Terlalu Patuh Bisa Menyengsarakan
Di film ”Perjalanan Pembuktian Cinta”, kepatuhan anak dan ambisi orangtua bermuara pada pernikahan paksa.
Potongan adegan film Perjalanan Pembuktian Cinta yang tayang di bioskop Indonesia mulai 7 Maret 2024. Film ini diperankan, antara lain, oleh Dea Annisa, Yayu Unru, Donny Damara, dan Teuku Ryan.
Saat agama mengajarkan hal mulia, beberapa orang justru memoles agama demi memuluskan kepentingan pribadi. Orang-orang dimanipulasi dengan dalih cinta terhadap Tuhan dan keluarga. Dalam kasus ini, tak ada salahnya membangkang.
Minimnya pemberontakan menjadi awal bencana Fathia (diperankan Dea Annisa, dulu dikenal sebagai Dea Imut) dalam film Perjalanan Pembuktian Cinta. Fathia selama 20 tahun hidup lurus dan menjadi hafizah atau penghafal Al Quran. Ia juga mengabdi di pesantren.
Hidupnya sehari-hari hanya berkutat di pesantren dan rumah. Walakin, ia punya mimpi besar untuk kuliah di Kairo, Mesir. Pada saat yang sama, hatinya berdesir saat Raehan (Teuku Ryan) secara terang-terangan mengejar cinta Fathia.
Belum sempat asmara kedua muda-mudi ini mekar, ayah Fathia, Syukron (mendiang Yayu Unru), rupanya sudah sepakat menikahkan Fathia dengan pria tua beristri bernama Satya (Donny Damara). Alasannya, pria ini bibit, bebet, bobotnya bagus. Fathia menolak, tetapi bapaknya menutup telinga. Rupanya Syukron sudah dijanjikan harta ini-itu oleh Satya.
Film berdurasi 2 jam 9 menit ini terasa panjang dengan penderitaan Fathia yang terseret pernikahan paksa. Drama semakin panjang karena pernikahan ini disembunyikan dari istri pertama Satya (Vonny Anggraini).
Pernikahan ini sebetulnya ditentang ibu Fathia (Elma Theana), tetapi dibungkam Syukron. Alasannya sederhana: Syukron kepala keluarga dan keputusannya adalah mutlak. Yang jadi korban pada akhirnya adalah Fathia.
Baca juga: Menjajakan Indonesia lewat Film
Jalan cerita film ini sebetulnya bisa ditebak, bahkan cenderung klise. Filmnya sudah bisa dipastikan happy ending lantaran ada kutipan di awal film, juga di poster film. Kutipannya berbunyi, ”Menjalani jalan pilihan-Nya tidaklah selalu mudah, tapi pasti selalu indah”.
Cerita yang tertebak rupanya tak membuat pengalaman menonton lantas mulus. Ada beberapa jeda canggung dan bahasa tubuh yang juga canggung dari pemeran sebelum masuk ke dialog selanjutnya. Hal ini sekilas mengingatkan pada pengalaman menyimak sinetron.
Adaptasi dari novel
Film garapan sutradara M Amrul Ummami ini diangkat dari novel bertajuk Perjalanan Pembuktian Cinta karya Nusaibah Azzahra. Amrul menyederhanakan cerita di dalam novel yang memiliki linimasa panjang. Ia mengambil beberapa adegan di dalam novel dan mengubah nama tokoh untuk diangkat di film. Adapun novel ini berdasarkan kisah nyata sang penulis.
Hal ini mengingatkan bahwa pernikahan paksa masih terjadi. Pernikahan ini umumnya diawali dengan perjodohan yang tak diinginkan. Korbannya bisa siapa saja, termasuk perempuan dan anak-anak. Di Nusa Tenggara Timur, pernikahan paksa dianggap sebagai tradisi bernama kawin tangkap.
Beberapa pihak mengecam kawin tangkap. Mereka juga menganggap kawin tangkap sebagai kekerasan yang dibalut budaya. Adapun perempuan yang jadi korban mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Di sisi lain, perempuan yang kabur dari kawin tangkap dianggap tidak suci karena sudah tak perawan dan hidupnya akan sial.
Baca juga: Kawin Tangkap Bertentangan dengan Tujuan Perkawinan
Meski beda kasus, posisi Fathia di film sama rentannya dengan korban kawin tangkap. Di sisi lain, film Perjalanan Pembuktian Cinta menimbulkan banyak pertanyaan lantaran sebagai anak, Fathia kelewat patuh. Padahal, perintah bapaknya bikin dahi mengernyit. Menyengsarakan pula. Kenapa tidak melawan dengan sedikit lebih gigih?
