Kuliner Makanan ”Jadul” yang Mengikat Memori
Kuliner tradisional adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Di setiap jenis makanan ”jadul” di sudut-sudut pasar tradisional terdapat memori dan ikatan emosi dari para penikmatnya.
Kuliner yang berakar dari tradisi bagai jembatan penghubung masa lalu dan masa kini. Meski dianggap ”jadul” dan dijajakan di pinggir jalan atau sudut-sudut pasar, setiap potongnya mampu membangkitkan memori dan ikatan emosional bagi para penikmatnya.
Malam yang ramai di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Rabu (2/8/2023). Orang-orang berdesakan memadati lokasi Pasar Kangen Jogja 2023. Setiap kantong parkir yang berada di sekitar TBY penuh sepeda motor.
Pasar Kangen Jogja digelar pada 27 Juli–5 Agustus 2023. Sebanyak 170 gerai kuliner dan kerajinan turut serta di acara itu.
Gerai-gerai kuliner menyajikan aneka makanan dan minuman kampung dan jadul yang menggugah selera. Ada puluhan makanan kecil, seperti empeng juruh, geblek kulon progo, slondok, cenil, lupis, clorot, dan masih banyak lagi. Ada juga makanan berat, mulai dari mie lethek bantul, sego wiwit, sego gurih, dan sego jagung. Minumannya, antara lain, wedang ronde, dawet, es tebu ijo, dan limun.
Untuk menarik perhatian pengunjung, sebagian pedagang menghias gerai mereka dengan tulisan dan gambar lucu. Salah satunya tulisan ”JANDA LEGIT”. Anda jangan berpikir macam-macam dulu! Itu cuma kependekan dari Jajanan Daerah Lezat dan Bergizi Tinggi.
Malam itu, para pedagang sibuk melayani pengunjung yang membeludak. Nova Subyantoro (39), misalnya, terus menggoreng kerupuk dari singkong yang menjadi bahan dasar lempeng juruh. Di wajan besar, ia membolak-balikkan makanan berbentuk persegi panjang tersebut. Lantas mengangkat dan meniriskannya.
Di sebelahnya, sang istri Nita Budiyati (37), menuang lempeng dengan cairan gula merah yang dalam bahasa Jawa disebut juruh.
Suami-istri itu berkolaborasi sejak pagi pukul 10.00. Setiba di TBY, mereka segera tenggelam dalam kesibukan. Baru sebentar menggoreng lempeng, gerai itu sudah diserbu pembeli. Padahal, resminya pasar baru buka pukul 14.00. Rupanya banyak orang ingin bernostalgia atau sekadar mencoba makanan khas Yogyakarta yang sudah langka lantaran tergeser makanan kekinian.
Di tengah kesibukannya, Nova bercerita, ia tertarik mengangkat lempeng juruh karena ia punya memori masa kecil. ”Waktu kecil suka makan lempeng juruh sambil nonton wayang. Sekarang, kan, sudah jarang (ditemukan),” kata Nova, yang sudah enam kali ikut seleksi untuk berjualan di Pasar Kangen Jogja dan baru tahun ini lolos saat ia membawa lempeng juruh.
Pasar Kangen Jogja dirancang sebagai pameran beragam jenis kuliner jadul. Karena itu, panitia menetapkan seleksi dan kurasi pada pedagang yang ingin berpartisipasi. Dari sekitar 1.800 pendaftar terpilih 85 orang saja.
Memori masa kecil Nova pada lempeng juruh rupanya terhubung dengan memori kolektif banyak orang pada makanan yang sama itu. Maka, di ajang itu Nova dan para pembelinya merayakan nostalgia rasa lempeng juruh bersama-sama.
Di antara pembeli ada Wibowati (69). Ia bilang, dulu ia sering menikmati lempeng juruh karena buliknya (tante) berjualan makanan ini di pasar. Setelah bulik meninggal, ia jadi jarang menikmati makanan ini. Ia sangat senang karena bisa merasakan lagi lempeng juruh sekalian mengenang buliknya.
Hari itu Wibowati datang bersama anaknya, Agnes Sulistya (28), dan cucunya, Tristan (9). Tristan, sang cucu, penasaran juga ingin mencoba lempeng juruh. Ternyata ia suka. Dengan lahap Tristan langsung menghabiskan dua lembar lempeng juruh. ”Enak, manis. Boleh tambah lagi?” katanya kepada sang nenek.
Begitulah rasa lempeng juruh dan memori yang terkandung di dalamnya diwariskan dari generasi nenek ke anak dan cucu Wibowati.
Selain lempeng juruh, pengunjung juga antre di gerai sego jagung. Itu membuat pedagangnya, Etik Amularsih (46), sibuk. Tangannya terus bergerak menata sego jagung, sayuran, tempe-tahu, dan gereh (ikan asin) di wadah pincuk. Lantas, ia menuangkan sambal di atasnya.
Etik memilih jualan sego jagung karena pernah tinggal di Jember, Jawa Timur, di mana ia sering makan sego jagung. Selain itu, ia juga mendapat dukungan dari suaminya, Haryanto (50).
Buat Haryanto, sego jagung selalu membangkitkan lagi kenangan pahit pada 2007 ketika mengikuti pendidikan militer di Temanggung, Jawa Tengah. Saat itu, ia kelaparan karena perbekalannya sudah habis. Oleh warga, ia ditawari makan nasi jagung dengan sayuran berupa kacang panjang dan ikan asin.
