pukul 10.15 WIB di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta. Sepanjang hayat, dia dikenal sebagai gitaris yang menyokong ekosistem musik di sekitarnya.
Baron adalah gitaris GIGI di dua tahun pertama usia GIGI terjun di dunia musik Tanah Air. Sekitar lima tahun terakhir ini, Baron aktif menjadi manajer GIGI. Di luar GIGI, Baron aktif bermusik bersama Six Strings Indonesia. Six Strings diawaki Baron, Budjana, Tohpati, Eros, dan Baim.
Baron juga merupakan sosok penting di balik nama-nama seperti /Rif, Wayang, Shiva, Zivilia, Merpati Band, Bambooe, hingga Indonesian Idol Artist, juga proyek solonya, Baron Soulmates.
Baron juga aktif di berbagai organisasi musisi seperti Persatuan Artis Penyanyi Republik Indonesia sebagai government relationship, lalu juga sebagai pendiri Yayasan Bandung Music Council dan pembina Yayasan Seniman Jalanan Indonesia.
Beberapa tahun terakhir, Baron banyak mendedikasikan energinya untuk berkampanye soal perlindungan hak cipta. Jaringannya yang luas membuat Baron juga selalu berada di baris terdepan dalam konser-konser amal untuk para korban bencana di Tanah Air.
Dalam komunikasi beberapa saat lalu, Budjana menuturkan, Baron dirawat di RSAD Gatot Soebroto karena terpapar Covid-19. Baron harus dirawat karena memiliki penyakit penyerta atau komorbid berupa diabetes. Sejak dirawat, Baron berada dalam kondisi tidak sadar karena mengalami gangguan pada paru-parunya.
Selama Baron dirawat, sejumlah kalangan menggelar doa bersama demi kesembuhan Baron. Salah satunya adalah ”Doa untuk Baron” yang digelar secara daring oleh komunitas Resimen Mahasiswa Universitas Parahyangan, Bandung. Hadir dalam kesempatan itu istri Baron, Febrina Ria Dewi; Budjana; dan Tohpati.
Didit Saad, yang tergabung dalam grup Whatsapp berisi para gitaris, menuturkan, Eross Candra dan Endah Widiastuti memulai mengirimkan doa bagi kesembuhan Abah, panggilan dari dua anak Baron—Batara Pascal Suprayogi dan Fabian Rehan Suprayogi—yang diikuti oleh rekan-rekan Baron.
Baron menamai grup Whatsapp itu Gitaris Berbagi Semangat. Kini, kata Didit, nama grupnya berubah jadi Pray for Abah.
”Abah masih membalas dan mengucapkan terima kasih atas doa-doanya. Balasannya begini, ’Terima kasih banyak atas niatannya (berdonasi). Insya Allah aman tenteram (karena) masih ada BPJS’. Dia masih tidak mau merepotkan teman-temannya,” kata Didit, menceritakan unggahan Baron tertanggal 10 Juni 2020.
Jiwa sosial dan pribadi yang terbuka, menurut Didit, adalah karakter Baron yang ia kenang. Tak heran dia mudah bergaul dengan banyak orang, apalagi gitaris, dari berbagai usia, mulai dari yang senior seperti Oele Pattiselanno hingga Iga Massardi dan Gerald Situmorang. ”Dia akrab banget sama Iga,” kata pengamat musik Wendi Putranto.
Mendukung teman
Tohpati, rekan Baron di grup Six Strings, punya pandangan serupa. Baron, menurut Tohpati, adalah sosok yang pandangannya unik. Sosok yang sangat mendukung teman-temannya. Bersama Kompas, Baron menginisiasi ”Konser Amal dari Gitaris untuk Indonesia” pada tahun 2010, 2014, dan 2018.
”Terbukti dia selalu menggagas acara charity untuk korban bencana alam seperti tsunami, juga Covid. Mengumpulkan semua gitaris untuk menggalang dana, dia itu sangat antusias. Selalu nomor satu untuk acara-acara seperti itu. Yang lainnya bisa dibilang hampir nurut kalau sama Baron. Jadi, Baron itu sangat peduli dengan teman dan sangat sosial orangnya,” ungkap Tohpati dengan suara bergetar.
