Antara Menyayangi dan Membebani Anak
Orangtua zaman sekarang berburu sekolah favorit anak demi manfaat akademik dan sosial. Apa dampaknya pada anak?
Sekarang adalah masa-masa krusial orangtua berburu sekolah untuk anak tersayang. Bagi keluarga kelas menengah ke atas, sekolah swasta favorit yang bergengsi tentu masuk dalam daftar atas prioritas demi manfaat akademis dan sosial. Tapi, jika salah pilih sekolah, anak bisa tertekan dan malah hasilnya jauh dari harapan.
Sejak berumah tangga enam tahun lalu, Puti Redyanti (36) senang mengikuti akun sejumlah selebgram yang rajin mengunggah aktivitas keluarga, termasuk anak-anaknya yang masih di usia prasekolah atau sekolah. Dari situ, ia jadi tahu kalau anak para pesohor bersekolah di mana.
”Menariklah lihat posting-an mereka. Sekolahnya bagus dan kegiatannya banyak,” cerita Puti, warga Ciganjur, Jakarta Selatan, itu, Kamis (1/2/2024).
Pada 2018, Puti mengandung putrinya, Kanaleandra NA alias Alea. Lantaran sering mengintip akun artis atau selebgram, ia bermimpi untuk kelak mendaftarkan putrinya di sekolah yang sama dengan mereka. Tak hanya Puti yang terobsesi. Ibu-ibu sepantaran di lingkaran pergaulannya rupanya juga sama.
Suatu hari, Puti mengecek sebuah kelompok bermain (playgroup) di Jakarta Selatan. Biaya masuknya belasan juta. Namun, daftar tunggu kelompok belajar itu sampai beberapa tahun.
Cepat-cepat Puti mendaftar meskipun masih hamil tujuh bulan. Kalau mendaftar setelah lahiran, ia tidak bakal mendapat slot. Untuk mendaftar saja, Puti mesti merogoh kocek Rp 750.000. Lumayan, anaknya mendapat nomor antrean 13.
Setelah berusia tiga tahun, Alea ikut seleksi masuk. Salah satu proses penilaiannya adalah observasi. ”Dari cerita ibu-ibu, anak yang menangis saat observasi nggak diterima. Ternyata Alea nangis dan benar tidak diterima. Wah, saya menangis, kecewa banget,” kenangnya.
Baca juga: Bocoran Tips Masuk Sekolah Favorit
Karyawan bank itu lanjut mendaftarkan Alea ke kelompok bermain lain yang juga banyak anak-anak artisnya. Kabar baik tak kunjung datang. Penolakan dua kali menyadarkan Puti agar berhenti memilih sekolah anak demi ambisi pribadi. Lebih baik mencari sekolah bagus lain meski tidak ada anak pesohor. ”Jangan sampai ambisi orangtua malah kelak membebani anak,” ujarnua.
Pilihan Puti jatuh ke sebuah sekolah di Bogor. Kebetulan TK itu dekat dengan rumah kedua orangtuanya yang sehari-hari mengasuh Alea. Sepupunya juga mengajar di situ. Ternyata ada pula selebgram yang menyekolahkan anaknya di sana.
Kini Alea duduk di TK kecil. Puti harus menyiapkan dana Rp 4 juta untuk SPP, biaya les robotik, dan mengaji setiap bulan. Merasa cocok, Puti memutuskan untuk meneruskan pendidikan Alea di sana. Ia sudah membayar penuh uang pendaftaran masuk belasan juta sejak tahun lalu. ”Istilahnya, kami ijon seat-nya supaya nggak kehabisan,” ujarnya.
Segudang pertimbangan
Yuyuk Andriati Iskak adalah orangtua lain yang menentukan sekolah anak berdasarkan segudang pertimbangan. Warga Tangerang Selatan, Banten, ini berpikir mulai dari segi biaya, nilai sekolah, hingga kurikulum. Semua upaya dilakukan demi si buah hati, Rasya.
Sejak 2012, putri tunggalnya itu mengenyam pendidikan di SD dan SMP Tara Salvia. Sekolah itu dinilai punya nilai yang sejalan dengan di rumah, seperti saling menghargai, antiperundungan, dan metode pengajaran yang mendorong anak berefleksi atas apa yang dia lakukan.
”Waktu itu proses pendaftarannya belum terlalu kompetitif seperti sekarang, tapi juga sudah masuk daftar tunggu nomor dua karena agak akhir mendaftar. Akhirnya masuk setelah dapat kesempatan tes masuk dan wawancara. Tesnya bukan calistung, tapi observasi,” kata Yuyuk.
Sekarang Rasya bersekolah di sebuah SMA swasta di Cirendeu, Tangerang Selatan, lewat jalur prestasi. SMA itu dianggap fokus menanamkan nilai kebangsaan serta punya rekam jejak akademis yang baik. ”Utamanya, sekolah yang menerapkan kurikulum nasional. Soalnya ada pengalaman dengan sekolah berdasarkan agama waktu TK, tetapi yang diterapkan bertentangan. Guru menerima gratifikasi saat menerima rapor,” tutur Yuyuk.
