Untukmu Sembako, Daging, dan Apemku
Di negeri ini, Ramadhan bukan sekadar momen spiritual, melainkan juga momen sosial dan kultural.
Satu-dua hari lagi Ramadhan tiba. orang-orang di sejumlah daerah yang masih memegang teguh tradisi sudah bersiap menyambut bulan suci. Mereka bersilaturahmi sambil membawa sembako, apem, atau daging sapi. Di negeri ini, Ramadhan bukan sekadar momen spiritual, melainkan juga momen sosial dan kultural.
Jumat (8/3/2024) sore, Iis Silviana (42) baru saja pulang kerja. Ia mengaso sebentar saja, kemudian sibuk menyiapkan daftar belanjaan yang mesti dibeli untuk keperluan nyorog.
Nyorog adalah tradisi mengantarkan sembako atau bahan kebutuhan sehari-hari kepada orangtua, mertua, atau anggota keluarga lain. Tradisi orang Betawi ini dilakukan terutama jelang Ramadhan dan jelang Lebaran. Istilah nyorog umum dipakai orang Betawi di Cakung (Jakarta Timur) dan Bekasi (Jawa Barat). Di wilayah Betawi lainnya, ada yang menyebutnya sebagai anteran atau munggahan.
Sebagai orang Betawi ”tulen”, Iis dan suaminya, Ahmad Muziburohman, merasa wajib menjalankan tradisi nyorog yang dilakukan secara turun-temurun. ”Uyut, engkong-nyai, emak-bapak, encang-encing, sampe generasi saya tiap tahun nyorog. Udah turun-temurun. Ini simbol silaturahmi. Kita berkunjung ke orangtua dan yang dituakan satu per satu untuk minta maaf. Kan, enggak enak kalau enggak bawa tentengan,” ujar Iis yang bekerja sebagai guru sebuah SMK swasta di Cakung, Jumat.
Biasanya tiap tahun adik-adik datang silaturahmi sekalian nyorog. Tapi, ekonomi tahun ini emang lagi sulit. Enggak apa-apa juga kalo enggak nyorog.
Tahun ini Iis nyorog kepada orangtuanya, Supiati dan Firdaus, mertua, dan empat kakak ipar. ”Sanggupnya baru nyorog ke enam orang. Kalau ditambah encang-encing, busyet, dah, bisa nyorog ke 20 orang,” katanya diikuti tawa.
Iis menyiapkan enam paket sembako untuk keperluan nyorog. Isinya terdiri dari gula, susu, tepung, minyak goreng, beras, dan lain-lain. Setiap paket senilai Rp 200.000-Rp 300.000.
Seperti orangtua lainnya, Supiati (60), orangtua Iis, senang mendengar putri dan menantunya akan nyorog. Sejauh ini, dia sudah menerima sorogan dari adiknya. ”Biasanya tiap tahun adik-adik datang silaturahmi sekalian nyorog. Tapi, ekonomi tahun ini emang lagi sulit. Enggak apa-apa juga kalo enggak nyorog,” tuturnya.
Selain menerima sorogan dari anak dan adik, Supiati juga masih nyorog ke kakak iparnya. Ketika mertua dan orangtuanya masih ada, ia nyorog kepada mereka. Rezeki nyorog sebenarnya putar-putar saja dalam keluarga besar.
Kirim daging sapi
Tradisi serupa nyorog atau antar-antar juga mengakar kuat di wilayah Aceh. Hanya saja, bukan sembako, melainkan daging, terutama sapi. Tradisi ini disebut meugang. Tradisi ini dilakukan tiga kali dalam setahun, yakni jelang Ramadhan, Lebaran, dan Idul Adha.
Namun, meugang paling ramai pada satu atau dua hari jelang Ramadhan. Tradisi ditandai dengan menyantap masakan berbahan daging, seperti kari aceh, bersama keluarga dan kerabat. Konon, tradisi ini telah berlangsung sejak zaman Sultan Iskandar Muda, masa Kerajaan Aceh Darussalam abad ke-16, dan terawat hingga kini.
Khalis Surry (29) termasuk salah satu warga Aceh yang selalu merayakan meugang. Dulu, saat masih kuliah di Kota Banda Aceh, ia menempuh jarak 340 kilometer dengan sepeda motor ke kampungnya di Kabupaten Aceh Barat Daya untuk merayakan meugang bersama ayah, ibu, dan adik.
Tahun ini, Khalis telah beristri. Berarti, dia juga harus merayakan meugang bersama keluarga mertuanya di Kota Sabang, satu jam berlayar dari Banda Aceh. ”Meugang pertama (setelah menikah itu) harus ke tempat istri,” kata Khalis yang bekerja di sebuah kantor berita pemerintah di Aceh, Kamis (7/3/2024).
Khalis telah menyiapkan sejumlah uang untuk membeli daging sapi yang akan diserahkan kepada mertua. Dia bilang, ”Pengantin baru wajib beli daging untuk meugang di rumah mertua.”
Sebagai anak sulung dan berpenghasilan di keluarganya, dia juga wajib mengirimkan uang kepada orangtuanya untuk membeli daging meugang. Kalau ditotal, ia mengeluarkan uang sekitar Rp 1 juta untuk biaya meugang dua keluarga itu. Dia sama sekali tidak merasa terbebani. Pasalnya, bagi seorang laki-laki dewasa dan telah menikah, meugang itu sakral.
Sebagian orang juga mengaitkan meugang sebagai simbol kehormatan laki-laki Aceh. Semakin banyak daging sapi meugang yang bisa dibawa pulang seorang laki-laki untuk orangtua dan mertua, semakin terhormat dia di mata istri.
