Pilih Film Favoritmu di Europe on Screen melalui Internet
Internet meringkas bentangan waktu dan jarak. Kerumitan penyelenggaraan festival film, seperti Europe on Screen, juga bisa ditangani walau pandemi masih menghantui.
Berbahagialah mereka yang memiliki sambungan internet stabil di rumah masing-masing. Mereka leluasa mengakses tontonan untuk menghalau kejenuhan selama berdiam di rumah akibat pandemi Covid-19. Film-film bagus dari Benua Eropa dalam festival Europe on Screen menambah kesenangan itu.
Selama 19 kali penyelenggaraannya, Europe on Screen (EoS) selalu berlangsung di ”jalur darat”. Film-filmnya diputar di sejumlah bioskop dan juga pusat-pusat kebudayaan yang dikelola kedutaan negara Eropa. Itu pun ”hanya” terjadi di beberapa kota di Indonesia. Pada 2019, festival ini menghampiri publik di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Medan, Denpasar, Yogyakarta, dan Surabaya.
Di tahun yang spesial ini, penyelenggaraan EoS semula dijadwalkan berlangsung 9-19 April 2020. Pembatasan jarak sosial demi mencegah meluasnya pandemi memustahilkan itu terjadi. Akhirnya, pada 16-30 November, festival ini pun bisa terjadi jua meski melalui jaringan internet karena pandemi tak kunjung usai.
”Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun penyelenggaraan, seluruh pemutaran film berlangsung secara virtual untuk menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Tentunya kita akan merindukan layar perak dan hiruk-pikuk memasuki ruangan sinema. Namun, kami akan mengompensasikannya dengan menyajikan pilihan film terbaik dan terbaru dari Eropa,” kata Vincent Piket, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, dalam siaran pers saat pembukaan Europe on Screen, Senin (16/11/2020).
Memang ada untungnya juga festival ini berlangsung secara virtual. Penikmat sinema yang tidak tinggal di kota-kota yang pernah disinggahi EoS sebelumnya jadi bisa ikut menonton. Piket menyebutkan, EoS tahun ini bisa ditonton dari seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua.
Tahun ini, ada 40 judul film yang bisa ditonton, terdiri dari 30 film cerita dan 10 film dokumenter. Ada satu judul lagi yang merupakan kompilasi dari tiga film pendek bikinan sineas dalam negeri yang terjaring dari program Short Film Pitching Project tahun lalu. Kompilasi film pendek ini ditayangkan mulai Rabu (25/11/2020) pukul 16.30.
Festival ini dibuka dengan pemutaran film dari Swedia, Swoon, pada 16 November lalu. Menurut rencana, festival akan ditutup dengan film How About Adolf? bikinan sineas Jerman. Film unggulan lainnya adalah Corpus Christi dari Polandia yang akan mengikuti seleksi Piala Oscar di kategori film cerita internasional. Corpus Christi akan diputar pada Minggu (29/11/2020).
Sewa tapi gratis
Daftar film dan jadwalnya bisa disimak di situs europeonscreen.org. Namun, untuk menonton, pengunjung situs akan diarahkan ke situs festivalscope.com. Calon penonton diharuskan membuat akun terlebih dahulu di situs yang memanggungkan beberapa festival film internasional itu.
Setelah punya akun, calon penonton bisa memilih film dengan sistem sewa. Tenang saja, tak ada biaya sewa alias gratis. Film yang telah disewa mulai bisa ditonton menyesuaikan jadwal pemutaran. Penyewaan masih berlaku hingga lima hari setelah jadwal. Jika sudah mengklik tombol ”Play”, film akan bisa ditonton dalam waktu 30 jam; terserah mau menontonnya berapa kali.
Kualitas gambarnya bervariasi, mulai dari resolusi rendah hingga tinggi (720 piksel). Penonton bisa juga memilih fungsi otomatis menyesuaikan kecepatan koneksi internet. Jadi, film bisa ditonton di layar ponsel, tablet, laptop, ataupun televisi.
Dalam penyelenggaraan di tahun-tahun sebelumnya, selalu ada bincang-bincang dengan pihak yang terlibat dalam pembuatan film, baik itu sutradara, produser, maupun pemerannya. Mata acara itu tetap diadakan di tahun ini. Mediumnya adalah aplikasi Zoom.
