Tiga Kubu di Dalam Satu Keluarga, Keutuhan Tetap Utama
Keluarga tetap akur meski beda pilihan dalam Pemilu 2024. Namun, ada bentuk apatisme baru yang perlu diwaspadai.
Pesta demokrasi sudah berlangsung. Meskipun belum sempurna, jargon politik riang gembira mulai menemukan tempat dalam diskursus masyarakat sebelum mencoblos. Mau pilihan sama ataupun beda, ikatan kekeluargaan tetap nomor satu.
”Sudah tiga kali pemilu kami beda pilihan melulu. Saya pilih pasangan calon nomor tiga, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Istri saya pilih pasangan calon nomor satu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar,” kata Tedjo Haryotomo alias Tomo (47) di tempat pemungutan suara (TPS) di Ciater, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (14/2/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Karyawan perusahaan pembiayaan otomotif itu bersama istrinya, Yasmine De Saire (44), sudah berada di TPS sejak pagi. Lantaran tidak ada yang menjaga di rumah, ia membawa serta kedua anak mereka dengan mobil. Cuaca mendung, tetapi semangat mereka untuk memberikan suara membara.
Sembari menunggu panggilan petugas TPS, Tomo bernostalgia tentang pilihannya dan istrinya yang berbeda sejak pilpres tahun 2014 dan 2019. Ia konsisten menyumbang suara untuk Joko Widodo karena program-programnya. Sementara, istri Tomo enggan ikut mendukung sebab tidak sejalan dengan partai politik pendukung Jokowi.
Pada pilpres tahun 2024 ini, mereka kembali berbeda pendapat karena berbagai pertimbangan. Tak elak, obrolan saat makan malam menyerempet sampai debat soal pemilu. Anak-anak menyimak seru. Saling bujuk pun tak terhindarkan. ”Kami saling memengaruhi, ’Ayo ikut gue’. Lalu dibalas, ’Enggak, lo aja yang ikut’. Enggak maksa, sih. Anak-anak juga santai saja,” kata Tomo.
Akan tetapi, debat itu beriringan dengan senda gurau. Nada tinggi tidak pernah melintas ketika mereka berargumen. Mereka juga tidak pernah saling menuntut agar pilihan sama. Perdebatan tidak mengganggu keseharian mereka. Tidak ada yang namanya jatah uang belanja dipotong karena debat.
”Pilihan boleh beda, rasa sayang pada istri tetap sama dong. Kalau sudah selesai, tetap harus bayar cicilan, listrik, dan uang sekolah anak juga,” ujar Tomo seraya terbahak.
Sama halnya dengan keluarga besar M Nur (37), warga Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat. Nur dan keluarganya langsung bergegas ke TPS 154 setelah hujan reda demi mencoblos pagi-pagi. ”Kami di rumah ada delapan orang; ibu, anak-anak, dan ipar. Satu rumah ada tiga kubu paslon capres dan cawapres, tetapi kalau caleg DPR dan DPR masih satu suara sih,” kata Nur seusai mencoblos tanpa merinci siapa yang dia pilih.
Baca juga: Seksinya Bisnis untuk Pemakan Tumbuhan
Nur menjelaskan, perbedaan itu terjadi karena setiap anggota keluarga memilih berdasarkan kepentingan mereka masing- masing. Sebagai seorang wiraswasta di bidang konstruksi, Nur mendukung calon yang dia anggap berpihak pada dunia usaha. Perdebatan ringan di antara anggota keluarga kerap terjadi, apalagi ketika debat capres atau cawapres berlangsung.
”Kami nonton sekeluarga bareng, kadang video call sama saudara yang lain buat canda- candaan kalau ada calon yang saling senggol. Misalnya, pas ada calon A menyampaikan visi dan misi, lalu ada calon lain yang menjatuhkan,” ujar Nur.
Diskusi itu berlanjut pada akhir pekan. Ada saja anggota keluarga yang membahas debat pilpres. Segala hal mereka kritik, baik kegugupan, cara berinteraksi, maupun jawaban pertanyaan.
”Kami membuatnya jadi bahan guyonan kayak, ’Paslon favorit lo lagi cemen, nih’. Tapi, kami tetap kompak karena rasa kekeluargaan. Dari awal juga orangtua mengajarkan untuk saling peduli,” kata Nur yang menegaskan akan mendukung siapa pun paslon terpilih.
Mengutip hasil survei pascapencoblosan oleh Litbang Kompas pada hari Pemilu 2024, anggota satu keluarga cenderung memiliki paslon presiden dan wakil presiden yang sama. Sebanyak 51,5 persen responden mengaku seluruh anggotanya memilih paslon yang sama, sementara 24,7 persen responden yang lain mengatakan pilihannya berbeda (Kompas.id, 16 Februari 2024).
Namanya politik
Usaha untuk tetap akur dalam perbedaan terjadi di lingkup luar keluarga, seperti di kalangan seniman Yogyakarta. Bagi mereka, kerja seni melampaui pesta demokrasi. ”Seni itu menemani kemanusiaan dan jauh melampaui persoalan pemilu. Seni di atas politik. Begitulah, saya diajari mendiang Buya Ahmad Syafii Maarif,” ujar Jumaldi Alfi (50), seniman asal Sumatera Barat yang tinggal di Yogyakarta.
