Jalan Lain Menjaga Ingatan soal Palestina
Lewat film, mereka tak henti bercerita tentang asalnya, Palestina, yang masih terbelenggu penjajahan.
Film, sejatinya, produk budaya yang mampu menggugah kemanusiaan. Dalam konteks itu, kisah-kisah tentang Palestina terus digagas dan digulirkan di layar film sebagai wujud bertumbuhnya lanskap sinema Timur Tengah dan upaya menjaga rasa kemanusiaan.
”Jangan takut, gadis kecilku. Segala-galanya mungkin diambil dari kita, tapi tiada satu orang pun yang akan mengambil malam dari kita,” suara seorang ibu kepada putrinya seusai visualisasi gedung yang luluh lantak berganti dengan langit malam berbintang.
Itu adalah adegan pembuka film animasi pendek berjudul Layl (2019) atau diterjemahkan Night besutan sutradara asal Palestina, Ahmad Saleh. Film dengan konsep stop motion ini pernah diputar di Festival Film Locarno 2021 dan dibuat atas pendanaan dari Qumra 2019.
Baca juga: Mereka yang Menjaga Sejarah Palestina
Qumra merupakan salah satu tempat inkubasi bagi para bakat baru di industri perfilman. Program ini diinisiasi oleh Doha Film Institute dan rutin digelar tiap tahun di Doha, Qatar. Pada 2024 ini, Qumra telah memasuki tahun ke-10 membantu lahirnya berbagai proyek film.
Lewat Qumra, banyak sutradara ataupun produser asal Palestina yang memperoleh kesempatan berkarya sekaligus menyuarakan aspirasi mereka. Ada yang memilih film dokumenter, ada yang memilih film narasi, ada juga yang memutuskan membuat film animasi pendek. Uniknya, mau itu film fiksi narasi atau animasi, kisahnya tetap bersumber dari kejadian nyata.
Film Layl berdurasi 11 menit, bercerita mengenai seorang ibu yang menunggu anak laki-lakinya yang hilang bertahun-tahun. Ibu itu tak pernah tertidur. Sampai akhirnya, ada gadis kecil yang tiba-tiba datang membawa anak laki-lakinya tiap malam ke pelukan sang ibu. Tetapi, ketika matahari terbit, anak laki-lakinya dan gadis kecil itu menghilang.
Sepanjang film, suguhan puing-puing runtuhan tak berkesudahan. Terasa familiar ketika melihat tayangan berita mengenai Palestina yang bertubi-tubi dibombardir Israel beberapa bulan ini. Bangunan rumah susun yang ambles dan jalanan yang kosong persis digambarkan Ahmad dalam film itu. Kali ini, ia kembali ke Qumra untuk proyek barunya berjudul Trouble Magnet yang bercerita tentang remaja laki-laki bernama Ali yang menaiki keledai imajinasi dari Palestina ke Jerman.
”Tidak mudah bagi kami. Tapi, setidaknya ini yang bisa kami lakukan untuk mengingatkan akan apa yang terus-menerus terjadi di sana (Palestina), termasuk yang terjadi lagi di Gaza,” ujar Ahmad, Selasa (5/3/2024).
Ahmad menceritakan, sebagian besar pembuat film asal Palestina saat ini berdomisili di luar Palestina. Sebab, tak mudah bercerita tentang Palestina dari sana. Selain sulitnya izin pengambilan gambar, mata-mata Israel bisa membahayakan keamanan. Film dokumenter pun biasanya mengandalkan arsip yang disimpan di luar Palestina atau dokumentasi pribadi.
Baca juga: Perempuan, Film, dan Ruang Aman
Ahmad lahir di Arab Saudi dan kini menetap di Jordania bersama keluarganya yang turut serta mengerjakan proyek filmnya.
”Jangan kaget kalau menonton filmku, saat credit title yang muncul hampir semua bernama belakang Saleh. Ha-ha-ha,” ujar Ahmad.
