Kerja Keras Lagi, Nanti Bisa Liburan Lagi
Beginilah manusia modern bertahan hidup: bekerja keras, liburan, diulangi lagi. Itu semua ditempuh dengan perencanaan, juga adaptasi yang makan waktu. Jika tidak, kesehatan terganggu.
Liburan tak sesederhana berpelesiran ke tempat indah, makan enak, atau bertemu kerabat dekat belaka. Liburan jadi rumit jika ujungnya tak menyegarkan pikiran. Kadang, untuk rehat yang berfaedah perlu disiplin dan perencanaan yang matang supaya siap bekerja lagi, lalu liburan di kemudian hari.
”Aku sudah siap bekerja lagi Senin (besok),” kata Benedicta (41) dengan penuh optimisme. Manajer komunikasi program pembangunan ini baru tiba kembali di Jakarta, tempatnya mengadu nasib, pada Sabtu (6/1/2024) petang. Dia masih punya waktu sehari untuk berleha-leha.
Dua pekan terakhir dia mengambil cuti dari kantornya. Dia mudik ke Yogyakarta, kembali sebentar ke Jakarta, lalu lanjut bersenang-senang di Pulau Bali. Liburan terprogram itu dia rancang berbulan-bulan sebelumnya. Ini kebiasaan dia saban tahun: bekerja keras berbulan-bulan, lalu rehat di pengujung tahun.
”Liburan di Yogyakarta itu untuk bertemu keluarga dan teman-teman dekat. Fokusnya untuk keluargalah. Semingguan aku di sana. Terus aku kembali ke Jakarta untuk beberes apartemen yang berantakan waktu sibuk-sibuknya di kuartal keempat. Sehari beberes, aku ke Bali semingguan. Di Bali, aku fokus untuk menyenangkan diri,” katanya.
Di ”Pulau Dewata”, dia memanjakan diri. Dia menyewa vila untuk dirinya sendiri menikmati hibernasi. Di sela-selanya, dia merawat tubuh ke salon dan spa. Di Bali itulah dia bisa mendedikasikan waktu untuk melakukan apa pun yang disenangi.
Meski bersenang-senang, dia menyadari bahwa waktu liburnya cuma tersisa satu pekan lagi. ”Dua-tiga hari terakhir di Bali aku menyempatkan diri buka laptop, memeriksa e-mail, lalu membuat daftar responsnya. Tindak lanjutnya nanti di kantor saja. Seenggaknya, hari pertama di kantor nanti aku nggak ’kejatuhan’ 200 e-mail lebih sekaligus yang aku enggak tahu isinya,” ucapnya. Dia menjaga mood berliburnya.
Dita, sapaannya, merumuskan program liburan itu agar perasaannya benar-benar segar ketika masuk kerja lagi. Makanya, dia memisahkan waktu khusus untuk keluarga dan untuk dirinya. Beberes apartemen adalah bagian dari programnya juga. Menurut dia, pulang liburan dengan kondisi apartemen berantakan bakalan merusak suasana hati. Dia sensitif dengan kerapian.
Berlibur, apalagi dengan biaya relatif besar, bisa terasa sia-sia jika setelahnya justru bikin perasaan hampa, atau malah makin lelah. Hal itulah yang dihindari Dita. Dia enggan anggaran liburannya yang disisihkan sepanjang tahun sia-sia belaka.
Renita (37), manajer di firma komunikasi, tak seberuntung Dita. Tahun ini, firmanya bersiap menerima proyek baru yang ditargetkan berjalan pada awal 2024. Sebagai manajer, dia bertanggung jawab memastikan tender itu lancar. Segala persiapannya dia kerjakan sejak kuartal akhir 2023. ”Aku enggak bisa cuti karena itu, padahal rasanya sudah capek banget,” ujarnya.
Rasanya kayak enggak ada stop dari awal tahun, enggak ada berhentinya. Pekerjaan sudah jadi repetisi saja. Libur Natal dan Tahun Baru kemarin, ya, cuma seperti’weekend’biasa saja. Awal pekan terasa seperti pengulangan, jalani saja,
Saat beberapa teman dan anggota timnya mengambil cuti di akhir tahun, Renita tetap bekerja. Dia enggan melihat media sosial supaya tidak terdistraksi dan iri pada mereka yang berpelesiran. Jeda kerjanya hanya terjadi pada Sabtu dan Minggu, plus dua hari libur sesuai kalender. Tanggal 2 Januari, dia sudah ngantor seperti biasa.