Alfi memegang teguh ajaran Buya Syafii untuk menghargai perbedaan. Ia tetap bersahabat baik saat rekan seniman, Kuss Indarto (55), berbeda pilihan politik dengannya. Alfi berada di kubu politik paslon Ganjar- Mahfud, sedangkan Kuss Indarto menjadi caleg dari Partai Solidaritas Indonesia yang memihak paslon nomor dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
”Setiap kali ketemu Kuss, saya selalu bercanda, kalau Kuss dulu selalu menentang Prabowo (waktu melawan Jokowi). Sekarang, dia malah mendukung Prabowo menjadi presiden,” ujar Alfi.
Ketika dihubungi terpisah, Kuss mengaku sering dihujani olok-olok ketika bertemu teman-teman seniman di Yogyakarta yang pilihan politiknya berseberangan. Kuss terima saja. Ada pula sesama seniman, yang berbeda pilihan politik mulai tidak mengundangnya ketika menggelar pameran.
”Friksi di antara seniman itu sudah biasa. Secara sosial nanti akan sembuh sendiri. Seniman di Yogyakarta itu cair. Akan ada banyak kegiatan seni yang bisa memberikan sentuhan sosial untuk penyembuhan sosial terhadap perbedaan,” kata Kuss.
Sementara itu, trauma polarisasi pada pilpres tahun 2019 membuat Izzah Vitaloca (27) semakin dewasa menyikapi perdebatan pemilu. Ia ingat benar dulu julukan ”cebong”, ”kampret”, dan ”kadrun” bertebaran di media sosial dan percakapan masyarakat. ”Seram!” kenang ibu rumah tangga di Samarinda, Kalimantan Timur, itu.
Izzah juga memiliki pilihan paslon capres-cawapres yang berbeda dengan mertuanya. Dia memilih paslon Prabowo- Gibran, sedangkan mertuanya, paslon Anies-Cak Imin. Namun, mereka menghormati pilihan masing-masing dan menjadikan perbedaan ini sebagai obrolan hangat. ”Setelah nyoblos, kami cerita-cerita lucu saja soal ini. Seru-seruan saja,” katanya.
Sikap santai walau beda pilihan itu juga diterapkan Izzah di lingkungan pertemanan. Toh, itu hak politik masing-masing. Ada waktunya Izzah memilih diam jika ada pihak yang mencoba menyulut pembicaraan tak enak soal politik. Menurut dia, tidak perlu saling membenci karena politik sebab para rival politik bisa saja membentuk koalisi di akhir kontestasi.
”Habis ini mereka para paslon capres-cawapres juga pasti akan peluk-pelukan. Politik kan memang begitu. Jadi, kita enggak boleh saling membenci dan mengolok-olok. Damai sajalah,” ujar Izzah.
Keriangan semu
Polarisasi masyarakat akibat perbedaan politik masih terjadi di Pemilu 2024 meski tak seruncing pemilu-pemilu lalu yang sarat politik identitas. Sebagai gantinya, jargon politik riang gembira gantian berseliweran.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sujito, mengatakan, pembelahan sosial akibat politik identitas tidak terjadi selama Pemilu 2024 salah satu penyebabnya adalah kontestasi yang tidak head- to-head. Kalau pilpres tahun 2019 hanya mempunyai dua paslon, Pilpres 2024 melibatkan tiga paslon.
Penyebab lainnya adalah latar belakang setiap kontestan ”tumpang tindih”, seperti Prabowo yang didukung Jokowi, tetapi Jokowi masih dipersepsikan berasal dari partai yang sama dengan Ganjar. ”Ada irisan di antara kontestan. Namun, bukan berarti ke depan politik identitas tidak akan terjadi lagi. Ini kebetulan pragmatis jadi politik identitas tidak perlu dikemukakan,” kata Arie.
Menurut Arie, fenomena yang terjadi sekarang adalah fragmentasi politik yang masalahnya tidak kalah serius. Ketegangan muncul dari sentimen kelompok atau afiliasi politik yang turut dipertajam oleh medsos. Alhasil, konflik sekarang terjadi di level masyarakat, bukan lagi keluarga.
”Politik riang gembira juga belum terjadi sebab perdebatan yang terjadi tidak substantif atau prinsipiil, misalnya saling ejek dan penyebaran informasi manipulatif,” tutur Arie.
Baca juga: Vakansi seni rupa di Jakarta
Selain itu, Arie menyoroti adanya sikap permisif atas pelanggaran politik yang terjadi. Masyarakat memang mengikuti pemilu, tetapi ada kecenderungan cuek terhadap implikasi, dampak, atau risiko pilihan mereka. Belum lagi soal kebanyakan masyarakat lebih fokus pada pilpres daripada pileg. Ia menyebut fenomena itu sebagai bentuk apatisme baru.
”Orang ikut pemilu, tetapi abai pada proses, hasil, dan implikasinya. Ini PR kita karena menunjukkan demokrasi bukan semakin matang, tetapi masih rentan,” ujar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM ini.
Pemilu memang sudah selesai, tetapi tugas kita sebagai warga negara belum usai. Anggota keluarga yang marahan akibat perbedaan pilihan juga mesti ”rekonsiliasi”. Jangan sampai kisah tentang ayah yang mengancam akan mencoret nama anaknya yang berbeda pilihan, dari kartu keluarga, terjadi. Bagaimanapun keutuhan keluarga lebih penting dari sekadar gonjang-ganjing politik setiap pemilu. (BAY/NAW/SKA)