Mencari ”Merdeka” di Hari Merdeka
Pada saat merayakan hari Kemerdekaan bangsanya, para pekerja migran Indonesia sadar bahwa kondisi mereka sendiri belum sepenuhnya merdeka dari belenggu ekonomi dan relasi kuasa agen atau majikan.
Berada jauh di perantauan bukan berarti pekerja migran Indonesia lupa merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan semarak. Semangat perayaan itu tetap membara walau sebagian dari mereka merasa belum merdeka dari belenggu ekonomi dan relasi kuasa dengan agen atau majikan.
Begitulah kisah suka duka para pekerja migran Indonesia (PMI). Jarak, waktu, tanggung jawab, dan biaya membuat rasa rindu akan tanah kelahiran beserta orang tercinta harus dibendung. Momen seperti perayaan HUT Ke-78 RI yang jatuh pada Kamis (17/8/2023) menjadi penyalur rasa yang kian meluap itu.
Pesta rakyat berlangsung dengan cara mereka masing-masing. Salah satunya dengan berkumpul bersama rekan-rekan seperantauan, seperti yang dilakukan para pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Nahdlatul Ulama At Taqwa di Koga, Prefektur Ibaraki, Jepang.
”Di sini perlombaannya bisa macam-macam seperti di Tanah Air. Ada lomba balap kelereng, balap karung, juga makan kerupuk. Kerupuknya tidak susah dicari karena ada banyak restoran dan tempat berjualan barang-barang Indonesia. Jangan, kan, kerupuk, jengkol saja ada kok. Ha-ha-ha,” ujar Ketua DKM Rohibun (53), Kamis (17/8).
Rohibun sudah tinggal di Ibaraki lebih dari tiga dekade. Ia bekerja di pabrik bubut untuk mesin alat-alat berat. Di Ibaraki, banyak PMI bekerja di pabrik dan pertanian. Ada juga PMI yang telah menikah dengan warga negara Jepang. Setiap ada acara, mereka pasti rutin datang ke masjid atau mushala.
Menggelar acara kebangsaan atau keagamaan di masjid tak pernah sulit. Selain karena masjid telah terdata resmi, jemaah juga menjalin hubungan baik dengan warga sekitar. Interaksi hangat itu membuat masjid boleh meminjam area parkir salah satu pabrik terdekat.
Lokasi tersebut turut menjadi perhelatan perayaan agustusan atau Idul Adha dan Idul Fitri. ”Semua biaya perayaan ditanggung DKM, seperti konsumsi. Dana diambil dari sumbangan atau infak jemaah. Dari jemaah kembali ke jemaah,” ujar Rohibun.
Ketua Majelis Wakil Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (MWCINU) Koga Nur Hidayat (35) menambahkan, kegiatan semacam itu tak hanya menyenangkan, tetapi juga membangkitkan nostalgia masa kecil. Berasal dari Lampung, Dayat bekerja di pertanian seluas 30 hektar milik warga negara Jepang. Sudah 4,5 tahun dia berada di sana.
Dia percaya perayaan 17 Agustus mampu mengingatkan kecintaan dan kebanggaan PMI terhadap Tanah Air. Ditambah lagi, sebagai warga minoritas di negeri orang sangat penting menjaga silaturahmi, persatuan, dan identitas kebangsaan.
”Jadi, saat ada momen berkumpul, entah saat Lebaran atau agustusan, kami semua bisa merasakan bagaimana para pekerja migran, yang berasal dari daerah berbeda, bisa bersatu. Terasa sekali yang namanya Bhinneka Tunggal Ika saat berada di negeri orang,” ujar Dayat.
Menyiasati waktu
Namanya juga bekerja di perantauan, ada saja kendala menggelar acara kumpul-kumpul. Pekerja migran memiliki jadwal kerja dan jenis pekerjaan yang berbeda-beda sehingga menemukan waktu pas menjadi tantangan. Tak jarang PMI harus menggelar acara pada akhir pekan atau hari libur di negara tersebut.
Jadwal yang sulit juga membuat perayaan agustusan di Hong Kong jatuh pada Minggu (20/8/2023) ini. Tahun ini, sejumlah organisasi pekerja migran menggelar acara bertajuk ”Gebyar Seni Budaya dan Pesta Rakyat” di Victoria Park.
Setidaknya ada 18 komunitas yang meramaikan acara, antara lain Paguyuban Seni Banyumasan, Sanggar Srikandi HK, dan Melody Dance Group. Nurul Hima (39), pekerja domestik yang bergabung dalam Foreigners Hong Kong Taekwondo Association (FHKTA) akan menampilkan tarian taekwondo bersama timnya.
”Acara itu akan menampilkan talenta dan bakat buruh migran. Setiap tahun, Victoria Park itu ramai banget bisa sampai ribuan orang karena itu pusat tempat libur kami, termasuk untuk acara 17 Agustus,” ujar Nurul yang bekerja di kawasan Kowloon.
Perempuan asal Cirebon, Jawa Barat, ini sudah menetap di Hong Kong sejak 2010. Nurul dan teman-teman di FHKTA rajin berlatih setiap hari Minggu selama beberapa bulan terakhir agar tampil dengan baik.
”Meskipun jauh, euforia 17 Agustus tetap terasa di sini karena biasanya ada upacara bendera, lomba, dan pergelaran seni budaya dari pukul 08.00 sampai selesai. Kami juga pakai baju merah putih. Bahkan di grup-grup Whatsapp juga ramai dengan stiker bernuansa kemerdekaan,” ujarnya.
