Menuju Reformasi Royalti Musik ”Streaming” di Inggris
Musisi-musisi Inggris kembali menyuarakan reformasi royalti musik di layanan ”streaming” dalam surat kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Mereka ingin pembayaran royalti secara adil.
Kehadiran berbagai platform streaming musik, seperti Spotify dan Apple Music, membawa kemudahan bagi penikmat musik untuk mendengarkan lagu. Namun, di balik itu, pembuat musik di seluruh dunia masih harus bergelut dengan isu pembagian royalti yang adil. Di Inggris, musisi terus mendorong reformasi peraturan tentang royalti musik.
Musisi-musisi Inggris kembali menyuarakan reformasi royalti musik di layanan streaming dalam surat kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Sebanyak 150 musisi ternama Inggris meminta agar hukum berubah mengikuti laju perubahan teknologi guna royalti streaming yang lebih besar bagi musisi, penulis lagu, dan artis.
Beberapa nama besar ikut menandatangani surat tersebut, antara lain Paul McCartney, Chris Martin, Annie Lennox, Roger Daltrey, Lily Allen, Melanie C, Damon Albarn, Noel Gallagher, dan Paloma Faith. Surat itu didukung Musicians’ Union dan The Ivors Academy, organisasi yang mewakili puluhan ribu musisi Inggris, serta bekerja sama dengan kampanye #BrokenRecord.
”Sudah terlalu lama, platform streaming, label rekaman, dan raksasa internet lainnya mengeksploitasi artis dan pencipta tanpa memberi penghargaan secara adil. Kita harus mengembalikan nilai musik ke tempatnya—di tangan pembuat musik,” tulis para musisi dalam surat bertanggal Selasa (20/4/2021) itu.
Saat ini, streaming musik di pasar internasional tercakup definisi ”making available right” atau hak menyediakan. Ini berarti hanya pemilik hak cipta yang menerima pembayaran yang kemudian dibagikan kepada artis sesuai dengan kontrak. Musisi session player (biasanya untuk rekaman) umumnya tidak menerima bagian dari royalti streaming, tidak seperti royalti radio dan televisi di Inggris.
Para musisi pun meminta Pemerintah Inggris untuk mengubah beberapa aspek dalam Undang-Undang Hak Cipta, Desain, dan Paten 1988. Salah satu bagian diusulkan adalah perubahan klasifikasi streaming musik agar sama, seperti kategori penyiaran untuk radio dan televisi di Inggris.
Jika ini terwujud, streaming musik akan tunduk pada prinsip remunerasi yang adil sehingga menjamin royalti kepada para penampil yang ada dalam rekaman lagu. ”Perubahan ini tidak akan membebani pembayar pajak sepeser pun, tetapi akan memasukkan lebih banyak uang ke kantong pembayar pajak Inggris dan meningkatkan pendapatan untuk layanan publik seperti NHS (National Health Service),” bunyi surat itu.
Dalam surat itu, musisi juga mendorong Pemerintah Inggris mengawasi dominasi label besar di pasar dengan lebih cermat. Ini lantaran penulis lagu bisa memperoleh 50 persen pendapatan dari radio, tetapi hanya 15 persen dari streaming.
Karena itu, mereka meminta pemerintah memberi label rujukan langsung ke Competition and Markets Authority (CMA), lembaga pengawasan pasar. ”Kami percaya bahwa pasar yang benar-benar bebas lagu-lagu tersebut akan mencapai nilai yang lebih besar,” tulis para musisi, meskipun sebagian besar juga berasal dari label besar.
Penambahan nama-nama terkenal dalam surat itu, seperti Paul McCartney dan Chris Martin, bisa meningkatkan tekanan kepada pemerintah Inggris untuk bertindak.
Penyelidikan parlemen
Pada 2019, bisnis streaming musik menyumbang pendapatan lebih dari 1 miliar poundsterling atau setara Rp 20,17 triliun. Namun, bahkan dengan total 114 miliar streaming, musisi hanya dibayar sekitar 13 persen dari total pendapatan yang dihasilkan streaming.
Parlemen Inggris pun menggelar penyelidikan dampak ekonomi streaming musik terhadap artis, label rekaman, dan industri musik sejak 2020. Penyelidikan ini, dipimpin Komite Digital, Budaya, Media, dan Olahraga (DCMS), agar pemerintah bisa membentuk kebijakan yang mendorong model bisnis yang adil.
”Meskipun streaming adalah bagian yang berkembang dan penting dari industri musik yang menyumbang miliaran kekayaan global, kesuksesannya tidak dapat mengorbankan artis berbakat dan kurang terkenal. Kami menanyakan apakah model bisnis yang digunakan oleh platform streaming adil bagi penulis lagu dan artis yang menyediakan konten,” ujar Julian Knight, Ketua Komite DCMS.
