Motivasi Hidup Baik berkat Anabul
Memelihara anabul bagi manusia urban bisa untuk mengusir kesepian, termasuk memberi motivasi hidup yang lebih baik.
Bagi manusia urban, hidup di kota besar terkadang memerlukan energi lebih untuk menjalin ikatan sosial. Namun, mereka tetaplah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Kehadiran binatang peliharaan bisa mengisi rasa kesepian itu, bahkan memberikan motivasi untuk hidup lebih baik.
”Guys, aku pergi kerja dulu, ya. Semoga hari ini aku enggak pulang malam, ya,” demikian kata Mahar Gireta Rosalia (32), karyawan BUMN. Pamit sayang itu selalu dia lontarkan setiap pagi kepada keempat kucingnya ketika meninggalkan rumah di Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara.
Mahar mulai memelihara anak bulu atau anabul sejak tahun 2019. Cerita awalnya bukan karena ia ingin memelihara sendiri, melainkan karena diberi oleh atasan. Dari satu kucing, sekarang dia memiliki empat anabul, yakni Bebeb (5), Tobiko (4), Kitty (5), dan Tari (2).
Bagi Mahar yang merantau ke Jakarta sejak 2015, ada perbedaan besar ketika dia tinggal sendiri dibandingkan tinggal bersama kucing. ”Kalau dulu enggak ada yang aku ajak ngobrol, sekarang merasa ada yang menemani dan rasa pulang untuk sesuatu karena ditunggui,” tuturnya saat ditemui, Jumat (14/7/2023).
Perempuan kelahiran Madiun, Jawa Timur, ini menjelaskan, kehadiran kucing memberinya kebahagiaan tersendiri, apalagi saat dia pulang kantor dan kucing-kucingnya menyambut di depan jendela. Hatinya terasa damai dan tenang.
Memelihara kucing membuat Mahar mau tak mau beradaptasi. Dulu, dia pernah tinggal di sebuah apartemen di kawasan Sunter yang melarang hewan peliharaan. Ketika kucingnya bertambah, dia membulatkan niat untuk pindah ke rumah kontrakan yang ditinggalinya sampai sekarang.
Selain itu, Mahar juga membeli mobil sang ibu pada 2021 demi kucing-kucingnya. Alasannya, biar dia lebih mudah membawa para anabul ke luar rumah dengan mudah sebab tidak semua taksi daring bersedia menerima hewan.
”Hidupku jadi menyesuaikan mereka dan itu enggak masalah karena ini hidup yang nyaman. Mereka mengajarkan aku untuk hidup lebih layak karena rumah ini juga lebih luas dibandingkan apartemen yang dulu terus ternyata punya mobil itu memudahkan mobilitas juga,” kata Mahar yang tak jarang memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
Malahan, kehadiran mereka membantu Mahar mengobati trauma masa lalu lantaran dia pernah menjalin hubungan romansa yang toksik. ”Orang kadang berpikir kalau kucing kita yang butuh kita, tetapi sebaliknya kayaknya aku yang butuh mereka karena mereka selalu ada buat aku,” tuturnya.
Kehadiran anabul, seperti anjing, juga berperan penting dalam hidup Cindy Silviana Sukma (35), karyawan swasta di perusahaan modal ventura. Sejak tahun 2014, dia memelihara anjing lemon beagle bernama Chelsea (10) yang diperoleh dari seorang kenalan. Chelsea merupakan anjing kedua setelah anjing pertamanya, Pampam, mati tertabrak mobil.
”Tadinya saya enggak dibolehkan sama sekali untuk peliharaan anjing sama orangtua. Tapi, saya penginpunya teman karena saya tiga bersaudara, tetapi sudah punya kesibukan masing-masing. Jadi, saya ingin punya teman main dan mengobrol,” kata Cindy di rumahnya, Kalideres, Jakarta Barat.
Chelsea terbukti menjadi teman terbaik bagi Cindy saat sendirian. Misalnya, saatnya dia pulang ke rumah pada larut malam, Chelsea dengan setia menyambut. Anjing itu juga mampu berperan sebagai teman mengobrol ”ngalor ngidul” dengan Cindy.
Ditambah lagi, lingkar pertemanan Cindy kian mengecil setelah masuk dunia kerja. Belum tentu teman-temannya memiliki waktu pas ketika ia ingin berjumpa. Karena itu, Cindy bisa menghabiskan waktu dengan anabul daripada menunggu teman-temannya memiliki waktu luang. ”Meskipun dia tidak bisa merespons kita balik, kita jadi bisa berbagi cerita dan emosi tanpa dihakimi,” tutur perempuan kelahiran Jakarta ini.
Bahkan, Chelsea juga mengajarkannya beberapa hal penting yang kemudian menjadi bekal Cindy setelah berumah tangga. Maklum, memelihara anak anjing hampir mirip dengan membesarkan seorang anak. Selain jadi rajin untuk bersih-bersih rumah, ia belajar soal kesabaran dan komitmen dalam mengurus anak.
