Jatuh Cintalah Kepada Naskah!
Lomba Pentas Drapen, singkatan drama pendek, dengan naskah karya Putu Wijaya usai sudah. Sebanyak 22 kelompok teater dari berbagai kota di Indonesia purna menunaikan tugas mereka selama tiga hari. Saatnya salah satu anggota dewan juri, Cobina Gillit dari Universitas New York Amerika Serikat memberi tiga hal kesan dan pesan, hingga ia menyebutkan yang terpenting, “Jatuh cintalah kepada naskah!”
“Yang pertama, jangan berpikir lebih tahu dari si penulis naskah. Yang kedua, sebagai grup jangan takut mendiskusikan naskah bersama-sama. Yang ketiga, ini yang saya rasa terpenting, jatuh cintalah kepada naskah,” ujar Cobina di panggung pentas Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Kamis (12/4/2018) sore.
Persoalan pertama, Cobina melihat adanya pengurangan dan penambahan materi di dalam naskah dilakukan sebagian besar peserta. Mereka dinilai merasa lebih tahu ketimbang disiplin dan taat pada apa yang dimaui penulis naskah.
Pada persoalan kedua, ini terkait dari persoalan pertama. Dengan kemampuan mengurangi atau menambah, menginterpretasikan naskah, jadi berkuranglah intensitas berdiskusi di dalam kelompok.
Gemas
Apa yang menyebabkan itu semua terjadi? Cobina merumuskan itu karena para peserta tidak jatuh hati kepada naskah. Maka ia menyarankan untuk jatuh hatilah kepada naskah. Jatuh cintalah kepada naskah!
“Kalau tidak cocok dengan satu naskah, bisa diganti dengan naskah yang lainnya. Banyak sekali naskah drapen yang saya berikan,” ujar Putu Wijaya (74).
Mengalir kemudian analisis Putu serupa Cobina. Putu menekankan, Lomba Pentas Drapen ini senyatanya bukanlah sebuah kompetisi.
Agenda ini serupa dengan pelatihan pentas teater. Lantas pantas jika kritik demi meningkatkan kualitas pentas disampaikan.
“Saya gemas. Mereka itu seperti sedang naik mobil bersama-sama, lalu mau masuk jurang. Kita harus memegang kendali sopir mereka supaya tidak masuk jurang,” ujar Putu.
Putu menyoroti para peserta memiliki gejala tidak peduli naskah, malas, ada rasa sombong, merasa kurang waktu hingga cenderung mencoba-coba. Mungkinkah ini gejala yang umum terjadi pada generasi muda sekarang?
Semangat hebat
Ketua Dewan Juri Gandung Bondowoso, akademisi teater dari Institut Kesenian Jakarta, turut menyampaikan pesan dan kesannya, sebelum menyampaikan empat kategori pemenang lomba. Keempat kategori itu meliputi Pemeran Wanita Terbaik, Pemeran Pria Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Kelompok Teater Terbaik.
“Kalian semua memiliki semangat yang hebat. Tetapi, semangat hebat harus didukung pengetahuan,” ujar Gandung.
Gandung memberi contoh. Di naskah Maling Malang, ada adegan yang hampir semua pementas melewatkan.
Adegan itu ketika si nenek mengetahui orang yang diajak ngomong, membantunya mencarikan sesuatu, hingga memijit kakinya, itu ternyata seorang pencuri yang ingin menjarah isi rumahnya.
Setelah sadar ada pencuri di rumahnya, serta-merta si nenek gemetaran terkencing-kencing. “Jangan takut,” kata pencuri.
Nenek itu bilang, “Saya tidak takut.”
“Mengapa gemetaran?” tanya si pencuri.
“Aku kebelet kencing....” ujar si nenek.
“Anjriiiit,” kata si pencuri.
Dari sinilah, Gandung tidak melihat pengungkapan dialog itu secara tuntas. Kata pendek “anjriiiiit”, bagi Gandung itu sangat penting untuk ditampilkan dan layak mendapat tekanan kuat.
“Itu tidak ada di hampir semua pementasan naskah Maling Malang,” kata Gandung.
