Para Penakluk Keluak
Di tangan para penakluk, keluak tak hanya telah mengantar rawon menjadi sup terenak di dunia, tetapi juga menu-menu berwarna gelap yang menggoyang lidah.

Sejumlah keluak matang yang telah diperam dan siap jual di tempat pengepulannya, UD Rempah Jaya, Watulimo, Kabupaten Trenggalek.
Banyak menu lezat, termasuk rawon yang dinobatkan sebagai salah satu sup terenak di dunia, berutang pada keluak. Bagaimana para penakluk keluak bisa mengolah biji yang sebenarnya beracun ini menjadi bumbu yang menentukan kelezatan sejumlah makanan?
Bentuk buahnya terbilang besar dengan kulit keras berwarna coklat cerah semacam buah sawo. Di dalamnya terdapat daging buah dan sekitar 20 biji berbentuk segitiga sepanjang lima sentimeter, berkulit biji kasar berkayu dan beralur. Setelah diolah dan dihilangkan kadungan racunnya, biji-biji tadi menjadi keluak yang bernilai ekonomi lantaran bisa diolah sebagai bumbu utama rawon.
Keluak berasal dari buah pohon pucung (Pangium edule), salah satu jenis tanaman keras yang diyakini mampu menyerap air tanah dan menampung air hujan sehingga baik untuk lahan. Mengutip buku Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur karya Made Astawan, tanaman pucung tumbuh di ketinggian 300-1.000 meter di atas permukaan laut.
Dia mampu bertahan hidup di segala jenis tanah, mulai dari yang tergenang air, kering, berlempung, hingga berbatu. Pohon pucung baru akan berbuah setelah usianya mencapai 15 tahun.
Di banyak daerah di Nusantara, keluak dikenal dengan beragam nama. Mulai dari picung atau pucung di Jawa Barat atau Jakarta, pakem di Bali dan Kalimantan, kapencueng atau kapecong di Minangkabau, pamarrasan di Toraja, atau kepayang di beberapa daerah. Tanpa diolah terlebih dulu, keluak berbahaya bagi manusia karena mengandung racun asam sianida.

Mukaji (54) petani penggarap lahan kawasan hutan milik Perhutani alias pesanggem tengah menunjukkan buah pucung yang telah jatuh akibat masak. biji bagian dalamnya siap diolah menjadi buah keluak yang bisa dipakai menjadi bahan baku kuliner seperti rawon.

Tria, salah seorang pengepul pemilik UD Sumber Rempah, Watulimo, Kabupaten Trenggalek, menunjukkan isi keluak yang telah dimasak dan diperam siap jual.
Pada konsentrasi rendah, racun sianida tadi dapat menyebabkan sakit kepala, mual, dan muntah. Pada konsentrasi tinggi, sekitar 50-60 miligram, kandungan asam sianida bisa membuat orang lumpuh (paralisis) dan bahkan memicu kematian.
Salah satu ”penakluk” keluak adalah Mukaji (54), petani penggarap lahan kawasan hutan (pesanggem) berpengalaman di Dompyong, Kecamatan Watulimo, Trenggalek, Jawa Timur. Di lahan garapannya di kawasan perbukitan itu ada beragam pohon tanaman keras dan tanaman semusim lain, seperti pohon cengkeh, durian, jengkol, avokad, dan terutama pohon pucung.
”Di lahan saya sekarang masih ada tujuh pohon pucung. Panennya di bulan kelima atau keenam setiap tahun. Biasanya per pohon menghasilkan sekarung atau sekitar 60 kilogram keluak mentah. Setelah dibersihkan di air mengalir, keluak itu saya jual ke pengepul langganan,” papar Mukaji saat ditemui pada Sabtu (9/9/2023) di kebunnya.
Baca juga: Kuliner-Jember yang menggoyang lidah
Untuk usianya yang sudah lebih dari separuh abad, Mukaji tampak lincah bergerak. Dengan cekatan dia berjalan naik turun lereng-lereng bukit terjal bersudut kemiringan sekitar 45 derajat untuk membersihkan area sekitar tanaman-tanamannya dari gulma dan rumput liar, laiknya berjalan di atas aspal mulus.
Siang itu, dia terus berjalan naik turun area perbukitan itu di tengah panas terik menyengat ubun-ubun. Tingkat kelembaban udara yang tinggi khas kawasan pantai menambah cepat badan berkeringat. Lumayan sulit mengimbangi pergerakan Mukaji.
Jauh sebelum Mukaji membeli hak menggarap dua petak lahannya sekarang, masing-masing seperempat hektar, tanaman pucung mendominasi area perbukitan itu. Pasalnya, pascareformasi, kisah Mukaji, sempat terjadi penggundulan hutan milik Perhutani akibat penjarahan kayu.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di lokasi Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu Nasi Rawon, Nasi Gule, dan Sate Komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.

