logo Kompas.id
Gaya HidupKopi Gayo Punya Cerita
Iklan

Kopi Gayo Punya Cerita

Tradisi menanam kopi di kawasan Gayo diawali dengan ritual sederhana, Dua Ni Kupi. Ritual ini melambangkan doa dari orangtua ke anaknya agar ia tumbuh besar dan kelak berguna bagi banyak orang.

Oleh
WISNU DEWABRATA
· 7 menit baca
Lanskap permukiman warga di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Jumat (24/11/2023). Kawasan yang berada di Dataran Tinggi Gayo ini sangat subur dan menjadi salah satu penghasil kopi terbaik di dunia.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Lanskap permukiman warga di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Jumat (24/11/2023). Kawasan yang berada di Dataran Tinggi Gayo ini sangat subur dan menjadi salah satu penghasil kopi terbaik di dunia.

Bagi masyarakat Gayo, Aceh Tengah, tanaman kopi ibarat anak kesayangan. Sejak ditanam, tanaman kopi didoakan agar tumbuh subur dan kelak memberikan manfaat bagi banyak orang.

Lubang-lubang untuk penanaman kopi telah disiapkan di kaki bukit di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Seorang warga kembali mengingatkan untuk membacakan doa yang telah diajarkan, sebelum mulai menanam bibit kopi.

Bismillah. Siti Kewe , kunikahen ko orom kuyu. Wih kin walimu. Tanoh kin saksimu. Lo ken saksi kalammu.” Artinya, ”Bismillah. Siti Kewe aku nikahkan engkau dengan angin. Air sebagai walimu. Tanah sebagai saksimu. Matahari sebagai saksi kalammu.”

Doa mendaras dari mulut sejumlah warga dan tamu undangan yang ikut menanam bibit kopi siang itu, Sabtu (25/11/2023). Dalam dekapan udara sejuk segar Gayo, tanaman kopi yang di kawasan itu diberi nama Siti Kewe, ditanam dengan rasa hormat.

Begitulah tradisi menanam kopi di kawasan Gayo yang diawali dengan ritual sederhana, Dua Ni Kupi. Ritual ini melambangkan doa dari orangtua ke anaknya agar ia tumbuh besar dan kelak berguna bagi keluarga serta orang-orang di sekitarnya. Di sini, Siti Kewe dianggap bukan sekadar tanaman, melainkan anak kesayangan.

Ritual Dua Ni Kupi masih ada yang melakukannya hingga sekarang, terutama para orang tua. ”Mereka percaya sekali kalau bibit yang didoakan bakal tumbuh subur. Ini memang terkait kepercayaan lama,” ujar Hardiansyah, pendamping Program Peningkatan Kebudayaan Desa Paya Tumpi Baru.

Para orang tua itu, lanjut Hardiansyah, sebagian masih mengajarkan ritual Dua Ni Kupi kepada anak-anak mereka. Tetapi. tidak semua petani kopi dari generasi yang lebih muda melakukannya.

Remaja perempuan membawakan tari munalo untuk menyambut tamu pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Remaja perempuan membawakan tari munalo untuk menyambut tamu pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.

Dua remaja laki-laki membawakan tari guel untuk menyambut tamu pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Dua remaja laki-laki membawakan tari guel untuk menyambut tamu pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.

Hardiansyah selaku penggiat seni dan budaya Gayo coba menghidupkan lagi prosesi menanam Siti Kewe dengan ritual Dua Ni Kupi. Tujuannya agar terjalin hubungan yang erat antara petani muda dan Siti Kewe. Ia memanfaatkan Festival Panen Kopi Gayo 2023 sebagai panggung besarnya. Tahun ini, Festival Panen Kopi Gayo yang diprakarsai oleh Komunitas Gayo Kultural Lab menjadi perhelatan ke-6.

Dengan dukungan pembiayaan dari Kementerian Pendididikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), festival digelar di tiga desa, yakni Kelitu, Bukit Sama, dan Paya Tumpi Baru. Berbagai seni tradisi dihadirkan.

Budaya kopi

Kopi tampaknya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan orang Gayo. Dari kopilah, sebagian besar warga Gayo hidup. Tidak heran jika kopi begitu disayang.

Dataran tinggi Gayo yang berada di punggung pegunungan Bukit Barisan, seperti telah ditakdirkan Tuhan sebagai ladang kopi yang subur. Tanaman kopi tumbuh di mana-mana, mulai di pekarangan rumah, pinggir jalan, hingga lereng-lereng perbukitan.

Seperti doa dalam ritual Dua Ni Kopi, Siti Kewe menghasilkan buah kopi yang lebat dan bijinya yang nikmat. Tahun 2020, menurut data Badan Pusat Statistik Aceh, produksi kopi arabika gayo di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues mencapai 65.793 ton biji kopi (green beans). Produksi ini mencapai 40 persen dari total produksi kopi arabika nasional.

