Menjaga Tradisi Kuliner Palestina dalam Ancaman Peperangan
Tradisi kuliner Palestina sangat kaya rasa dan ragam. Perang yang terus berkecamuk bisa mengancam keberadaannya.
Sama seperti di Indonesia, orang Palestina juga doyan makan. Begitu pula dengan tradisi kuliner kedua negara. Masing-masing punya tradisi kuliner yang sangat kaya dan beragam, baik dari jenis hidangan, bahan baku serta teknik membuat, maupun cita rasa masakannya.
Kegemaran orang Palestina dalam berkuliner diceritakan Murad Halayqa, seorang akademisi yang juga aktivis asal Palestina, Minggu (28/1/2024). Murad sudah lama tinggal di Indonesia, awalnya untuk menempuh studi S-2 di Universitas Indonesia.
Bersama Chef Michelle Santoso, keduanya menggelar acara tribute untuk kuliner Palestina bertajuk Poured & Plated. Acara ini sekaligus untuk menggalang dana bagi para korban perang. Acara digagas dan digelar di tengah situasi krisis kemanusiaan yang terjadi akibat perang di tanah kelahiran Murad.
Baca juga: Kuliner Jember yang Menggoyang Lidah
Sejak serangan militer Israel ke Jalur Gaza, 7 Oktober 2023, setidaknya 26.900 warga Palestina tewas dan 65.949 orang terluka. Data Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) menyebut, setidaknya tercatat 6.715 korban jiwa dan 158.867 korban luka dalam kurun waktu Januari 2008-September 2023. Sebanyak 95,4 persen korban meninggal dan 96 persen korban luka berasal dari warga Palestina.
Agresi militer Israel juga menyebabkan 85 persen penduduk Gaza mengungsi di tengah krisis makanan, air bersih, serta obat-obatan. Kehancuran juga terjadi pada 60 persen infrastruktur di wilayah kantong tersebut.
Peperangan dikhawatirkan tak hanya memakan korban jiwa, tetapi juga merusak tatanan dan peradaban di satu negeri. Perang berkepanjangan akan sangat berpengaruh pada kelanjutan tradisi dan budaya satu negeri, termasuk tradisi kulinernya. Kekhawatiran itu juga disuarakan Murad dan Michelle dalam perbincangan seusai acara.
”Orang Palestina banyak yang gendut (karena suka makan), ha-ha-ha. Sama seperti orang Indonesia, di sana masalah apa pun hampir selalu bisa diselesaikan salah satunya dengan makan-makan,” ujar Murad.
Hidangan tradisional
Sejumlah hidangan tradisional dan khas Palestina kali ini disajikan Murad dan Michelle untuk dinikmati bersama para tamu. Semuanya lezat dan cocok dengan selera atau lidah orang Indonesia.
Salah satunya musakhan yang ditampilkan dalam bentuk gulung alias rolls ala kebab Timur Tengah. Ada juga berbagai sajian roti berbahan terigu serta aneka salad sayur dengan beragam cocolan berempah dan kaya rasa. Tak lupa hidangan utama istimewa, nasi ouzi, dari beras jenis basmati.
”Orang Palestina sangat suka sayuran. Sayuran apa pun yang keluar (tumbuh) di permukaan tanah, kecuali rumput, pasti dimakan. Ada satu cerita lucu, seorang pria Jordania beristrikan perempuan Palestina. Setiap hari dia disuguhi menu sayur berupa salad sampai-sampai dia merasa dirinya mirip kambing peliharaan, ha-ha-ha,” kata Murad berkelakar.
Kegemaran orang Palestina mengonsumsi sayuran segar seperti itu, menurut Murad, mirip dengan masyarakat suku Sunda di Jawa Barat. Kekayaan kuliner Palestina juga tak lepas dari kekayaan sumber daya alam dan pangan negeri itu.
Pohon zaitun adalah salah satu tanaman komoditas bernilai tinggi yang tumbuh subur di seluruh kawasan Palestina. Tanaman zaitun bahkan menjadi salah satu bentuk ketahanan dan perlawanan warga Palestina dalam menghadapi pendudukan serta penjajahan Israel.
Mengutip laman media Al Jazeera, hampir separuh dari total lahan pertanian di Tepi Barat dan Gaza ditanami 10 juta pohon zaitun. Dari buahnya diproduksi minyak zaitun yang menjadi bahan baku wajib hampir setiap sajian masakan Palestina.
Salah satu menu hidangan yang disajikan di acara ini, musakhan, adalah contoh makanan yang menggunakan minyak zaitun berlimpah. Menu satu ini menjadi favorit Murad sekaligus karena memiliki nuansa sentimental yang selalu memicu kerinduan terhadap tanah kelahiran dan keluarga besarnya di Palestina.
Namun, sedikit berbeda dengan hidangan versi asli, musakhan yang dimasak Murad dan Michelle kali ini menyesuaikan dengan lidah orang Indonesia, dengan lebih sedikit minyak zaitun. Selain itu, cara penyajiannya pun dibuat seperti kebab gulung dengan isian irisan daging ayam panggang dan bawang bombai yang dioseng.