”Itu pertama kali saya mencoba. Wah, rasanya begini…. Sederhana, tapi mantap di perut. Bisa kenyang dan tahan lama,” katanya.
Bagi prajurit TNI AD itu, sego jagung bukan sekadar makanan, tetapi bagian dari pengalaman masa lalu. Memorinya melekat karena hadir saat ia dalam situasi susah. Karena itu, ia ringan saja membantu istrinya menyiapkan bahan-bahan sego jagung untuk dijual di Pasar Kangen. Setiap hari mereka bisa menjual 10 kilogram sego jagung.
Etik awalnya khawatir dagangannya tidak akan laku. Di luar dugaannya, sego jagung malah laku keras. Pembeli antre sejak pukul 10.00 sampai malam. ”Tangan saya sampai pegal melayani pembeli. Tapi, saya nikmati semuanya,” kata Etik.
Sego jagung buatan Etik yang dijual di Pasar Kangen Jogja ternyata membangkitkan memori dan ikatan emosional Sumiati (58) pada menu ini. Awalnya, ia datang ke Pasar Kangen Jogja bersama suami, anak, cucu, dan tetangganya sekadar untuk melihat-lihat keramaian di kota Yogyakarta.
Tetapi, begitu ia menemukan sego jagung, ingatannya melayang ke masa kecil ketika keluarganya masih miskin. ”Saya ingat adik saya menangis karena lapar. Oleh ibu saya diberikan nasi jagung atau singkong. Kadang-kadang membeli singkong saja tidak mampu,” tutur Sumiati, yang tinggal di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Kini, hidupnya sudah membaik. Sehari-hari ia berjualan sembako sehingga kebutuhan tercukupi. Di Pasar Kangen Jogja, ia kagum sekaligus terheran-heran melihat sego jagung yang dulunya dimakan oleh masyarakat kurang mampu kini dijajakan secara ”elite” di gerai khusus di pusat kota.
Baca juga: Barbie, Sebuah Problem Eksistensi
Harta karun
Di luar acara Pasar Kangen Jogja, sejumlah makanan jadul sebenarnya masih bisa ditemui di pasar-pasar tradisional. Cobalah blusukan ke Pasar Legi Kota Gede. Di sana kita akan menemukan ”harta karun” makanan jadul. Penjualnya sebagian simbok-simbok yang sudah mulai berjualan sejak puluhan tahun lalu.
Sejak di depan pasar, aneka makanan kampung berbahan umbi-umbian atau kacang sudah mengajak kita melayang ke masa lalu. Ada gethuk tela pendhem yang berbahan ketela, gethuk kimpul yang berbahan umbi kimpul, dan gethuk tolo yang berbahan kacang tolo.
Semakin memasuki bagian dalam pasar, semakin banyak jajanan yang selama ini jarang ditemukan di tempat lain. Di antaranya adalah makanan jadul yang cukup laris bernama kipo. Kue berwarna hijau ini berbentuk lonjong dan agak pipih serta lembut. Di dalamnya terdapat campuran gula jawa dan parutan kelapa.
Konon makanan ini sudah ada sejak zaman Mataram kuno. Para bangsawan dulu melihat makanan ini dengan terheran-heran. Mereka bertanya dalam bahasa Jawa, ”Iki opo?” Dari situlah, makanan ini mendapatkan nama: kipo.
Ada juga makanan lainnya, yaitu grontol, pipilan jagung yang dikukus hingga matang dan mlethek (merekah) lantas ditaburi parutan kelapa. Rasanya gurih dan murah. Hanya dengan Rp 2.000 sudah mendapatkan sebungkus grontol yang cukup untuk dinikmati dua orang.
Berburu makanan jadul menjadi kesenangan tersendiri. Seperti lorong waktu, jajanan tradisional membawa seseorang kembali ke masa lalu. Makanan jadul bisa membuat hati berbunga-bunga karena mengingatkan orang pada pengalaman-pengalaman masa lalu yang belum tentu bisa terulang.
Industri hiburan tahu bahwa makanan terhubung dengan memori kolektif banyak orang. Tidak heran, para pengelola industri hiburan berusaha mengangkatnya sebagai konten hiburan. Itu terjadi sejak era televisi konvensional hingga kini ketika kita memasuki era digital.
Baca juga: ”Kami Bukan Barbie, Cukup Jadi Diri Sendiri”
Netflix, penyedia layanan hiburan secara streaming, misalnya, menayangkan kisah street food dari Indonesia lewat sosok Mbah Satinem dan Mbah Lindu yang namanya telah melegenda di Yogyakarta dan sekitarnya.
Mbah Satinem adalah penjual jajanan tradisional, seperti lupis, cenil, ketan hitam, dan ketan putih, yang telah berdagang di depan sebuah ruko di Jalan Bumijo, Jetis, Kota Yogyakarta, sejak sekitar 50 tahun lalu. Pagi-pagi mulai pukul 08.00, ia sudah dikerubuti pembeli.
Sementara Mbah Lindu adalah pedagang gudeg di Jalan Sostrowijayan, tidak jauh dari Jalan Malioboro yang legendaris. Ia berjualan di sana sejak puluhan tahun yang lalu. Sekitar tiga tahun yang lalu ia meninggal.
Kisah dan citra mbah-mbah legendaris itu juga muncul di banyak akun media sosial banyak netizen. Dari situ, generasi sekarang mengenal mereka dan mungkin tergugah untuk mencicipi kuliner yang mereka buat.
Ah, jadi ingat gempol dan wedang ronde...