Sebagian besar produksi kopi arabika gayo diekspor ke luar negeri, terutama Amerika Serikat, Eropa, dan beberapa tahun belakangan ini ke China. Para pembeli dari negara-negara itu berani menyerap dan membeli mahal kopi arabika gayo di atas standar harga internasional.

Kaum perempuan dengan pakaian khas masyarakat Gayo turut memetik buah kopi pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Kaum perempuan dengan pakaian khas masyarakat Gayo turut memetik buah kopi pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.

Buah kopi yang baru dipetik pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Buah kopi yang baru dipetik pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.

Demikianlah, cita rasa khas kopi arabika gayo telah terpatri di banyak lidah. Sayangnya, budaya masyarakat Gayo tempat Siti Kewe tumbuh, belum tenar seperti kopinya. Lewat Festival Panen Kopi Gayo, diharapkan tradisi budaya Gayo diperkenalkan lagi agar dikenal banyak orang.

Asal-usul

Tanaman kopi arabika dibawa ke Tanah Gayo oleh Belanda. Ketinggian tanah dan temperatur udara di dataran tinggi ini diyakini sangat cocok. Sebetulnya di kawasan ini sudah lama tumbuh jenis lain tanaman kopi lain. Warga setempat menyebutnya kahwa atau sengkawa, yang dipercaya berjenis robusta.

Iklan

Sayangnya, saat itu hanya sedikit orang paham manfaat serta nilai ekonominya. Kebanyakan warga Gayo menganggap kahwa hanyalah tanaman belukar liar biasa. Kalaupun dimanfaatkan sebatas bagian daunnya.

Baca juga: Sejumput ketenangan hidup orang Osing

Daun kahwa dipanggang kering, lalu diracik menjadi minuman kupi kolak ulung. Minuman itu disajikan panas bersama tambahan gula aren. Sementara buah dan biji kopinya dibiarkan menjadi makanan hewan liar. Baru pada 1908, sekitar empat tahun setelah Belanda menguasai Takengon, tanaman kopi arabika dibudidayakan.

Saat Perang Aceh meletus tahun 1873, daerah Gayo hampir tak tersentuh. Belanda baru menyerang Gayo tahun 1904 dipimpin Overste van Daalen. Kisah ini dicatat dalam buku Riak di Laut Tawar Tradisi dan Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah oleh Mukhlis PaEni (2016).

Di Takengon, bibit pertama tanaman kopi arabika dipercaya ditanam di wilayah Paya Tumpi, sebelah utara Danau Lut Tawar. Belanda resmi mendirikan perkebunan kopi arabika seluas 125 hektar pada 1930. Lahan perkebunan besar itu berlokasi di dua tempat, Belang Gele, Aceh Tengah, dan Bergendal, Bener Meriah.

Pekerja  dengan bantuan lampu penerangan menyortir biji hijau kopi jenis arabika gayo di pabrik pengolahan MD Coffee House di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Minggu (26/11/2023). Mereka bekerja mendapatkan upah sebesar Rp 1.000 untuk tiap kilogram biji kopi dan dalam sehari seorang pekerja menyortir sekitar 50 kilogram kopi. Kopi terbaik hasil sortiran sebagian besar akan dijual ke pasar ekspor dan sebagian lain di pasar dalam negeri.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Pekerja dengan bantuan lampu penerangan menyortir biji hijau kopi jenis arabika gayo di pabrik pengolahan MD Coffee House di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Minggu (26/11/2023). Mereka bekerja mendapatkan upah sebesar Rp 1.000 untuk tiap kilogram biji kopi dan dalam sehari seorang pekerja menyortir sekitar 50 kilogram kopi. Kopi terbaik hasil sortiran sebagian besar akan dijual ke pasar ekspor dan sebagian lain di pasar dalam negeri.

Tamu undangan menikmati sajian kopi di tengah kebun kopi pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Tamu undangan menikmati sajian kopi di tengah kebun kopi pada Festival Panen Kopi Gayo 2023 di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Sabtu (25/11/2023). Festival yang digelar untuk keenam kalinya ini menjadi sarana memuliakan kopi melalui kebudayaan. Berbagai acara pertunjukan seni akan digelar selama festival, seperti seni tradisional didong, canang, tari saman pegayon, serta pentas musik Jazz Panen Kopi. Festival berlangsung pada 25-26 November 2023.

Perkebunan pertama, Wilhelmina Belang Gele, dikelola Belanda sementara yang kedua, Burni Bius, dikelola orang Jerman. Semua tercatat dalam buku Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo (2012) terbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh.

Seabad sebelumnya Belanda sudah lebih dulu membudidayakan kopi arabika di beberapa area dataran tinggi di Pulau Jawa. Oleh karena itu banyak koeli (kuli) kontrak asal tanah Jawa, Jawa Kontrak, didatangkan ke Gayo sejak tahun 1920.

Tidak heran jika masyarakat mengandalkan sumber penghidupan mereka, salah satunya dari tanaman kopi. Ada banyak tanaman dan perkebunan kopi arabika diwariskan turun-temurun. Salah satunya dimiliki Marta Jaya Kusuma (45), seorang Reje (Kepala) Kampung atau Desa Paya Tumpi.