”Rasanya kayak enggak ada stop dari awal tahun, enggak ada berhentinya. Pekerjaan sudah jadi repetisi saja. Libur Natal dan Tahun Baru kemarin, ya, cuma seperti weekend biasa saja. Awal pekan terasa seperti pengulangan, jalani saja,” begitu dia menyemangati dirinya yang dia sebut sudah dalam tahap lelah akut. Dia berencana mau ambil cuti panjang setelah Lebaran nanti.
Akhir tahun ini berbeda di firma tempat Renita bekerja. Tahun lalu, mereka sekantor bisa cuti bersama berhari-hari di ujung tahun. Kali ini, perusahaan butuh tenaga lebih untuk bertahan. Dia berharap, setelah kondisi membaik, dia benar-benar bisa libur lama—kalau bisa tiga bulan penuh—untuk menyelam di Alor, mengisi tenaga demi kinerja.
Membangkitkan semangat
Desainer Didiet Maulana sempat berlibur ke luar negeri, tapi urusan dengan klien tak bisa menanti. Dia tetap harus bertemu dan berkoordinasi soal pekerjaan dengan rekan kerjanya. Alhasil, pekerjaan ”mengusik” liburannya.
Didiet selalu memberi waktu jeda bagi dirinya untuk menyelaraskan kembali hati, pikiran, dan fisiknya untuk kembali bekerja setelah liburan. Biasanya Didiet perlu waktu tiga hari untuk sekadar berleha-leha guna menata diri sebelum tancap gas lagi. Cara itu ternyata efektif.
Psikolog Augustina Sulastri berpendapat, post-holiday blues bisa terjadi karena masa libur terlalu pendek. Kegundahan memburuk jika saat liburan masih sambil bekerja sehingga tak menikmati rehat secara penuh. Sindrom yang mengakibatkan munculnya rasa sedih, malas kembali ke rutinitas, kerap mendera pelajar, mahasiswa, atau karyawan, apalagi bagi yang sedang kelelahan, mengalami kejenuhan, dan sangat rindu istirahat. Jika dibiarkan, ini bisa mengganggu produktivitas.
Augustina melihat, jatah libur atau cuti pelajar dan karyawan di Indonesia sangat pendek. Umumnya jatah cuti tahunan karyawan adalah 12 hari, ini pun jarang yang bisa diambil penuh. Di luar itu, mereka memanfaatkan libur panjang bersama yang ditetapkan pemerintah untuk beristirahat. Namun, pekerja swasta biasanya tak serta-merta bisa mengikuti ketetapan pemerintah.
”Itu kurang lama, apalagi bagi mereka yang berpotensi kena sindrom tadi. Di Amerika, Eropa, masa libur bisa satu sampai dua bulan. Orang sampai bosan liburan sehingga malah rindu kembali sekolah atau bekerja,” ujar pengajar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, tersebut pada Jumat (5/1/2024).
Augustina menyebut, pascaliburan, baik panjang maupun pendek, sebenarnya bisa diantisipasi dengan memberi masa adaptasi bagi tubuh dan pikiran untuk kembali ke rutinitas. Semangat bekerja umumnya kembali menyala jika pengidap tergugah bahwa kelesuan berdampak pada pendapatan finansial.
Baca juga : Bersiap kembali bekerja Tanpa ”Post-holiday Blues”
Menghidupkan suasana kerja, kata Augustina, juga bisa jadi cara menambah semangat bekerja. Misalnya, dengan bertukar oleh-oleh atau potluck di kantor.
Di sisi lain, pelajar atau mahasiswa butuh usaha lebih keras. Pelajar di pendidikan dasar dan menengah masih butuh bantuan dari orangtua dan lingkungannya, terutama sekolah, untuk mengembalikan keinginan bersekolah lagi.
”Caranya, misalnya orangtua tidak berlaku sangat tegas dulu menghadapi anak yang masih malas bersekolah. Guru pun demikian, di awal pembelajaran sebaiknya memulai kegiatan ringan, agak santai, sehingga anak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang ia hadapi,” kata Augustina yang juga Ketua Kompartemen Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).
Memulihkan diri dari sindrom pascalibur perlu untuk bisa bekerja optimal lagi. Kelak, kerja keras ini bakal diganjar liburan lagi.