Film serial dari Korea ”Move To Heaven” mengangkat kisah orang-orang yang meninggal sendirian.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Di balik kemilau sebagai negara maju, Korea Selatan tetap mengalami beragam persoalan sosial. Perkara meninggal sendirian, bunuh diri, kriminalitas, dan ketidakharmonisan keluarga berseliweran di antara gedung-gedung tinggi. Sudah saatnya masalah-masalah ini menjadi perhatian utama.
Selama beberapa tahun terakhir, Korsel berjibaku dengan isu meninggal sendirian (lonely death). Ini adalah fenomena di mana warga meninggal dunia sendirian sehingga jenazah lama baru ditemukan. Korsel mencatat 1.833 kasus meninggal sendirian pada 2016 atau naik hampir 80 persen dibandingkan tahun 2012.
Fenomena yang disebut godoksa itu kebanyakan menimpa orang lansia. Simon Woo dalam Benefits and Challenges of Long Term Self-Tracking to Prevent Lonely Deaths and Detect Signs of Life (2018) menyebutkan, faktor penyebabnya antara lain karena perubahan struktur keluarga, isolasi sosial, faktor budaya, penyakit kronis, dan kemiskinan.
Bunuh diri turut menjadi momok di Korsel selama bertahun-tahun. Mengutip OECD, tingkat bunuh diri Korsel masuk tiga besar sejak tahun 2003. Korsel malah sempat menduduki peringkat pertama selama 2010-2011. Tingkat bunuh diri Korsel sebesar 23 per 100.000 orang pada 2017, sedikit di bawah Lituania yang berada di peringkat satu.
Masih banyak lagi masalah sosial yang terjadi di Korsel. Potret buram kehidupan itu terpapar jelas dalam serial K-drama, Move to Heaven (2021), sebuah konten orisinal Netflix. Disutradarai Kim Sung-ho, serial berisi 10 episode ini sudah bisa ditonton sejak 14 Mei 2021.
Move to Heaven bercerita tentang hidup Han Geu-ru (diperankan Tang Joon-sang) setelah ditinggal mati ayahnya, Han Jeong-woo (Ji Jin-hee). Sebagai penyandang sindrom Asperger, Geu-ru melanjutkan bisnis keluarga, Move to Heaven, untuk membersihkan rumah orang yang meninggal karena berbagai sebab.
Dunia Geu-ru sebagai pembersih trauma perlahan berubah ketika pamannya Cho Sang-gu (Lee Je-hoon) menjadi wali sementara. Sang-gu, mantan narapidana, sangat membenci ayah Geu-ru. Meskipun awalnya ogah-ogahan, Sang-gu akhirnya membantu Geu-ru bekerja.
Berbagai cerita suka dan duka ”klien” mereka terkuak lewat pekerjaan itu. Ada kasus seorang ibu meninggal sendirian karena diabaikan putranya, kepergian perempuan muda karena kekerasan domestik, bunuh diri ganda pasangan lansia, kematian sepi pemuda tanpa kewarganegaraan, dan lainnya.
Tak hanya membersihkan ruangan, Geu-ru mengumpulkan barang-barang berharga para mendiang ke dalam sebuah kotak kuning. Dari situlah, ia berusaha menggali pesan terakhir mereka untuk disampaikan kepada orang terkasih yang membutuhkan jawaban.
Pekerjaan sebagai pembersih trauma memberi persepsi baru tentang hidup, kematian, keluarga, dan cinta kepada Geu-ru serta Sang-gu. Namun, masa lalu kelam Sang-gu perlahan mulai menghantui. Apakah perasaan Sang-gu betul-betul tulus kepada Geu-ru?
Tak hanya membersihkan ruangan, Geu-ru juga mengumpulkan barang-barang berharga para mendiang ke dalam sebuah kotak kuning. Dari situlah, ia berusaha menggali pesan terakhir mereka untuk disampaikan kepada orang terkasih yang membutuhkan jawaban.
Move to Heaven terinspirasi dari esai Things Left Behind karya Kim Sae-byul, salah satu pelopor pembersih trauma di Korsel. Sae-byul mengaku, selalu berusaha vokal mengenai profesi ini kepada publik yang apatis. Namun, ia masih mendapati banyak persepsi negatif soal pekerjaannya dan mendiang.
”Saya merasa rendah hati bisa mengemas kehidupan mendiang dengan membersihkan jejak terakhir mereka. Saya harap serial drama ini dapat terkoneksi dengan penonton dan membantu mereka berpikir serta peduli tentang kematian,” kata Kim Sae-byul, dikutip dari Netflix Asia.
Dukungan sosial
Serial drama ini menunjukkan pentingnya relasi dan dukungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, terutama untuk mereka yang terkucilkan. Salah satu manfaatnya sebenarnya telah terlihat pada sosok Geu-ru sebagai penyandang Asperger yang memiliki kebutuhan khusus.
Sindrom Asperger adalah gangguan saraf yang memengaruhi kemampuan seorang individu dalam berinteraksi sosial. Sejak kecil, Geu-ru telah menunjukan gejala sulit bicara, tidak ekspresif, kurang peka, tidak suka kontak fisik, obsesif, dan senang rutinitas. Namun, ia cerdas, rasional, dan memiliki ingatan fotografis.
Apabila merasa tertekan, Geu-re menyalurkannya dengan mendeklamasikan fakta tentang ikan atau menggetok kepala. Dalam beberapa kejadian, ia sangat bergantung pada ayahnya. Ketika tiba-tiba menjadi yatim piatu, Geu-ru ternyata mampu hidup mandiri meskipun sempat kelabakan dengan kehadiran Sang-gu.
”Sindrom Asperger memainkan peran penting untuk Geu-ru. Tujuan saya adalah mengekspresikan kesedihan melalui Geu-ru yang sangat tenang dan fokus pada pekerjaannya. Mendiang akan tahu setidaknya satu orang akan membaca pesan mereka. Sang-gu adalah kebalikannya, dia naif tentang dunia dan merepresentasikan masyarakat umum yang tidak mengetahui hal ini,” kata sutradara Kim Sung-ho.
Kemampuan Geu-ru untuk mandiri tidak lepas berkat asuhan orangtua yang didukung sahabat dan orang dewasa sekitarnya. Ayah dan ibu Geu-ru mengajarnya agar bisa mencintai, berkomunikasi, mengurus diri, mencari nafkah, dan membantu sesama. Hasilnya, Geu-ru mengerti tentang cinta walaupun menyampaikannya dalam bahasa berbeda.
Move to Heaven sedikit mengingatkan kita kepada film Departure atau Okuribito (2008) dari Jepang yang juga familiar dengan isu meninggal sendirian. Apabila Departure mempersiapkan jenazah, Move to Heaven mengemas barang dan menerjemahkan pesan mendiang. Serial drama ini membawa cerita humanis segar di tengah kejenuhan cerita percintaan K-drama.
”Menonton konten akhir-akhir ini kebanyakan tentang eskapisme, tetapi saya pikir bisa menjadi pengalaman yang lebih baik jika kita menggunakan film ini sebagai kesempatan untuk melihat realitas daripada melarikan diri,” kata sutradara Kim Sung-ho, dikutip dari AsiaOne.