Walau logika meronta-ronta, ini bagian dari realitas. Dunia kini memang progresif dengan narasi demokrasi, kesetaraan jender, dan pemberdayaan perempuan. Tapi nyatanya, narasi ini tidak menyentuh semua orang. Pada akhirnya, selalu ada perempuan yang dibuat tak berdaya melawan ketidakadilan.
Kondisi ini dipengaruhi banyak hal, termasuk ajaran agama untuk berbakti kepada orangtua. Kuatnya budaya patriarki juga berperan dalam hal ini. Artinya, perempuan tidak dianggap sebagai subyek yang setara dengan lelaki, termasuk dalam tatanan keluarga.
Di sisi lain, pola asuh yang membiasakan anak patuh kepada orangtua juga membuat diskusi dan negosiasi sulit dilakukan. Kalaupun dapat bersuara, anak bisa dianggap durhaka atau membangkang.
Kondisi semakin runyam saat pernikahan atau perjodohan dibalut dengan narasi agama. Padahal, pernikahan paksa tak dibenarkan agama, bahkan melanggar hak asasi manusia.
Seharusnya kejadian yang dialami tokoh utama film ini tidak boleh terulang lagi.
Sutradara Amrul menyadari, film yang ia garap ini juga terjadi di dunia nyata. Ia berharap filmnya bisa jadi referensi bagi masyarakat untuk bersikap jika melihat atau mengalami ketidakadilan.
”Di film ini ada seorang ayah dan suami yang memaksakan sikap ke keluarga, tetapi anak dan istri berusaha tegar meski melawan,” kata Amrul secara tertulis, Rabu (20/3/2024).
”Bisa jadi ini kurang tepat. Bisa jadi harusnya melawan dan kabur saja dari masalah. Namun, kami ingin menyorot bahwa seharusnya kejadian yang dialami tokoh utama film ini tidak boleh terulang lagi. Ayah dan suami tidak berhak semena-mena memimpin keluarga. Istri dan anak juga bisa berpendapat dan gigih memperjuangkan kebenaran, dan bisa meminta bantuan pihak ketiga untuk mediasi,” ucap Amrul.
Diminati pasar
Walau bikin geregetan dan minim efek kejutan, film Perjalanan Pembuktian Cinta cukup diminati publik. Sejak rilis pada 7 Maret 2024, filmindonesia.or.id mencatat hingga 18 Maret 2024, film bergenre drama ini telah disaksikan 77.820 penonton.
Film ini juga mendapat rating 9,6 di IMDb. Para penonton—yang rata-rata adalah perempuan Muslim—juga memberi ulasan positif di media sosial.
Adapun Amrul menyebut target pasar utama film ini umat Islam dan perempuan. Kebetulan pula film ini tayang di bulan Ramadhan sehingga menonton film ini disamakan dengan ngabuburit.
Pengamat film Hikmat Darmawan mengungkapkan, meski tak ada yang istimewa dari film ini, tetapi ada ”tombol-tombol” emosi yang membuat penonton terlibat secara emosional pada konflik di dalam film. ”Selling point utama (film ini) memang melodrama seputar poligami, dan itu sedang ’naik’ lagi,” ucap Hikmat, Kamis (21/3/2024).
Ia menambahkan, genre melodrama religi termasuk genre aman bagi produser film karena cenderung laris. Tanpa promosi pun, penonton film genre ini bisa mencapai 2-3 juta penonton atau minimal 200.000-300.000 penonton.
Film melodrama religi pernah ”meledak” di Indonesia saat Ayat-ayat Cinta rilis pada 2008. Publik menyambut film ini dengan antusias, bahkan rela membayar kursi tambahan di bioskop. Film besutan sutradara Hanung Bramantyo tersebut masuk dalam jajaran film laris Indonesia. Penontonnya mencapai 3,7 juta orang.
”Sejak Ayat-ayat Cinta, genre melodrama agama (Islam) telah punya pasar sendiri yang cukup besar. Demografinya lumayan luas, termasuk mereka yang bukan penonton bioskop rutin, atau malah hampir tak pernah lagi ke bioskop, misalnya ibu-ibu pengajian. Tapi, demografi utama penonton film Indonesia yang berusia 15-25 tahun rupanya cukup banyak jadi pasar genre ini (melodrama religi),” tutur Hikmat.
Suka tidak suka, inilah realitas.