Mudah dan Nikmat
Rempah-rempah kaya di Indonesia menghasilkan bumbu dan masakan yang kaya pula. Dengan hadirnya bumbu kemasan, masakan Indonesia pun bisa hadir di mana saja.
Sedang ingin makan apa? Rawon? Opor ayam? Rendang? Pecel? Sekarang, semua bisa dimasak dengan mudah di dapur sendiri. Dengan bumbu racik kemasan, setiap hari meja makan bakal terasa seperti restoran khas Nusantara.
Mudah dan nikmat. Itulah asal mula nama Munik, merek bumbu racik kemasan yang didirikan sejak 1994. Pendiri Munik waktu itu memasak sayur asem yang rupanya disukai orang-orang yang mencicipinya. Rasa asam, gurih, dan pedasnya pas. Kelezatan sayur asem ini lantas menyebar dari mulut ke mulut. Kata mereka, rasanya Indonesia banget dan bisa diterima lidah orang Jawa ataupun Sumatera.
Sang pendiri, yang adalah orang asli Jakarta, pun mulai membuat bumbu sayur asem bernama Munik. Bumbu itu awalnya untuk didistribusikan ke usaha katering. Seiring berjalannya waktu, Munik berkembang, begitu pula varian bumbunya. Mereka juga membuat Munik Restoran pada 2008.
”Bumbu kedua yang kami buat adalah ayam goreng. Biasanya, makan sayur asem, kan, mesti ada temannya. Untuk melengkapi sayur asem, dibuatlah bumbu ayam goreng,” ucap anggota tim komunikasi divisi bumbu PT Sarimunik Mandiri, Puput Dwi Waryanti, di Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Baca juga: Dari Nusantara Membumbui Dunia
Kini ada sekitar 40 bumbu racik siap masak yang diproduksi Munik, seperti bumbu ayam woku, laksa, teri kacang, sop buntut, semur, dan pepes ikan. Ada pula bumbu untuk membuat nasi goreng, nasi kuning, dan nasi uduk. Ada pula bumbu berbasis kacang untuk pecel, gado-gado, dan ketoprak. Bumbu itu bisa ditemui di supermarket atau lokapasar.
Sejumlah restoran besar dan katering menjadi langganan bumbu Munik hingga saat ini. Hotel-hotel bintang tiga hingga lima pun tercatat sebagai pelanggan, baik yang ada di Jakarta maupun luar kota. Ada yang memesan bumbu secara kiloan ataupun per bungkus secara daring.
Perusahaan bumbu yang kini ditangani generasi kedua ini sudah ekspor ke luar negeri, seperti Jerman, Australia, Amerika Serikat, dan Belanda. Namun, penyebaran bumbu ini diprediksi lebih luas. Sebab, banyak yang membawa bumbu ini untuk bekal di luar negeri.
”Ada juga yang beli untuk jastip (jasa titip). Biasanya mereka beli minimal sepuluh buah, pengirimannya minta dikasih bubble wrap, dan biasanya mereka minta bumbu yang masa kedaluwarsanya paling lama,” ucap Puput.
Namun, penyebaran bumbu ini diprediksi lebih luas. Sebab, banyak yang membawa bumbu ini untuk bekal di luar negeri.
Bagi para diaspora, makanan adalah sarana melepas kangen dengan Tanah Air. Dengan bumbu racik kemasan, makanan Nusantara apa pun bisa dimasak walau sedang ada di belahan dunia lain.
Makanan Indonesia bisa saja dibuat di negara mana pun selama bahan dan rempahnya ada. Namun, cita rasanya diyakini tak sama dengan masakan asli Indonesia. Ini karena rempah yang ditanam di tanah Indonesia punya cita rasa sendiri.
Penjualan bumbu kemasan naik signifikan saat pandemi Covid-19. Pembatasan sosial yang diberlakukan pemerintah, ditambah ketakutan publik untuk keluar rumah, membuat penjualan di pasar daring laris manis.
Selain pandemi, penjualan bumbu pun biasanya naik signifikan di hari raya. Pada masa Ramadhan tahun ini, misalnya, penjualan naik hingga 200 persen dibandingkan hari biasa. Bumbu yang laris dibeli antara lain rendang dan opor. Sementara saat Idul Adha, penjualan naik hingga 150 persen. Salah satu bumbu yang diborong adalah kari kambing.
Bumbu racik kemasan pun laris manis di kalangan pekerja yang supersibuk, terutama di kota besar. Mereka ingin memasak, tetapi waktu dan energinya terbatas. Bumbu kemasan pun jadi penyelamat.