Pada 1998-2003, Ahmad kembali ke Palestina untuk mengenyam pendidikan sarjana di Al Quds University di Jerusalem dan melanjutkan mengejar gelar S-2 di Bremen, Jerman. Saat duduk di bangku S-2 ini, ia memulai membuat film animasi pendek berjudul House atau Bayt pada 2012. Filmnya bercerita tentang rumah dan keluarga di tengah okupasi.
Siapa yang tak ingin berjuang untuk tanahnya yang diambil paksa. Tapi, kondisi makin tidak memungkinkan dari tahun ke tahun. Saat membuat film ini, rasanya memang seperti mengorek luka yang tak pernah sembuh dari tiap anggota keluarga. Tapi, jika tak seperti ini, lama-lama kita bisa hilang dari sejarah.
”Animasi stop motion menjadi pilihan karena pengambilan gambar bisa dilakukan di rumah atau di studio, lalu dijahit dengan perangkat lunak. Naskahnya memang fiksi, tapi dasarnya dari pengalaman yang dilalui,” ujarnya. Ahmad melalui masa-masa saat intifada. Kondisinya, katanya, lebih kurang seperti yang sering dilihat orang-orang di media massa belakangan ini.
Selain Ahmad, ada Lina Soualem yang juga lulusan dari Qumra. Lina lahir di Perancis dengan darah Palestina-Aljazair. Ibu Lina, Hiam Abbas, memutuskan keluar dari Palestina untuk mengejar karier sebagai aktris. Namun, ketika Lina lahir, Hiam rutin kembali ke Palestina, di kawasan Deir Hanna yang merupakan tempat tinggal keluarga besarnya.
”Walau tak lahir di sana (Palestina), aku besar di sana. Ada keterikatan darah dan hati. Aku merasa harus berbuat sesuatu. Tapi, aku memulai dari cerita keluargaku dulu, cerita perempuan dari empat generasi yang mengalami Palestina dari masa ke masa, termasuk peristiwa Nakba 1948. Dari nenek buyutku, nenekku, ibuku, dan aku,” ungkap Lina.
Cerita itu dia rangkai dalam film dokumenter bertajuk Bye Bye Tiberias yang didaftarkan mewakili Palestina untuk bertarung di Academy Awards 2024 kategori Film Internasional Terbaik. Melalui dokumentasi turun-temurun keluarga Lina, didapati kisah orang-orang asli Palestina yang terusir dari rumahnya karena okupasi dan serangan Israel.
”Tentang serangan yang terjadi (di Gaza), buatku, tak mengejutkan. Persoalannya, ini terus-menerus terjadi, tapi tidak ada yang bertindak untuk menghentikannya,” kata Lina soal situasi Gaza saat ini.
Baca juga: Gaung Suara Dunia untuk Palestina di Qatar
Meski bercerita dari sisi keluarga, sisi sejarah Palestina tetap terbawa dalam karya kedua pembuat film ini. Hal ini sulit dilepaskan mengingat tiap keluarga Palestina mau tidak mau harus berhadapan dengan penjajahan Israel.
Itu pula yang hendak dibagi oleh Mayar Hamdan melalui proyek film yang sedang dikerjakannya. Film dokumenter dari keluarga ayahnya bertajuk The Myth of Mahmoud. Perspektif yang diangkatnya seputar dilema keluarganya untuk pindah atau tetap bertahan dan berjuang.
”Siapa yang tak ingin berjuang untuk tanahnya yang diambil paksa. Tapi, kondisi makin tidak memungkinkan dari tahun ke tahun. Saat membuat film ini, rasanya memang seperti mengorek luka yang tak pernah sembuh dari tiap anggota keluarga. Tapi, jika tak seperti ini, lama-lama kami bisa hilang dari sejarah,” tutur Mayar yang sudah sejak tahun 1960-an menetap di Doha.
Menjaga sejarah
Qumra memang memberi ruang besar bagi para pembuat film berdarah Palestina untuk menyampaikan aspirasinya lewat film. CEO Doha Film Institute Fatma Hassan Alremaihi menjelaskan, langkah ini sekaligus upaya untuk preservasi sejarah Palestina yang berpotensi hilang akibat serangan Israel dan upaya genosidanya.