”Dulu, Chelsea selalu buang kotoran sembarangan terus bau, mau enggak mau harus saya bersihkan dan latih cara buang kotoran yang benar. Saat anak saya lahir tahun 2016, dia juga sering ngompol dan pup saya jadi sudah biasa. Ternyata Chelsea berjasa juga, ya,” kata Cindy.
Ada kalanya Chelsea balas menunjukkan kasih sayangnya kepada Cindy dengan caranya sendiri. Cindy ingat betul, saat habis melahirkan dan harus tinggal di rumah sakit selama beberapa hari, anjing tersebut terus menunggu di depan pintu kamar Cindy. ”Anjing itu benar teman setia manusia,” ujarnya.
Tanggung jawab
Memelihara anabul turut mengasah rasa tanggung jawab Abdul Rozak (37), seorang pegawai pemerintah di Jakarta Pusat. Dari awalnya tidak suka, siapa sangka laki-laki asal Tasikmalaya, Jawa Barat, ini sekarang bahagia mempunyai kucing.
Rozak mulai memelihara kucing pada 2019. Waktu itu, tetangga kosnya memiliki dua kucing, tetapi tidak terawat. Rasa kasihan atas kondisi mengenaskan kucing-kucing itu membuat dia memberanikan diri untuk gantian merawat mereka.
”Dari dua ekor itu bertambah menjadi lima ekor sampai terbanyak saya pernah pelihara sebelas ekor. Namun, karena di kos ada aturan tidak boleh punya kucing terlalu banyak, saya kasih ke teman-teman untuk adopsi. Jadi, sekarang saya hanya memelihara satu ekor, namanya Mio, usia tiga tahun,” kata Rozak yang merantau ke Jakarta sejak 2013.
Rozak mengaku selalu merasa senang ketika melihat kucingnya menyambut dia pulang dengan menunggu di depan gerbang. Tingkah laku Mio yang konyol juga menjadi hiburan gratis setiap kali Rozak merasa suntuk dengan pekerjaan.
Ketika merasa jenuh, ia iseng menyisir bulu atau membersihkan kuping si kucing. ”Kucing itu manja, ya, kadang minta makan wajahnya melas. Saya jadi terhibur juga karena merasa ada yang membutuhkan,” tutur Rozak.
Mio terasa seperti anak sendiri. Rozak jadi rajin membersihkan kamar kos dan sering kepikiran kucingnya jika dia harus dinas ke luar kota. ”Saya khawatir kalau Mio ketakutan dan sendirian karena dia, kan, tanggung jawab saya. Takut pasir kotorannya penuh atau enggak keurus,” ujarnya.
Walakin, setiap keluar kota, Rozak sering menitipkan kucingnya kepada salah satu pekerja kos yang bertugas mencuci baju. Dia meminta tolong kepada pekerja tersebut untuk memberi makan, memberi obat jika Mio sakit, atau mengeluarkan Mio dari kandang jika si kucing sedang bosan.
Psikolog dari Tibis Sinergi, Tika Bisono, mengatakan, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan makhluk lain sehingga tidak bisa sendiri. Dalam perkembangannya, kebutuhan sosial itu bisa dilengkapi tidak hanya dengan interaksi antarmanusia, tetapi juga dengan hewan peliharaan, seperti anabul.
”Anjing dan kucing, dibandingkan hewan peliharaan seperti burung dan kucing, memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi untuk bisa berhubungan dengan manusia,” tutur Tika. Hal itulah yang membuat anabul sekarang menjadi significant others bagi manusia, khususnya mereka yang hidup sendiri di perkotaan.
Baca Juga:Cinta untuk Anak Bulu di Masa Pandemi
Tika menjelaskan, merawat hewan peliharaan membutuhkan komitmen dan disiplin. Pemilik hewan berkewajiban secara teratur memberi makan, membersihkan hewan, memberi hiburan, dan menjalin interaksi yang sehat. Meskipun tidak mudah, bagi sebagian orang, interaksi dengan hewan peliharaan memberi reaksi yang berbeda dibandingkan interaksi dengan manusia. Hewan peliharaan tahu berterima kasih.
”Itu adalah insting hewan. Hewan peliharaan tidak mempunyai pikiran atau niat tersembunyi seperti manusia yang memiliki kecerdasan yang lebih kompleks dengan unsur politik. Kalau kamu baik, ya, hewan peliharaan kamu juga baik,” kata Tika.
Akan tetapi, Tika melanjutkan, kebutuhan utama manusia tetaplah untuk berinteraksi dengan sesama. ”Jadi, jangan lupa untuk memperlakukan manusia lain minimal sama istimewanya dengan cara kamu memperlakukan anabul,” tuturnya.