Adapun Munik mengembangkan bumbu dasar putih, kuning, dan merah. Ketiganya sama-sama mengandung bawang merah dan putih. Namun, bumbu putih diberi tambahan kemiri, bumbu kuning kunyit, dan bumbu merah cabai. Pakar kuliner Sisca Soewitomo pernah berkata, kunci masakan Indonesia ada di tiga bumbu dasar ini.
Wajib ada sambal
Bicara masakan Indonesia, tak lengkap tanpa sambal. Hal ini pula yang mendasari Sylvia Marina (50) membuat sambal botolan bernama Pesta Sambal. Selain itu, ia sekeluarga pun doyan sambal. Merek sambal yang baru dirintis setahun terakhir ini punya beberapa varian sambal, seperti sambal kecombrang, terasi, bajak, cumi, dan udang.
Resep sambal Sylvia bisa dibilang merupakan hasil warisan dari eyang buyutnya. Dulu, eyang buyutnya suka membuat sambal bajak dengan resep yang tak biasa: ditambahkan lengkuas. Aroma sambal dengan lengkuas masih tertanam di memori Sylvia. Resep itu pula yang menjadi acuan Sylvia hingga sekarang.
”Kayaknya sekarang sambal yang pakai lengkuas sangat jarang. Maka saya seperti membangkitkan memori masa lalu,” katanya, Kamis (28/9/2023).
Hingga kini, sambal Sylvia masih diproduksi secara terbatas di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten. Dalam seminggu, ia bisa membuat sekitar 300 botol berkapasitas 330 mililiter. Harganya Rp 30.000-Rp 35.000 per botol.
Baca juga: Rempah ”Bumbu Penawar Rindu” Diaspora Nusantara
Produknya telah menjangkau beberapa kota, seperti Sangatta (Kutai Timur, Kalimantan Timur), Demak, Pekanbaru, Semarang, dan Jepara. Sambalnya juga dibawa beberapa konsumennya ke luar negeri, seperti Inggris, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat.
Tak hanya Pesta Sambal, pengusaha Sambel Pecel Delatu di Madiun, Jawa Timur, Nur Harjanti (53), memproduksi 10-30 kilogram bumbu pecel per bulan di rumahnya. Usaha yang didirikan sejak 1985 itu masih mempertahankan resep asli bumbu pecel yang dibuat ibu Nur, sang pendiri Pecel Delatu.
Resepnya terdiri dari kacang tanah sangrai, gula merah, garam, daun jeruk purut, bawang goreng, dan bawang putih. Khusus untuk kacang, Nur hanya menggunakan kacang tanah dari Tuban, Jawa Timur. ”Soalnya rasanya (kacang tanah Tuban) lebih gurih dibandingkan kacang yang lain,” jelasnya, Jumat.
Sambel Pecel Delatu hingga kini telah dikirimkan ke beberapa kota, seperti Jakarta, Bekasi, Yogyakarta, dan Surabaya. Selain memproduksi sambal pecel, Nur juga membuat berbagai varian minuman rempah, seperti beras kencur, kunyit asam, dan wedang uwuh. Minuman ini diminati hingga membuat Nur bisa memproduksi sekitar 300 botol setiap minggu. Ia lantas membuat minuman rempah versi instan.
Tanam sendiri
Bagi Sylvia dan Nur, kelangkaan rempah hingga harga rempah yang melambung tinggi menjadi tantangan saat produksi. Menanam rempah sendiri pun menjadi siasat.
Nur, misalnya, menanam sendiri, antara lain jahe, serai, kunyit, dan asam yang digunakan untuk membuat minuman rempah. Ia juga menanam cabai rawit untuk membuat bumbu pecel.
Menanam rempah sendiri pun menjadi siasat.
Semuanya ditanam di sekitar 100 polybag untuk menyiasati pekarangan rumahnya yang terbatas. Namun, karena hasil panennya tak bisa mencukupi kebutuhan produksinya ia pun membeli lagi rempah-rempah dari pasar.
Cara lain yang diterapkan Nur untuk memangkas biaya produksi adalah menstok persediaan bahan ketika harganya sedang murah. ”Jadi kendala itu di harga cabai. Waktu harga cabai murah, kami keringkan,” ujarnya.
Sementara itu, Sylvia hingga kini masih membeli bahan-bahan sambal di pasar, seperti bawang merah, bawang putih, cabai, dan bunga kecombrang. ”Saat harga cabai turun, harga bawang merah naik. Akhirnya subsidi silang saja. Tapi, saya dan anak-anak pernah ngobrol untuk menanam sendiri bahan baku sambal,” katanya.
Kolaborasi dengan intern harian Kompas : Aghniya Fitri Kamila, mahasiswa Jurusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.