Penasihat artistik Doha Film Institute, Elia Suleiman, mengatakan, para pelaku industri perfilman memperoleh kesempatan untuk mengambil posisi moral dan etika melalui film di perhelatan Qumra kali ini. ”Waktunya untuk berdiskusi soal genosida, pembantaian, dan kekerasan yang mengerikan yang juga terjadi di banyak negara. Cerita dan visual ini bisa menjadi rekaman sejarah agar tak hilang ditelan zaman,” ujar Elia.
Tahun ini, ada empat pembuat film berdarah Palestina yang memperoleh pendanaan, yakni Ahmad Saleh untuk film animasi narasi, Mayar Hamdan dan Mohammed Almughanni untuk film dokumenter, serta Saleh Saadi untuk serial.
Titik mula
Sinema di Palestina bukan barang baru. Pameran Arab World’s Cinema yang digelar di Msheireb, Doha, bertepatan dengan Qumra, menunjukkan Lumiere bersaudara, penemu proyektor film, pernah melakukan pengambilan gambar di Jaffa dan Jerusalem pada April 1897.
Selanjutnya, Lama bersaudara, yaitu Ibrahim Lama dan Badr Lama, yang berdarah Palestina memegang peranan besar pada permulaan perkembangan sinema Timur Tengah pada era 1920-an. Saat itu, sinema di Palestina perlahan ikut berkembang. Sayangnya, peristiwa Nakba 1948 mengubah semuanya. Tidak ada rekaman film yang tersisa akibat penghancuran besar-besaran yang terjadi. Para sejarawan hanya bisa mengandalkan bukti-bukti sekunder, antara lain iklan yang ada di koran.
Kami lahir di situ, tapi kami malah seperti pendatang di tanah kami sendiri. Karena itu, saya tidak akan berhenti untuk terus berkarya tentang tempat kelahiran saya dan membuka mata dunia. Mereka boleh menyembunyikan fakta, tapi kami tak akan tinggal diam.
Tahun 1948-1967 disebut sebagai era keheningan karena kurangnya film yang diproduksi. Namun, dari pendataan secara umum yang dilakukan dan ditampilkan dalam pameran, ada 799 film tentang Palestina dari 204 sutradara yang diproduksi pada 1916-2005. Dari 2006 sampai 2019, ada 547 film dari 369 sutradara dengan cerita seputar cinta dan hidup di bawah bayang penjajahan.
Penghancuran arsip film Palestina ini tidak hanya dilakukan di daratan Palestina. Arsip-arsip yang disimpan di negara lain, salah satunya Lebanon, juga turut dihilangkan oleh Israel melalui tragedi Beirut 1981 dengan membombardir kantor Palestine Liberation Organization.
Sejarah ini dituangkan sutradara Kamal Al-Jafari melalui film dokumenter terbarunya berjudul A Fidai Film yang ditayangkan pada hari kedua Qumra 2024. Film ini minim dialog. Sebagian suara sengaja dihilangkan dan teks penjelasan tiap adegan sengaja ditutup dengan blok merah. Itu cara Kamal menggambarkan pembungkaman dan penghapusan sejarah yang selama ini dilakukan Israel dengan berbagai cara.
”Kami lahir di situ, tapi kami malah seperti pendatang di tanah kami sendiri. Karena itu, saya tidak akan berhenti untuk terus berkarya tentang tempat kelahiran saya dan membuka mata dunia. Mereka boleh menyembunyikan fakta, tapi kami tak akan tinggal diam,” ujar Kamal yang kini tinggal di Jerman.
Film sejatinya bisa menjadi rekaman sejarah. Kini, kisah-kisah tentang penderitaan rakyat Palestina telah berkeliling dunia dan tersimpan di dunia maya. Festival film turut menyebarluaskannya.
Katanya, jejak digital sukar hilang bukan? Inilah jalan lain menjaga kisah Palestina.