Linier
Naskah Maling Malang bertutur tentang seorang maling yang mendapati rumah seorang nenek dalam kesendirian. Pencuri itu tidak tega membiarkan derita nenek itu. Si pencuri pun iba dan membantu nenek dalam mengatasi beberapa kesulitannya, hingga akhirnya ketahuan nenek itu kalau dia seorang pencuri.
“Kecenderungan pementasan naskah-naskah Putu Wijaya ini juga berlangsung linier,” kata Gandung.
Saat ini Putu Wijaya memiliki 147 judul naskah drapen yang bebas dipilih untuk dipentaskan. Menurut Gandung, para peserta memiliki keleluasan untuk memutuskan jatuh cinta kepada naskah.
Dari sebanyak 147 naskah drapen karya Putu Wijaya itu kemudian dibukukan sebanyak 100 karya drapen. Peluncuran Buku “100 Drapen (Drama Pendek) karya Putu Wijaya pun dilangsungkan usai pementasan.
Putu Wijaya menuliskan, drama pendek itu semacam cerpen. Durasinya pendek. Cenderung mengutamakan ide dengan kemungkinan pemaparan visual yang sederhana.
Drama pendek itu berkutat di sekitar berbagai persoalan remeh-temeh yang sepele, tetapi kadang lucu kadang aneh. Toh, mendadak bisa bikin “onar”.
“Demikianlah. Teror mental tidak berarti sebagai gerakan radikal yang menghancurluluhkan, tapi sapa usil yang berhajat membuat ngeh,” kata Putu.
Drapen, bagi Putu, juga adalah titipan pada seni pertunjukan bahwa tontonan bisa dibuat dengan murah dan mudah. Kebersahajaan tidak selalu bertolak pada perlawanan dari kemiskinan dan kebodohan.
Para pemenang
Para peserta Lomba Pentas Drapen dari berbagai kota itu mencakup kelompok teater Ruang Karakter, Teman Sepanggung, Teater Terjal, Teater GBB, Teater Solid, Sanggar Mini Teater, Teater Gemblong, Teater Alam Banda Aceh, Rintis Teater, Sanggar Seni Lentera, Komunitas Seni Lobo, Sanggar Teater Gerilya, Teater KPS, Teater Kafe Jakarta, dr_Teater, Metateater, Teater Tempoe Doeloe, Teater SD 30 Senja, Teater KJP, Teater Kota, Teater Omarbakri, Teater Taring, Teater Kaca, Teater Castra Mardika.
Menyimak dua pementasan terakhir. Kelompok teater Sanggar Seni Lentera dari Palu, Sulawesi Tengah, memanggungkan naskah Maling Malang.
Mereka tampil memukau. Tetapi, kejelian seperti diungkap Gandung terasa sedikit benar. Seperti kata “anjriiiit”, tidak menjadi pilihan dialog kuat.
Jose Rizal Manua, salah satu anggota dewan juri memberi kiat tersendiri. Ketika kalimat di dalam naskah tidak terasa penting, sampaikan dengan cepat. Ketika kalimat itu dianggap penting, sampaikan lambat. Ketika dianggap sangat penting, sampaikan kalimat itu dengan lambat hingga sampai diheningkan.
Pemeran terbaik
Pentas terakhir oleh kelompok Sanggar Mini Teater dari Rengat, Riau, mengambil naskah berjudul Alung. Alurnya terasa linier. Mungkin saja dialog yang terjadi itu taat dan disiplin terhadap naskah. Namun, justru di situ pengungkapan pesan sederhana yang dibuat memuncak terasa kurang kuat dan kentara.
Terlepas dengan semua kekurangan, terlahirlah para pemenang. Dewan Juri menetapkan Dewi Qurrota Ayun dari Sanggar Seni Lentera Palu sebagai Pemeran Wanita Terbaik. Djamal Syarief dari Teater Alam Banda Aceh menjadi Pemeran Pria Terbaik. Harry Akbar Taher dari Teater Castra Mardika, Jakarta, terpilih sebagai sutradara terbaik. Untuk kategori Grup Terbaik jatuh pada kelompok Teater SD 30 Senja, Jakarta.
Seperti kata Cobina, berteater dengan naskah karya orang lain bukanlah hal sederhana. Tetapi, semua tetap memungkinkan untuk ditamppilkan secara sempurna. Asal saja, diawali pertama kali dengan jatuh cinta.... Jatuh cinta kepada naskah!