Baca: Mobil dalam pusaran prestise
Tantangan untuk bergabung dalam acara perayaan dialami Wahyadyatmika Sulaksana alias Yaya (28) asal Solo, Jawa Tengah. Yaya bekerja di salah satu pabrik di kawasan Saitama, sekitar satu jam perjalanan dari Tokyo. Ia harus masuk kerja lima hari dalam sepekan selama delapan jam per hari.
”Untuk mengadakan acara perayaan atau ikut kegiatan agustusan seperti di KBRI, terus terang selama tiga tahun terakhir agak sulit. Waktunya enggak pas karena tanggal segitu seringnya tetap hari kerja di sini. Paling sebatas kumpul teman-teman sesama orang Indonesia di tempat kerja, lalu makan di luar,” ujar Yaya.
Namun, Yaya mempunyai cara sendiri untuk menunjukkan kecintaannya kepada Indonesia. Ia sadar menjaga kehormatan diri dan negara sebagai seorang perantau itu penting. Ketika satu pekerja migran berbuat salah, citra negara asal sang pekerja ikut tercoreng.
Pernah ada kasus di salah satu pabrik yang mengumumkan akan menyetop perekrutan pekerja migran asal China lantaran satu pekerja dinilai sulit diatur. ”Makanya, saya sering menasihati yunior agar bekerja dengan baik. Soalnya, kalau kamu berperilaku jelek, negara dan bangsamu ikut dianggap jelek,” ujar Yaya.
Belum merdeka
Perayaan hari kemerdekaan tak hanya dirayakan dengan meriah, tetapi juga penuh refleksi. Mama Fajar (44), bukan nama sebenarnya, bersama kawan-kawan di Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (Ganas) Community dan Hsinchu Migrants and Immigrants Service Center (HMISC) di Taiwan telah merayakan hari Kemerdekaan sejak Minggu (13/8/2023), pekan lalu.
Acara yang dihadiri sekitar 90 orang tersebut berlangsung dalam ruangan lantaran cuaca di luar panas. Suhu mencapai hampir 37 derajat celsius. Mereka mengibarkan bendera Merah Putih, berorasi, membuat kuis tentang hak pekerja migran, dan berbagai jenis perlombaan khas agustusan.
Mama Fajar adalah ibu tiga anak yang merupakan pendiri sekaligus Ketua Ganas Community. Komunitas beranggotakan 160 orang ini fokus membantu dan mengedukasi pekerja migran yang mengalami masalah di Taiwan.
Menurut Mama Fajar, perayaan 17 Agustus adalah salah satu momen tahunan yang paling dinanti kebanyakan pekerja migran. Namun, pengalaman hidup sebagai PMI membuat dia memperluas makna kemerdekaan. Seperti yang dia pahami, kemerdekaan suatu bangsa berarti bangsa tersebut telah bebas dari penjajahan fisik ataupun mental.
”Namun, PMI belum (merasa) merdeka sepenuhnya. Kami masih harus mencari pekerjaan dan memperbaiki ekonomi, berpisah dari keluarga dengan terpaksa. Kondisi ini seperti terpenjara,” kata Mama Fajar, Rabu (16/8/2023).
Faktor ekonomi
Perempuan asal Tulungagung, Jawa Timur, ini sudah tinggal di Taiwan hampir 12 tahun setelah sempat melanglang ke Brunei Darussalam. Dia bekerja mengurus lansia. Ekonomi menjadi faktor utama dia merantau demi menghidupi ketiga anaknya, apalagi suaminya telah berpulang.
Tak mudah bagi Mama Fajar mengambil keputusan menjadi PMI. Di Indonesia, dia tidak punya modal untuk membuka usaha sendiri. Sementara di pasar kerja, pemberi kerja mensyaratkan banyak hal yang tidak mudah untuk dilengkapi, seperti ketika dia harus memiliki kendaraan SIM C. Modal untuk melamar kerja saja tidak ada.
Mama Fajar juga pernah pergi bekerja di pabrik kota-kota besar, seperti Cimahi, Jawa Barat, dan Surabaya, Jawa Timur. Gajinya tak seberapa. Boro-boro bisa menabung, uang untuk makan dan ngekos saja langsung habis tak bersisa.
”Saya tak pernah bercita-cita menjadi PMI, tetapi ini satu-satunya cara yang bisa saya lakukan. Meninggalkan anak dari usia kecil sampai lulus sekolah. Banyak momen penting yang saya lewatkan. Jujur, sampai sekarang saya belum berani pulang ke negara sendiri,” kata perempuan berpendidikan terakhir SMK ini.
Setelah menjadi PMI, pekerjaannya tak selalu mulus. Dia pernah tidak mendapatkan libur pada awal masa kerja. Kalaupun mendapat libur beberapa jam, gajinya dipotong. Relasi kuasa dengan agensi pun timpang.
Hal itulah yang mendorong Mama Fajar dan teman-teman membentuk Ganas Community untuk mengadvokasi hak pekerja migran pada tahun 2016. Hanya saja, daya tawar mereka masih terkendala lantaran Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga belum kunjung sah menjadi undang-undang di Tanah Air.
Tak perlu meragukan rasa cinta pekerja migran kepada Tanah Air. Namun, tidak semua orang ingin memanggul gelar ”pahlawan devisa” ketika harus bekerja karena tidak ada pilihan.
Para pekerja migran akan terus mengais rezeki di tanah orang sembari memimpikan dirinya menjadi orang-orang yang merdeka, seperti Indonesia yang sudah merdeka.