Cita rasa gurih dan beraroma asap dari daging ayam panggang berpadu lezat dengan rasa gurih manis berkaramel dari bawang. Isian itu disantap bersama roti pipih yang terlebih dahulu dipanaskan lalu disiram minyak zaitun. Menu tradisional Palestina ini kerap disajikan dalam momen-momen istimewa.
Dalam acara makan malam amal kali ini juga disajikan sejumlah roti khas yang biasa dikonsumsi orang Palestina. Beberapa di antaranya roti gurih manaqish za’atar, yang juga dikenal di Lebanon, dan roti fatayer ala Timur Tengah yang bagian atasnya dilapisi keju juga telur.
Ketiga jenis roti tersebut disajikan dalam keadaan hangat di keranjang kecil bersamaan dengan cocolan mutabal. Menu satu ini terbuat dari terung yang dipanggang, dicincang halus, lalu diolah dengan campuran yoghurt Yunani, pasta tahini alias bumbu pasta pedas khas Timteng, serta kucuran air jeruk lemon. Cita rasanya mudah ditebak, sangat kaya.
Sebagai hidangan utama, Murad dan Michelle memilih menyajikan nasi ouzi, yaitu nasi berempah aromatik khas Palestina yang dinikmati bersama potongan-potongan besar daging ayam panggang asap yang empuk dan bersari. Penyajiannya didampingi selada sayur kreasi Murad.
Sekilas penampilan nasi ouzi mirip dengan beberapa nasi berempah aromatik ala Timur Tengah lain, macam nasi biryani, mandhi, kebuli, atau kabsah. Kesamaannya terutama terletak pada jenis beras yang digunakan, yaitu basmati.
Baca juga: Kuliner Khas Magelang, dari Sop Senerek sampai Mangut Beong
Namun, cita rasa, aroma, dan rempah yang tercicip dalam nasi ouzi jauh berbeda. Aroma wangi dan berempah dari nasi ini terasa lebih ringan dan cenderung terasa manis di lidah saat dikunyah. Sajian nasi ini terasa sangat pas saat dinikmati bersama salad sayur kreasi Murad yang pada intinya berupa asinan yang memberikan cita rasa asam segar, membangkitkan selera makan.
Otodidak
Murad mengaku belajar memasak secara otodidak, terutama dari mendiang sang ibu yang menjadi mentor utamanya. Kemampuan memasak, menurut dia, muncul dari kebutuhan untuk bisa tetap menikmati makanan serta cita rasa khas tanah kelahirannya saat tengah berada jauh di negeri orang.
Murad secara pribadi sudah pernah merantau ke beberapa negara sebelum Indonesia. Dia sebelumnya juga seorang aktivis yang gencar memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Murad mengaku sudah pernah ”mencicipi” dinginnya jeruji dan lantai penjara Israel.
Baca juga : Kuliner Enak Khas Trenggalek
Terkait kekayaan kuliner Palestina, Murad sangat bangga. Menurut dia, jumlah kuliner Palestina bahkan jauh lebih banyak daripada jumlah hari dalam setahun. Dengan begitu, bisa dibilang orang bisa membuat dan menyajikan menu kuliner Palestina yang berbeda-beda tanpa perlu takut berulang.
Keberagaman dan kekayaan kuliner Palestina macam itu pulalah yang mengundang kekaguman Michelle. Sebagai chef yang juga kreator konten, Michelle merasa tergerak mengangkat dan memperkenalkan produk-produk kuliner khas negeri itu sebagai bentuk simpati dan dukungan atas perjuangan rakyat Palestina dengan caranya.
Dalam salah satu unggahannya di media sosial, Michelle bahkan memasak menu qidrah dan mendedikasikan masakannya itu untuk mengenang Hamza. Anak Palestina berusia 10 tahun asal Gaza penggemar gim dan mi instan itu tewas beserta seluruh keluarganya akibat serangan militer Israel. Sang paman yang selamat mengingat, dia dan Hamza belum lama makan bersama menikmati sajian tersebut.
”Makanan Palestina juga punya banyak makna. Salah satu yang pernah saya coba maqluba, yang secara filosofis punya arti perlawanan terhadap Israel. Nasi dimasak dalam claypot bersama sayuran, seperti kentang, terung, bawang bombai, wortel, dan juga daging, baik ayam maupun domba,” ujar Michelle.
Semua bahan disusun berlapis, paling bawah daging dan paling atas nasi. Saat disajikan, isi claypot ditumpahkan. Sikap menjungkirbalikkan inilah yang diyakini sebagai bentuk perlawanan mereka atas pendudukan wilayah Palestina oleh Israel.
Catatan:
Artikel mengalami perubahan, berupa penghapusan beberapa kalimat pada paragraf ke-23, demi menjaga kekuatan pesan dalam tulisan.