Pada Selasa (17/11/2020) petang, misalnya, salah seorang pengarah festival, Nauval Yazid, berbincang-bincang dengan Miia Tervo, sutradara dan penulis naskah film Aurora yang tinggal di Finlandia. Film itu baru ditayangkan dua jam sebelumnya.
Penyelenggara tak perlu mendatangkan Miia ke Indonesia. Durasi obrolan pun tak mengikat ketat. Miia bisa segera mengurus bayinya yang baru berumur tiga bulan setelah diskusi selesai.
Terbukti, internet bisa meringkas bentangan seperti waktu dan jarak. Kerumitan penyelenggaraan festival film, seperti EoS, juga bisa ditangani walau pandemi masih menghantui.
Film bergenre komedi romantis pada umumnya bisa disimak sambil lalu saking ringannya. Namun, film Aurora (2019) punya bobot lebih. Tak cuma romantisme, film seratusan menit ini juga menyinggung isu migrasi dan feminisme dalam takaran pas.
Jelang Natal di Lapland, Finlandia, tahun itu tak terlalu menyenangkan bagi Aurora (Mimosa Willamo). Kamar kontrakan ayahnya disita seminggu lagi. Sang ayah pengangguran dan sudah terlalu gemuk serta malas untuk bekerja serabutan. Kebutuhan hidup ayahnya disokong oleh upah Aurora dari berbagai pekerjaan: perias kuku, kasir supermarket, dan terakhir pengasuh konglomerat tua.
Aurora adalah perempuan muda berjiwa merdeka. Hampir setiap malam dia minum-minum di bar, sekadar menghangatkan badan, sekaligus mengalihkan beban pikiran. Dia bisa pulang ke mana saja, berpindah-pindah ke mana hatinya ingin. Pun begitu, hidup di Lapland sedang tak terlalu menyenangkan baginya.
Di tempat lain, Darian (Amir Escandari) gelisah mencari tempat tidur yang nyaman untuk putri delapan tahunnya, Azar. Pusat penampungan imigran, tempatnya singgah, sudah terlalu penuh orang dewasa. Lingkungan tersebut tak sehat buat putrinya.
Pada suatu malam, Aurora dan Darian bertemu di kedai fast food, ketika sama-sama sedang mengasingkan diri sejenak dari keriuhan pikiran. Mereka berbagi kegetiran. Aurora bilang ingin pindah ke Norwegia demi hidup yang lebih layak. Darian mengutarakan niat bunuh diri agar anaknya mendapat suaka dari Finlandia.
Di negara asalnya, Iran, Darian adalah penulis dan penerjemah. Dia juga pernah merantau ke Turki menjadi tukang panggang roti. Namun, bekal kemampuan itu tak menjamin hak-hak hidupnya tercukupi di Finlandia, tanah harapan bagi dia dan putri kecilnya. Dia terganjal stigma sebagai kriminal.
”Aku cuma punya dua pilihan di sini: bunuh diri atau menikah dengan warga sini,” kata Darian dalam pertemuan keduanya dengan Aurora, di tempat yang sama, yang lagi-lagi tidak sengaja. Imigran asal Iran ini menawarkan 3.000 euro untuk Aurora kalau bisa mencarikan istri baginya. Karena Aurora butuh uang, mereka bersepakat.
”Kuberi tahu tentang perempuan Finlandia. Satu, jangan lihat mereka dengan tatapan mesum. Dua, kami tidak suka disentuh duluan. Biarkan kami menyentuh kalian lebih dulu,” kata Aurora menjelaskan syarat kesepakatan mereka.
”Memangnya siapa yang melihat kalian dengan tatapan mesum?” tanya Darian.
”Kamu, dan kaummu (para lelaki),” jawab Aurora ketus.
Kelucuan demi kelucuan terurai dari upaya mencari istri ini. Kencan dengan kolektor cangkir gagal. Pernikahan dengan lesbian tua urung terjadi karena calon mempelai wanita meninggal di perjalanan menuju altar. Darian juga emoh sama perempuan over simpatik pada status kepengungsiannya. Sementara Darian dan Aurora makin akrab.
Formula komedi dan romantisisme terpenuhi. Namun, film ini menimbulkan rasa berbeda dengan kebanyakan film berjenis serupa. Gambar-gambarnya tak seterang benderang film yang dibintangi Jennifer Aniston, misalnya. Dibandingkan dengan film-film dari kawasan utara Eropa, film ini juga menyuguhkan warna yang lebih variatif. Gincu merah dan pendaran lampu neon di kelab malam dikontraskan dengan putihnya salju.
