Jakarta dalam Sepiring Gultik
Nasi gulai sapi dari Sukoharjo kini ”ngetop” sebagai makanan pop khas Blok M, Jakarta Selatan. Sepiring gultik merekam dinamika kota Jakarta.
Sepiring gulai tikungan alias gultik di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, telah merekam rupa-rupa wajah Jakarta setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Selama itu pula gultik diuji zaman. Ia melalui krisis ekonomi, pandemi Covid-19, dan kini meniti pemulihan pascakrisis sambil jadi media darling.
Dapur Budi Nugroho (34) mulai menunjukkan tanda kehidupan pada pukul 10.00 WIB pagi, Jumat (3/11/2023). Ada yang memasak nasi, menggoreng kerupuk, serta menyiapkan sekitar 400 tusuk sate telur puyuh, kulit ayam, bakso, dan ampela. Ada pula yang merebus daging sapi sampai empuk selama sekitar satu jam.
Setelah dingin, daging lantas dipotong tipis-tipis dan di-gongso (ditumis) dengan bumbu halus yang terdiri, antara lain, dari bawang merah, bawang putih, cabai merah, lengkuas, kemiri, ketumbar, dan kunyit. Saat di-gongso, daging dari bagian iga sapi ini diberi tambahan serai, daun jeruk, dan daun salam. Setelah bumbu meresap di daging, santan dimasukkan dan dimasak hingga mendidih.
Itulah pembuatan gulai khas Sukoharjo, Jawa Tengah. Walakin, Budi yang berasal dari Sukoharjo ini nyaris tak menemukan warung nasi gulai di sana. Pedagang nasi gulai—yang rata-rata adalah transmigran—malah menjamur di Jakarta.
Pegiat sekaligus penulis produktif buku-buku kuliner Nusantara, Kevindra Soemantri, menyebut gultik sebagai contoh sempurna kuliner urban sebuah kota besar seperti Jakarta. Kuliner urban biasanya hadir sejalan dengan proses migrasi.
Pembangunan fisik yang sangat pesat di Jakarta mulai awal 1970-an menyedot banyak tenaga kerja dari banyak daerah. Para pendatang berbondong-bondong coba mengadu nasib di Ibu Kota. Kebanyakan dari mereka menjadi pekerja kerah biru (blue collar) atau pekerja fisik.
Baca juga : Denyut Budaya Pop Area Blok M
Ada dari mereka yang berhasil dan melanjutkan pekerjaan di bidangnya, sementara beberapa lagi ada yang gagal namun memilih menetap di Jakarta. Kelompok terakhir itu mencoba peruntungan lain, salah satunya berjualan makanan.
Tak heran jika di kurun waktu tersebut ada banyak bisnis kuliner baru bermunculan. Sebagian bertahan dan populer bahkan sampai sekarang. Beberapa dari mereka berbisnis restoran Minang seperti Natrabu, Pagi Sore, dan warung-warung nasi Kapau di kawasan Kramat, Jakarta. Adapun gultik muncul di tahun 1970-an, diawali oleh seorang pedagang asal Sukoharjo.
”Mereka mengakui, awalnya gultik dari seorang pedagang nasi gulai asal Sukoharjo, Jawa Tengah, yang berjualan di sekitar Jalan Lumandau. Lokasinya enggak jauh dari tempat gultik yang terkenal sampai sekarang,” ujar Kevindra.
Budi merupakan pedagang gultik generasi ketiga di keluarganya. Ia mewarisi usaha ini dari bapak mertuanya sejak 2016, sementara bapak mertuanya kembali ke kampung dan bertani. Sang mertua juga mewarisi usaha ini dari bapaknya yang dulu berjualan dengan bakul pikul. Kata Budi, bahu kakek mertuanya sampai berpunuk saking seringnya memikul dagangan.
Kini, gultik dagangan keluarga Budi sudah berubah format. Gultik tak lagi dijajakan dengan bakul pikul atau secara keliling. Gultiknya kini dijual di atas trotoar di persimpangan Jalan Mahakam-Bulungan, Blok M. Ia berjualan mulai pukul 16.00 WIB sore hingga pukul 03.00-04.00 WIB pagi.
”Kami menyebut diri kami pejuang rupiah,” kata Budi sambil terkekeh. Salah satu rekan Budi menambahkan, ”Kami punya falsafah, Jakarta enggak boleh tidur.”
Kehidupan malam
Karena prinsip itulah, mereka rela ”tidur ayam” setiap hari. Dalam sehari, mereka tidur hanya sekitar lima jam demi melayani warga Jakarta yang tak kunjung tidur. Setelah lewat tengah malam pun ada saja yang datang membeli gultik. Mereka biasanya pekerja sif malam atau yang habis menikmati hiburan malam.
Agar tetap waras jiwa dan raga, Budi dan rekan-rekannya selalu berkelakar saat bekerja. Suasana hati yang senang memang dibutuhkan untuk menghadapi ratusan konsumen yang akan menyerbu di malam hari.
Jejeran pedagang gultik di simpang Jalan Mahakam-Bulungan biasanya mulai ramai pukul 19.00-20.00 WIB malam hingga jelang tengah malam di hari biasa. Pada akhir pekan, gelombang konsumen bisa bertahan hingga tengah malam, bahkan lewat tengah malam. Jumlah pengunjung di akhir pekan pun jauh lebih banyak dari hari biasa. Jumlah porsi yang terjual di hari biasa dan akhir pekan pun bisa selisih ratusan porsi.