Baca juga: Sarkem, Apem, dan Semarak Kota Festival
Tidak mengherankan, meugang setiap tahun membuat pasar-pasar rakyat ramai. Orang berdatangan membeli daging sapi meski harganya melambung tinggi. Saat ini harga daging sapi di Aceh rata-rata Rp 160.000 per kilogram, lebih tinggi daripada harga rata-rata daging sapi di Jakarta, yakni Rp 138.000.
Tahun ini 37.000 sapi akan disembelih untuk memenuhi kebutuhan meugang di Aceh. Semua sapi lokal milik warga Aceh. Karena terkait dengan kehormatan laki-laki, sapi yang dijual adalah sapi terbaik. Sebagian sapi bahkan dipelihara secara khusus, diberi makanan terbaik, dan disayang-sayang.
Di balik tradisi meugang, kata Khalis, tertanam cinta dan kasih sayang kepada keluarga. Jadi, ini bukan semata kewajiban.
Ini apemku
Di Yogyakarta dan sekitarnya, momen jelang Ramadhan juga dirayakan lewat tradisi apeman, yakni membuat apem untuk dibagikan kepada sanak saudara dan tetangga.
Tradisi ini masih terawat dengan baik, antara lain, di Kelurahan Sosromenduran, Kota Yogyakarta. Sejak lima tahun terakhir, tradisi itu bahkan menjadi atraksi utama dalam pembukaan Sarkemfest atau Festival Sarkem yang tahun ini digelar di Jalan Sosrowijayan, Jumat (1/3/2024).
Malam-malam, para ibu berkumpul di satu RT bersama-sama membuat adonan apem dan sejumlah penganan lain. Esok harinya, adonan dimasak dan siap disajikan.
Apem bersama sejumlah penganan lain itu kemudian diarak oleh warga dalam kirab atau pawai budaya keliling kampung. Sebagian apem diusung dalam tampah, tetapi ada pula yang disusun menjadi gunungan besar.
Sepanjang rute kirab sekitar 1 kilometer, ribuan potong apem dibagikan kepada warga yang menonton. Wisatawan dan tamu-tamu hotel di kawasan yang berimpitan dengan Jalan Malioboro itu pun kebagian. Seusai kirab, apem dan penganan lain didoakan bersama dalam kenduri oleh seluruh warga. Rangkaian acara kemudian ditutup dengan makan bersama.
Edi Subagyo, pengelola Kampung Wisata Sosromenduran sekaligus salah satu tokoh masyarakat di Sosrowijayan, Kamis (7/3/2024), mengatakan, apeman merupakan bagian dari tradisi ruwahan atau persiapan memasuki bulan Ramadhan. ”Ini sebagai wujud membersihkan diri sebelum berpuasa,” ujarnya.
Baca juga: Tradisi Bubur Samin Darussalam di Kampung Jayengan
Apem dimaknai sebagai simbol memohon ampunan kepada Allah SWT atas segala dosa. Apem berasal dari bahasa Arab, yakni afuwun, yang berarti ’ampunan’. Dalam hubungan sosial, apem menjadi simbol permohonan maaf kepada sesama.
Apeman, lanjut Edi, pada masa lampau dilakukan setiap keluarga di Sosromenduran. Setiap keluarga membuat sendiri dan membagikan apem kepada tetangga dan kerabat. Belakangan, seiring dengan perubahan zaman, tradisi ini sempat memudar.
”Pada 2010, warga berinisiatif menghidupkan kembali tradisi ini secara kolektif di kelurahan agar nilai-nilai budayanya tetap lestari,” ucapnya.
Tradisi ini pun kini menjadi ikon budaya bagi Kampung Wisata Sosromenduran. Jika dulu biaya pembuatan apem ditanggung setiap keluarga, saat ini setiap RT mendapat bantuan dana dari kelurahan untuk kebutuhan tersebut. ”Kalau biayanya tidak cukup, biasanya warga urunan lagi,” kata Edi.
Masih banyak tradisi lain di hampir seluruh wilayah Indonesia yang digelar untuk menyambut Ramadhan. Benang merah dari tradisi-tradisi itu adalah silaturahmi. Baik silaturahmi kepada yang masih hidup maupun ”silaturahmi” kepada yang telah tiada, misalnya, lewat ziarah dan kirim doa.
Seperti spons
Bagaimana tradisi-tradisi Nusantara itu bisa hidup berkelindan dengan agama? Tantan Hermansah, sosiolog dari Universitas Islam Negeri Jakarta, menjelaskan, budaya Nusantara itu seperti spons. ”Dia tidak memantulkan, tetapi menyesap agama dari luar, termasuk Islam, dengan lembut.”
Kemungkinan itu terjadi karena masyarakat lama Nusantara kenyang berhadapan dengan konflik dalam perjalanan sejarahnya. Lama-kelamaan, mereka memahami bahwa konflik merenggangkan yang dekat dan makin menjauhkan yang jauh. Lebih baik mereka hidup damai dalam harmoni.
Makanya, ketika Islam datang ke Nusantara dengan menawarkan harmoni, masyarakat menyambutnya dengan tangan terbuka. Sebab, masyarakat Nusantara ketika itu sudah berpengalaman bersentuhan secara damai dengan tradisi Hindu dan Buddha. ”Secara mental, masyarakat Nusantara saat itu sudah siap menerima Islam.”
Faktor lain yang menentukan adalah Islam masuk ke Nusantara lewat medium perdagangan. ”Perdagangan itu basisnya tawar-menawar, persetujuan, dan kompromi. Tidak memaksa. Proses itu memungkinkan terjadinya modifikasi pada tradisi Nusantara dan agama Islam,” tutur Tantan.
Interaksi dan modifikasi antara budaya Nusantara dan Islam itu melahirkan wajah Islam yang khas. ”Ini adalah hasil dari proses sosiologis yang sangat canggih,” ujar Tantan.