Seporsi rawon bakar ala Dapur Sambel dan Rawon Bakar di Jalan Ketintang Madya, Surabaya, Jumat (15/9/2023). Kedai beroperasi sejak awal tahun di mana menu rawon bakar dikenalkan sebulan lalu atau sejak Agustus 2023.
Setelah itu, Perhutani mengajak masyarakat sekitar menghijaukan kembali kawasan hutan. Masyarakat sekitar diajak menanami kembali lahan dengan berbagai jenis pohon tanaman keras, salah satunya pucung.
Racun keluak
Untuk menaklukkan keluak sehingga layak dan aman dikonsumsi, ada dua cara yang biasa dilakukan masyarakat dalam memproses biji keluak. Metode pertama direbus dan kedua dipanggang atau dibakar menggunakan api sekam. Proses pengolahan keluak mentah ini biasanya dilakukan para pengepul setelah keluak terkumpul dalam jumlah besar.
Untuk metode panggang atau pembakaran, keluak yang akan diproses ditumpuk lalu dilapisi tanah, batang-batang pisang, lalu garam, dan sekam atau jerami, yang kemudian dibakar. Prosesnya kurang lebih mirip dengan cara membuat batu bata dibakar nonstop selama 10 hari. Dengan cara itu, keluak cepat matang dan siap dilempar ke pasaran.
Baca juga: Memohon pada rawon
Daging biji yang dihasilkan lebih keras, berwarna gelap, dan sedikit berbau sangit akibat proses pembakaran tadi. Metode pemanggangan memang jauh lebih bisa cepat dinikmati hasilnya ketimbang metode perebusan. Setelah direbus selama beberapa jam, buah keluak yang sudah matang tak bisa langsung dijual, tetapi harus disimpan atau diperam terlebih dulu selama dua bulan. Proses penyimpanan juga harus dilakukan hati-hati agar keluak yang sudah matang tidak mengering atau bahkan rusak atau busuk lantaran masih terlalu basah.
Guru Besar dan Peneliti Departemen Ilmu Pangan dan Bioteknologi Universitas Brawijaya, Widya Dwi Rukmi Putri, Kamis (14/9/2023), menyebutkan, pada intinya kedua metode bertujuan sama, memanaskan, mematangkan, lalu mematikan bagian tunas yang ada di dalam biji keluak. Dengan begitu, kemungkinan keluak bertunas sepanjang diproses bisa dicegah. Proses fermentasi biji keluak butuh waktu sekitar 2,5 bulan. Jika dalam proses itu tunas masih bisa tumbuh dan biji terbuka, reaksi oksidasi bisa terjadi, yang justru malah akan menghasilkan senyawa lain dan lebih beracun.