Meski sekilas terlihat galak, Baron sesungguhnya sangat humoris. Di grup Whatsapp Six Strings, Baron adalah maskot. ”Kalau enggak ada dia selalu sepi. Kita selalu chatting hampir setiap hari. Entah ngomongin politik atau alat musik. Dia itu, sebagai gitaris, sangat mengerti soal alat-alat, gitar, efek, sangat maniak. Tiap hari ngomongin gitar-gitar terus. Jadi, buat saya, wawasan untuk gitar, ya, Baron salah satunya,” tutur Tohpati.
Didit Saad mengenal Baron sejak masih nongkrong di Gang Potlot, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Didit adalah ”warga lokal”, sedangkan Baron adalah gitaris dari Bandung yang sering diajak Pay (mantan gitaris Slank) memproduksi lagu. Bukan kebetulan Baron berkawan dengan mendiang Imanez, abang Didit.
”Tongkrongan Potlot itu sering jamming, bisa di studio, atau sering ’membajak’ panggung di Hard Rock Café. Baron selalu ada. Kalau enggak ada vokalis, dia main aja bawain lagunya Jimi Hendrix, atau ’Eruption’ Van Halen. Gue mikir, cadas juga ini gitaris,” kata Didit yang membikin band Plastik pada tahun 1994.
Bertahun kemudian, Didit terlibat di proyek band eVo, semacam ajang pencarian bakat, garapan manajer GIGI, Danny Pete. ”Usut punya usut, rupanya nama gue di-rekomendasiin oleh Abah. Dia juga ngajak gue ikut program charity para gitaris bertahun-tahun kemudian. Dia selalu inget gue,” kata Didit.
Didit juga teringat momen pada Maret 2021 ketika program vaksinasi Covid-19 berlangsung. Baron mengorganisasi sekelompok musisi untuk menerima vaksin dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara. ”Begitu gue sampai lokasi, orang pertama yang gue cari Baron, malah ketemunya anak-anak lain. Gue WA dia. Dia balas, ’Gue nggak vaksin, My Love. Gue ada diabetes.’ Terharu gue. Jiwa sosialnya tinggi banget,” kenang Didit. ”My Love” adalah panggilan mesra Baron untuk kawan-kawannya.
Hak musisi
Di luar kegilaannya pada musik, terutama gitar, Wendi Putranto memandang sosok Baron sebagai musisi berpemahaman bagus tentang industri musik. ”Sebagai musisi kolot, atau old school, pemahaman bisnis musik dia bagus banget,” kata Wendi.
”Dia sangat kritis dan peduli dengan pelanggaran hak-hak musisi di masa lalu. Dia berpikir, jangan sampai anak (musisi) muda mengalami hal seperti itu lagi,” lanjut Wendi. Semenjak bergabung dengan manajemen GIGI, Baron gigih memperjuangkan hak publikasi (publishing) lagu-lagu GIGI.
Dalam sebuah wawancara dengan Kompas pada 11 Desember 2019 di rumahnya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Baron berapi-api membicarakan hak-hak musisi, alih-alih membeberkan kiprahnya di dunia musik sejak awal dekade 1990-an.
”Sekarang ini yang namanya hak cipta itu kacau banget. Kalau di luar negeri, mulai dari sisi penegak hukum, pelaku industri, semua sudah berjalan. Di lingkungan kita, saya enggak tahu, di-biarin atau apa pun itu,” kata Baron yang mendapat gelar magister di bidang Communications Arts, Advertising, di New York Institute of Technology, AS.
Wendi bersama Baron dan sejumlah musisi lainnya ada di garda depan penolakan RUU Permusikan di awal tahun 2019. ”Kami juga pernah keliling lima belas kota di Jawa memberikan penyuluhan industri musik yang sehat agar para musisi dan pelaku di belakangnya sadar pada karya mereka dan menjaga hak-haknya,” kata Wendi yang pertama kali membuatkan akun Twitter untuk Baron bercuap-cuap.
Cuitannya telah berhenti. Tapi, jejak kebaikannya, dan perjuangan bagi hak-hak musisi Indonesia akan dikenang sampai nanti. Sampai jumpa lagi, Abah…. (DOE/HEI)