”Contoh dari sate saja. Di hari biasa saya bawa 400 tusuk. Kalau malam Sabtu bisa 500-600 tusuk dan kalau malam Minggu 750-800 tusuk,” ucap Budi.
Sambil melayani pembeli, para pedagang asyik mengamati rupa-rupa orang Jakarta. Ada yang mengesalkan, ada yang baik hati dan ramah, dan ada pula yang penipu. Pedagang gultik di Jalan Barito (lima menit jalan kaki dari Jalan Mahakam-Bulungan), Suyanto (46), beberapa kali mendapati pembeli yang menyodorkan uang palsu. Pernah juga ia dijanjikan pembeli yang hendak ke ATM, namun tak kunjung kembali dan membayar tagihan Rp 300.000.
Suyanto juga menemukan sejumlah pesohor baik hati dan ramah. Ia menyebut gerobaknya pernah didatangi, antara lain, oleh Anang Hermansyah, Nicky Astria, almarhum Bondan Winarno, hingga Presiden kelima Megawati Soekarnoputri.
”RI 1 datang dengan Mas Guruh (Soekarnoputra). Melihat tangan saya yang tremor, saya dikasih memo sama Mas Guruh untuk berobat ke klinik,” kata Suyanto yang masih bersaudara dengan Budi.
Belum normal
Walau jumlah konsumen gultik ratusan hingga ribuan orang, kondisi penjualan gultik di Blok M dinilai belum kembali normal. Menurut para pedagang, masa penjualan sebelum pandemi Covid-19 jauh lebih baik dibandingkan sekarang. Sebelum pandemi, tidak akan ada kursi kosong selama jualan. Setelah tengah malam pun dagangan tetap diserbu konsumen.
Gultik menolak mati. Publik mulai kembali datang ke Blok M untuk makan gultik sekitar tahun 2022 dan bertahan hingga kini.
Agus (42), pedagang generasi kedua yang sudah berjualan sejak tahun 2012, mengatakan, terjadi penurunan pembeli sejak pertengahan tahun ini. ”Sepi dari pertengahan tahun, penjual lain juga pada ngeluh sama,” ucapnya pada Jumat (3/11/2023).
Baca juga : Mencatat Makanan Penuh Kenangan
Walau demikian, kondisi saat ini sangat disyukuri para pedagang yang sempat kesulitan berdagang saat pandemi. Kala itu mereka dilarang sama sekali untuk berjualan. Peraturan lantas dilonggarkan dan mereka boleh berjualan secara bergantian. Dalam seminggu, satu lapak bisa kebagian jatah jualan sekitar tiga kali.
Jam berdagang pun dibatasi hanya sekitar tiga jam dalam sehari. Mereka sudah harus tutup warung walau belum balik modal. Salah satu pedagang sejak tahun 1998, Kelik (42), mengaku pernah hanya menjual enam porsi gultik dalam sehari. Adapun seporsi gultik dijual seharga Rp 10.000.
Pandemi membuat mereka babak belur. Ada pedagang yang terpaksa pulang kampung, namun ada juga yang ngotot bertahan dengan beralih ke penjualan daring. Tinggal kirim pesan di Whatsapp, gultik akan segera disiapkan.
Walau demikian, gultik menolak mati. Publik mulai kembali datang ke Blok M untuk makan gultik sekitar tahun 2022 dan bertahan hingga kini.
Gultik pun kembali berdenyut dengan lajunya informasi di platform digital. Belakangan, para pengguna media sosial datang ke kawasan Blok M untuk membuat konten. Coba saja cari kata kunci ”gultik Blok M” di Tiktok.
Baca juga : Kuliner Nusantara Berdialog dengan Zaman
Para pengguna media sosial menunjukkan lapak gultik favoritnya, berikut harga, isi sepiring gultik, dan cita rasa makanan tersebut. Ada pula yang sekadar mencoba gultik yang banyak direkomendasikan di media sosial, lalu mengunggah pengalaman makannya. Gultik pun jadi media darling.
Di sisi lain, ada juga beberapa food vlogger yang mampir ke lapak gultik untuk membuat video. Setelah video diunggah, para penonton dan pengikut food vlogger ramai-ramai mencicipi gultik tersebut.
”Sangat membantu banget. Medsos itu dampaknya luar biasa. Apalagi pas (yang mengunggah konten) punya power. Otomatis review mereka soal makanan ditunggu-tunggu orang,” ucap Suyanto.
Lebih lanjut, Kevindra menyebut pamor gultik meredup di tahun 2000-an seiring menurunnya pamor Blok M. Hal itu berubah saat pemerintah daerah merevitalisasi sejumlah fasilitas umum dan sosial di kawasan tersebut. Ini membuat bisnis kembali bergairah. Kehadiran sistem transportasi seperti MRT pun membuat orang kembali berdatangan.
”Apalagi kawasan Blok M punya keunikan tersendiri, seperti gultik sebagai ikon budaya pop, yang tak bisa ditemukan di kawasan lain di Jakarta. Hal itu menjadi identitas sebuah kawasan dan akan terus langgeng sampai kapan pun, kecuali sengaja digusur atau diintervensi. Gultik sudah jadi bagian dari detak jantung Blok M,” ujar Kevindra.
(*) Kolaborasi dengan peserta program magang harian Kompas: Aghniya Fitri Kamila, mahasiswi Jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.