Ikan gabus pucung ARSIP SAJI 28-09-2020

Brongkos ARSIP SAJI 28-09-2020
”Soal kenapa bisa ada yang direbus atau dipanggang, kedua cara disesuaikan kondisi daerah masing-masing. Di daerah yang air sulit, orang tentunya tidak akan memakai metode perebusan. Namun, metode menggunakan air juga terbilang efektif karena mampu melarutkan racun. Jadi, masing-masing cara punya plus dan minus sendiri,” ujar Widya.
Keluak asal Watulimo, Kabupaten Trenggalek, disebut-sebut memiliki kualitas terbaik. Beberapa lokasi pesaing, menurut pemilik usaha pengepulan berbagai komoditas tanaman termasuk keluak di Watulimo, yaitu Usaha Dagang (UD) Sumber Rempah, Budi Santoso (42), adalah Ponorogo dan Banyuwangi, Jawa Timur. Selain itu, juga di Kabupaten Kulon Progo, Bantul, Sleman, dan Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di luar Pulau Jawa, keluak juga dihasilkan salah satunya di Bengkulu. Kapiyah, pengepul lain asal Sawahan, Watulimo, menuturkan, saat stok keluak miliknya tidak mencukupi manakala ada permintaan, dia juga mencari pasokan keluak dari Bengkulu.
Kuliner berbumbu keluak
Di Jawa Timur, keluak kerap identik sebagai bumbu utama membuat rawon, sejenis daging masak kuah, dengan bumbu berempah. Rawon biasanya disajikan dengan tambahan kecambah dan sambal ulek yang dinikmati bersama sepiring nasi hangat. Dalam rawon ada beberapa kerat daging, biasanya sapi atau kerbau seperti ada dalam catatan sejarah.
Bahan bumbu keluak tidak pernah disebut atau tercatat secara spesifik termasuk di sejumlah naskah kuno, baik inkripsi maupun kakawin, baik di era Jawa Kuno, Jawa Baru, dan bahkan buku resep masa kolonial, Kokki Bitja, yang ditulis Cornelia, Nn, tahun 1930, yang di dalamnya mencantumkan rawon.

(Pesanan Kompas Minggu) Pekerja menyiapkan pesanan di warung rawon balungan Benowo H Mufid saat jam makan siang di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (13/9/2023). Usaha rawon balungan tersebut berdiri sejak tahun 1965.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di lokasi Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu Nasi Rawon, Nasi Gule, dan Sate Komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.
Menurut dosen Antropologi Universitas Brawijaya, Ary Budiyanto, ada banyak jenis rawon dan tak semuanya menggunakan bahan baku keluak. Di sisi lain, banyak juga kuliner lokal selain rawon yang menggunakan keluak.
Salah satunya pindang daging sapi khas trenggalek yang menggunakan tambahan serundeng saat disajikan. Secara fisik, kuliner satu ini mirip dengan rawon lantaran sama-sama menggunakan keluak dan berkuah hitam. Bedanya, kuahnya lebih terasa manis dan pedas lantaran ditaburi cabai utuh yang ikut dimasak seperti yang tersaji di warung makan Soto Lina Sihir di kawasan KH Hasyim Asyari, Trenggalek, milik Herlina (55).
”Untuk sepanci pindang yang saya buat dibutuhkan tujuh kilogram daging dan iga sapi serta 10 biji keluak. Sementara untuk serundengnya butuh 11 butir kelapa tua yang diparut lalu dibumbui dan disangrai. Menu pindang sapi di sini buka sejak tahun 2008,” ujar Herlina.
Ada juga daging keluak yang masih berwarna putih atau disebut cempe. Daging biji keluak itu belum diproses sampai berubah warna menjadi gelap. Daging cempe tersebut bertekstur kenyal seperti jamur dan biasanya dimasak dengan cara ditumis atau dijadikan bahan campuran kuliner khas Trenggalek lainnya, geneman kresek teri bonding.
Selain rawon, keluak yang telah diolah juga dijadikan bahan bumbu sejumlah menu hidangan tradisional asal daerah lain. Seperti gabus pucung, yang terkenal sebagai kuliner Betawi, pindang tetel dari Pekalongan, Jawa Tengah, dan sop konro dari Sulawesi Selatan. Dari Yogyakarta juga dikenal menu brongkos. Semuanya menggunakan protein hewani sebagai bahan baku utama.
Di tangan para penakluk, keluak tak hanya telah mengantar rawon menjadi sup terenak di dunia, tetapi juga menu-menu berwarna gelap yang menggoyang lidah...