”Dulu bapak saya punya 2 hektar kebun kopi. Alhamdulillah kami enam orang anaknya bisa berkuliah sampai lulus,” kata Marta saat ditemui di sela acara Festival Panen Kopi Gayo 2023.

Kini Marta mewarisi tiga perempat hektar lahan kebun kopi. Setiap panen kebunnya bisa menghasilkan 500-an kilogram green beans, yang dijualnya di kisaran Rp 100.000-an per kilogram. Sebetulnya total produksi panen yang dihasilkan bisa lebih banyak lagi. ”Saya tak rajin merawat kebun kopi karena harus mengurus warga sebagai Reje (kepala desa),” ujarnya.

Lanskap permukiman warga di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Jumat (24/11/2023). Kawasan yang berada di Dataran Tinggi Gayo ini sangat subur dan menjadi salah satu penghasil kopi terbaik di dunia.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Lanskap permukiman warga di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Jumat (24/11/2023). Kawasan yang berada di Dataran Tinggi Gayo ini sangat subur dan menjadi salah satu penghasil kopi terbaik di dunia.

Warga memeriksa tanaman kopi jenis arabika gayo yang baru berbuah di kebun di belakang rumahnya di Takengon, Kabupaten Aceh Besar, Senin (27/11/2023). Tanaman ini dikembangkan dengan sistem tanam pagar rapat untuk meningkatkan produktivitas kopi.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Warga memeriksa tanaman kopi jenis arabika gayo yang baru berbuah di kebun di belakang rumahnya di Takengon, Kabupaten Aceh Besar, Senin (27/11/2023). Tanaman ini dikembangkan dengan sistem tanam pagar rapat untuk meningkatkan produktivitas kopi.

Beberapa waktu lalu ada puluhan batang pohon kopi lama miliknya mati dari 1.000 batang yang sudah ada sebelumnya. Marta mengaku sangat menyesali hal itu. Dia berencana akan lebih serius mengurus kebun kopinya terutama jika tak lagi menjadi Reje.

Apa yang dialami Marta adalah gejala umum di kalangan petani kopi di Aceh Tengah. Kebun kopi belum sepenuhnya digarap serius sehingga produktivitasnya begitu-begitu saja.

Mahdi Usati, salah satu pedagang kopi arabika gayo untuk pasar ekspor yang juga pencicip kopi (cupper) profesional, menceritakan, kebun kopi arabika di Bener Meriah dan Aceh Tengah sebetulnya adalah lahan kebun kopi arabika terluas di dunia saat ini. Data tahun 2018 menunjukkan, setidaknya ada 80.000 hektar lahan kebun kopi di seluruh Tanah Gayo. Sayangnya total produksi kopinya justru yang terkecil, kalah dibandingkan Vietnam atau Brasil. ”Kemampuan produksi kebun kopi di Vietnam per hektar per tahun bisa mencapai 1,2-1,5 ton (green beans).”

Sementara menurut Armiyadi, sesama pengekspor yang juga konsultan tanam kopi, total kapasitas produksi maksimal kopi arabika di perkebunan Brasil malah mencapai 5-12 ton. Padahal, di Aceh Tengah rata-rata hasil panen kopi per 1 hektar lahan masih mentok maksimal di 720 kilogram per tahun.

Baca juga: hMasa depan anak muda Kemiren terbentang- di desa

Keduanya sama-sama menyebut, rendahnya produktivitas kebun kopi arabika di Gayo terkait kerangka berpikir dan etos kerja petani yang masih menganggap pekerjaan di kebun kopi sekadar warisan dan belum dianggap serius. Kerja-kerja berkebun juga masih kerap dianggap pekerjaan kotor tak sebergengsi menjadi aparat pemerintah, polisi, atau tentara. Malah kerap terdengar cerita lahan kopi warisan dijual untuk masuk menjadi aparat.

Padahal, pendapatan dari hasil menanam kopi lumayan menjanjikan. Apalagi harga kopi arabika gayo terbilang stabil, mengikuti atau bahkan jauh di atas harga internasional. Harga per kilogram sudah mencapai Rp 130.000 per kilogram green beans. Itu pun biasanya para pembeli di luar negeri masih akan menambahkan 70-200 sen dollar AS lagi agar penjual tak beralih ke pembeli lain.

”Saya berani pastikan kopi (arabika) gayo sampai sekarang masih menjadi kopi komersial termahal di dunia. Harga kopi kita selalu jauh di atas harga yang ditetapkan Organisasi Kopi Internasional (ICO),” ujar Mahdi.

Di luar kopinya, warga lokal seperti Hardiansyah melihat kekayaan tradisi lokal terkait kopi, tak ternilai harganya. Sebagian bisa dijual dalam bentuk paket-paket wisata.

Mari kita minum kopi gayo dulu!

Editor:
BUDI SUWARNA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000