Perencanaan pendidikan di tiap jenjang ini merupakan cara Yuyuk untuk memetakan kebutuhan pembiayaan, termasuk di luar biaya sekolah. ”Biaya bimbel untuk satu tahun sekitar Rp 12 juta. Ada tambahan les lain, seperti ngaji, bahasa Inggris, dan les mengupas soal-soal skolastik untuk ujian masuk perguruan tinggi. Tambahan les-les ini satu bulan bisa sekitar Rp 4 juta,” lanjutnya.
Rasya memang masih sibuk mempersiapkan diri menuju kuliah. Namun, Yuyuk malah sudah ancang-ancang merencanakan kelanjutan pendidikan sang anak setelah meraih gelar sarjana. Dukungan untuk memperoleh beasiswa S-2 sudah dipersiapkan bagi Rasya yang bermimpi studi S-2 ke luar negeri, seperti tabungan untuk tes IELTS/TOEFL dan pendaftaran kampus.
Saya takut melihat perubahan dunia yang begitu cepat. Jadi, dasar agama anak harus kuat sejak dini sebagai pegangan.
Selain di Jabodetabek, kompetisi orangtua di kota-kota lain demi anak tak kalah sengit. Yoan Juzuf (33), seorang wiraswasta di Kupang, Nusa Tenggara Timur, sedang memutar otak demi mendapatkan TK favorit bagi putri pertamanya, Sarah A (3), yang tengah ikut di sebuah kelompok bermain untuk anak usia prasekolah.
Ada tiga sekolah swasta yang diincar Yoan. Semuanya populer. Tiga sekolah populer itu menerapkan nilai agama dalam pembelajaran dan pengembangan karakter. ”Saya takut melihat perubahan dunia yang begitu cepat. Jadi, dasar agama anak harus kuat sejak dini sebagai pegangan,” ujarnya.
Baca juga: Mereka yang Lebih Percaya Sekolah Swasta
Selain visi sekolah, ia mempertimbangkan faktor biaya, akreditasi, kurikulum, dan jarak sekolah. Ia banyak melakukan riset, termasuk mendengarkan testimoni orangtua. Pilihan pertama Yoan jatuh pada Sekolah Kasih Yobel dengan alasan akreditasi A. Demi lolos di sekolah ini, nama anak Yoan sudah masuk daftar tunggu sejak tahun lalu.
Jika tidak lolos, Yoan akan menyasar sekolah ketiga, yang butuh dana lebih besar daripada dua sekolah yang lain. Yoan, misalnya, harus menyiapkan dana untuk dana pengembangan pendidikan (DPP) sekitar Rp 7 juta, sedangkan SPP sebesar Rp 1 juta per bulan.
”Istilahnya, saya bermain ’dua kaki’ karena persaingannya seketat itu. Kita juga harus realistis kalau masuk sekolah swasta itu mahal, jadi saya sudah menabung dana pendidikan sejak anak baru lahir,” ungkapnya.
Takut ketinggalan
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tantan Hermansah, mengatakan, keinginan orangtua dalam mencari sekolah favorit anak merupakan bentuk dari fenomena FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan. Tak jarang, perilaku ini membelit masyarakat untuk mendapat sesuatu yang kadang tidak terjangkau.
Banyak kasus anak mengalami stres luar biasa dan biasanya kekurangan ruang kebebasan, akhirnya melakukan pemberontakan. Kreativitas anak juga kurang muncul.
Tantan menjelaskan, perilaku FOMO bisa dilihat dari berbagai perspektif. Dari perspektif budaya populer, upaya mencari sekolah favorit atau bergengsi adalah cara untuk mendapatkan validasi sebagai sosok yang mengikuti tren atau termasuk kalangan elite tanpa memikirkan masa depan anak.
”Kadang ada juga orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah elite sebagai bentuk pansos,” ujar Tantan, Kamis (1/2/2024).
Selain itu, ia melihat beberapa faktor lain yang memicu orangtua menyasar sekolah tertentu. Ada orangtua yang ingin membentuk koneksi demi meraih kesuksesan, ada pula yang melihat anak sebagai investasi.
Tidak tertutup kemungkinan, lanjutnya, sebagian orangtua ingin menyiapkan anaknya dalam persaingan mencari pekerjaan di masa depan. Setiap tahun, lulusan pendidikan tinggi, baik sarjana, sarjana terapan, maupun vokasi, rata-rata sudah mencapai 1,8 juta orang (Kompas.id, 15/3/2023).
Akan tetapi, Tantan mengingatkan adanya potensi dampak negatif dari perilaku tersebut kepada anak. ”Banyak kasus anak mengalami stres luar biasa dan biasanya kekurangan ruang kebebasan, akhirnya melakukan pemberontakan. Kreativitas anak juga kurang muncul,” ujarnya.
Menurut dia, penting bagi negara untuk mengevaluasi sistem dan tata kelola pendidikan Indonesia, termasuk seleksi penerimaan siswa. Negara perlu membangun perspektif orangtua tentang sekolah karena pada dasarnya sekolah swasta bersifat kapitalis. ”Kita terlalu mengabdi pada kapital. Kembalikan spirit pendidikan yang digaungkan Ki Hadjar Dewantara,” katanya.
Sudah saatnya orangtua realistis dengan kebutuhan pendidikan anak. Jangan sampai ambisi pribadi kelak membebani, bahkan mengorbankan anak.