Film jujur
Miia Tervo, sutradaranya, kebetulan berasal dari Lapland, kota yang menjadi latar lokasi film panjang pertamanya ini. ”Lapland itu seperti Las Vegas kalau di Amerika Serikat. Kehidupan malamnya sangat meriah, cenderung liar. Orang-orang datang ke kota ini untuk berpelesir,” kata Miia dalam konferensi jarak jauh pada Rabu (18/11/2020) petang waktu Jakarta. Lapland berjarak sekitar 1.000 kilometer ke arah utara dari ibu kota Helsinki.
Kisah itu juga ia angkat dari pengalaman sepupunya, yang berkenalan dengan suami—pendatang dari Aljazair—di supermarket. Dia merasa fragmen serupa bisa terjadi di belahan dunia mana pun. Orang bertemu dan jatuh cinta adalah hal biasa. Peristiwa-peristiwa yang menyertainyalah yang bisa membuat kisah itu menarik dituliskan.
Walau bersumber dari lingkungan terdekat, Miia membutuhkan waktu tujuh tahun merampungkan film ini. Proses penulisan makin lancar ketika dia memutuskan menjadikan film ini sebagai komedi romantis—ranah yang berjarak dari reputasinya sebagai sutradara film nyeni (art-house).
”Aku ingin membuat film tentang perempuan sebagai perempuan, bukan perempuan sebagai obyek hasrat. Aku ingin membuat karya yang jujur,” ujarnya.
Hasilnya, film yang pertama kali dirilis pada Januari 2019 ini menyabet sejumlah penghargaan, salah satunya adalah Film Panjang Terbaik di Festival Film Internasional Edinburgh tahun 2019. Kata Miia, film ini tergolong film terlaris di Finlandia, termasuk Lapland.
Aurora adalah satu dari 41 film yang diputar di ajang festival film Europe on Screen (EoS) 2020. Pada tahun ini, festival yang telah memasuki penyelenggaraan ke-20 ini berlangsung secara daring. Meskipun demikian, kuota penonton untuk setiap film terbatas. Film Aurora adalah salah satu yang laris.
Film lain yang kuotanya juga sudah penuh adalah Bad Poems (2018). Film ini bikinan sutradara Gabor Reisz asal Hongaria. Bukan cuma menjadi sutradara, Gabor juga menulis naskah dan menjadi pemeran utamanya.
Kisah Bad Poems berpusat pada kehidupan Tamas. Pada usia 33, Tamas mengunjungi kekasihnya, Anna (Katica Nagy), yang sedang melanjutkan kuliah di Paris, Perancis. Alih-alih bermesraan di negeri puitik itu, Anna justru meminta putus dari Tamas. Dia lalu pulang ke Hongaria dengan perasaan masygul.
Putus cinta membuat Tamas mengenang kembali episode-episode kehidupannya. Dia mengingat-ingat peran orang-orang terdekat dalam hidupnya, mulai dari orangtua, adik, cinta monyetnya, sampai guru komputer di sekolah. Penonton diajak berkenalan dengan Tamas usia 4 tahun, 7 tahun, 14 tahun, dan 17 tahun.
Alur ceritanya maju dan mundur, tapi tak membingungkan. Penandanya jelas: pilihan nuansa warna dan dekorasi. Guyonannya satir, apalagi kalau bersinggungan dengan perihal cita-cita. Bangunan naskah dan penyuntingan gambarnya berhasil meyakinkan penonton bahwa Tamas adalah pemuda kebanyakan: jatuh cinta, patah hati, gusar di pergaulan, dan impian yang kandas.
Festival Europe on Screen masih berlangsung sampai Senin (30/11/2020). Masih banyak film bagus yang bisa disimak gratis dari situs festivalscope.com. Salah satu film unggulan yang bakal menjadi penutup rangkaian festival ini adalah fim Corpus Christi (2019) bikinan sutradara Polandia, Jan Komasa. Film itu mewakili Polandia di kategori film internasional pada Piala Oscar 2020. Siapkan kuota internet dan pastikan mendaftar dulu agar tak kehabisan jatah menonton.