Penyelidikan tahap pertama DCMS berakhir pada Maret lalu. Menteri Digital dan Kebudayaan Caroline Dinenage telah menyatakan, mendukung rujukan tiga perusahaan musik terbesar, yaitu Universal Music, Sony Music, dan Warner Music, ke CMA.
Saat ini, DCMS tengah menyiapkan laporan final terkait penyelidikan. Total, DCMS menerima lebih dari 200 kesaksian langsung dan tertulis, antara lain dari Spotify, Amazon Music, Apple Music, Youtube, BMG (BMG Rights Management), Beggars Group, Hipgnosis Songs Fund, IFPI (International Federation of the Phonographic Industry), serta sejumlah musisi. DCMS juga telah memanggil tiga label besar.
Namun, selama penyelidikan, label besar terlihat menentang perubahan klasifikasi streaming musik dalam undang-undang hak cipta. Label menyatakan, pembayaran remunerasi yang adil akan menghilangkan pendapatan secara substansial dan mengurangi kapasitas untuk berinvestasi. Kemampuan pemegang hak untuk menegosiasikan perjanjian pemegang lisensi dengan layanan streaming juga akan terbatas.
Berdasarkan data The British Phonographic Industry (BPI), asosiasi perdagangan label Inggris, penerapan remunerasi yang adil di radio dan televisi menghasilkan 110 juta dollar AS pada 2019 atau lebih rendah dibandingkan streaming yang sebesar 812 juta dollar AS. Adapun anggota BPI adalah label-label musik, termasuk tiga perusahaan musik terbesar di Inggris.
”Artis mungkin menerima bagian yang lebih besar di bawah sistem remunerasi yang adil itu. Namun, jumlah itu akan menjadi bagian yang besar untuk ’kue’ yang lebih kecil,” bunyi pernyataan Sony Music.
Peran layanan ”streaming”
Dalam survei kolaborasi dari kampanye #BrokenRecord, Musicians\' Union, dan The Ivors Academy pada 2020, mayoritas konsumen musik di Inggris sepakat bahwa artis dibayar rendah oleh layanan streaming. Dari 2.000 orang yang disurvei, 77 persen yakin layanan streaming tidak cukup membayar artis dan 76 persen yakin hal serupa menimpa pada penulis lagu.
Pendapat ini muncul setelah responden diperlihatkan pembagian royalti streaming. Secara umum, pembagiannya terdiri dari, 41 persen untuk label rekaman, 29 persen untuk layanan streaming, 16 persen untuk artis yang tampil, dan 14 persen untuk penulis lagu. Tidak ada pendapatan untuk musisi session player.
Responden juga diberi tahu bahwa beberapa label independen mungkin menerima bagian pendapatan yang lebih kecil. Ada juga kemungkinan artis independen menerima bagian yang lebih besar.
Hasil survei itu mendukung kampanye #BrokenRecord. Kampanye #BrokenRecord adalah sebuah kampanye yang dimulai dengan tagar di Twitter oleh musisi Tom Gray. Kampanye ini menyentuh hati para musisi yang merasa frustasi karena kecilnya pendapatan streaming diperburuk dengan kehilangan pendapatan tur selama pandemi.
”Tanpa pendapatan tur, streaming adalah sumber nafkah, kecuali pemerintah memberikan bantuan. Dan coba tebak? Streaming itu kacau,” ujar Gray, anggota grup musik Gomez.
Survei #BrokenRecord juga menemukan, sekitar sepertiga responden akan membayar harga lebih tinggi jika uang hanya diberikan kepada artis yang mereka streaming. Responden juga lebih memilih metode pembayaran yang berbasis pengguna yang membuat pelanggan hanya membayar langsung kepada artis.
Saat ini, layanan streaming, seperti Spotify, Deezer, dan Apple, menempatkan pembayaran royalti ke dalam satu wadah besar atau semacam sistem pooling. Total royalti itu kemudian dibagikan berdasarkan artis mana yang paling banyak diputar secara global. Baru SoundCloud, dari Jerman, yang mencoba menerapkan sistem baru di mana pembayaran setiap pengguna akan diberikan langsung ke 100.000 musisi indie pada tahun ini.
Baca juga: Soundcloud Jadi Aplikasi Musik Pertama yang Memihak Musisi
Gray melanjutkan, karena itu, opsi terakhir untuk reformasi royalti berada pada investor layanan streaming, khususnya di Spotify. ”Anda pasti berharap suatu saat mereka akan sadar. Mereka perlu diberi tahu bahwa ini bukan investasi yang etis,” ujar Gray. (BILLBOARD)