Haji di Mekkah, Oleh-oleh dari Surabaya
Musim haji yang bersemi lagi. Para penjual oleh-oleh tersenyum kembali. Pasar Bong dan kawasan Ampel di Surabaya mewakili senyum itu.
Musim haji bersemi lagi tahun ini. Itu berarti berkah bagi pedagang oleh-oleh haji. Keluarga orang-orang yang pulang dari berhaji akan memborong oleh-oleh untuk kerabat atau tetangga yang mencari berkah. Hajinya mesti di Mekkah, tetapi oleh-olehnya cukup dari Surabaya.
Rabu (19/7/2023) siang, H Housein (55) terlihat sibuk mondar-mandir tanpa alas kaki di area sekitar toko oleh-oleh Haji dan Umroh Makkah-Madinah miliknya yang terletak di Pasar Bong, Slompretan, Surabaya, Jawa Timur. Raut wajahnya sedikit tegang, sibuk memastikan seluruh pesanan sampai ke tangan pembeli yang menunggu di sekitar toko miliknya.
”Tunggu sebentar. Sedang diambilkan,” ujarnya kepada salah seorang pembeli. Kalimat yang lebih kurang sama dia tujukan kepada pembeli yang lain. ”Ada itu yang kamu cari. Sedang diambilkan. Tunggu dulu,” katanya meyakinkan, seraya memasukkan tas kain tempat dia menyimpan uang pembayaran yang dia gantung di lehernya ke balik kaus, membuat bagian dadanya terlihat menggembung.
Housein menolak halus ketika diajak bicara lebih lama karena sedang sibuk melayani pembeli. ”Nanti saya enggak dapat duit. Nanti sore saja,” katanya. Waktunya memang sedang tidak pas. Sedang ramai pembeli. Sembari duduk beristirahat, dia menyeka wajah dan rambutnya yang basah oleh keringat. Dia terus memantau situasi.
Pembeli Housein menunggu dengan sabar. Beberapa di antaranya sudah menunggu sejak satu jam lalu. Sebagian duduk begitu saja di atas barang-barang pesanan mereka. Berusaha maklum karena gudang tempat penyimpanan terletak agak jauh dari toko. Yang terpenting, barang yang mereka cari tersedia.
Siang itu suasana Pasar Bong yang terkenal sebagai pusat oleh-oleh haji dan umrah di Surabaya memang tengah padat pembeli, menandai berseminya kembali musim haji setelah sekian lama ditelan pandemi. Tak hanya penjual seperti Housein yang mondar-mandir, pembeli pun berseliweran di area pasar yang menawarkan banyak oleh-oleh haji dan umrah mulai dari sajadah, mukena, sarung, tasbih, jilbab, dan lain-lain.
Pasar semakin padat oleh hilir mudik kurir pembawa barang. Jumlahnya berkarung-karung dan berkardus-kardus. Tawar-menawar turut mewarnai suasana pasar yang ramai. Transaksi pembayaran tunai dengan jumlah berjuta-juta dilakukan konvensional saja di halaman toko, disaksikan orang-orang di sekitarnya dengan leluasa.
Baca juga: Larilah... Kami Mengawal Anda
Menurut Farida (26), pembeli asal Sidoarjo, pasar sudah ramai sejak pagi. Hari Minggu lalu, saat Farida berbelanja tahap pertama, Pasar Bong belum ramai. ”Waktu awal kepulangan jemaah haji belum ramai. Sekarang ini ramai sekali. Mungkin karena tanggal merah juga,” tuturnya.
Hari itu Farida membeli kekurangan oleh-oleh haji untuk om dan tantenya yang baru kembali dari Tanah Suci Minggu lalu. Stoknya kurang karena tamu yang datang ke rumah om tantenya terus mengalir.
”Yang pertama beli sarung sama sajadah. Ada yang tebal, tipis, besar, kecil. Ada juga kopiah. Hari ini cari sarung dan sajadah. Di desa, kalau ada yang pulang haji, orang suka takziah. Biasanya waktunya seminggu. Ini sudah jalan beberapa hari,” ujarnya.
Farida harus sabar menunggu karena sarung yang dia cari banyak yang habis. Untuk jenis yang sama dengan pembelian tahap pertama, dia ingin membeli tiga kodi atau sekitar 60 potong. Namun, hanya tersisa satu kodi sehingga harus mencari gantinya. Untuk sajadah, dia membeli sajadah ukuran kecil seharga Rp 18.000 per buah.
”Jadi kalau orang datang, dikasih sajadah. Air zamzam dan kurma yang dibeli di Tanah Suci untuk suguhan. Kalau untuk yang mengaji di rumah selama seminggu, untuk bantu doa yang di sana supaya lancar, diberi sarung,” imbuh Farida.
Untuk keperluan oleh-oleh itu, anggarannya disesuaikan dengan kebutuhan. Tidak ada batasan. Dari nota belanja tahap pertama yang dibawanya sebagai bukti agar diberi harga yang sama saat belanja tahap kedua tertera angka total Rp 18,4 juta. Dia belum bisa menghitung total belanjaannya hari itu karena belum selesai.
Yuli (42), pembeli asal Gresik, pun menanti dengan sabar di toko Housein bersama kakak dan adiknya yang membawa serta dua anaknya yang masih kecil. Salah satunya bayi berusia dua minggu yang terlelap dalam gendongan.
Hari itu, Yuli dan kakaknya mengantar ibu si bayi, Amra yang berbelanja oleh-oleh haji untuk suaminya yang tengah berhaji sekaligus menjalankan peran sebagai tenaga kesehatan haji Indonesia di Tanah Suci. Suami Amra berangkat pada 20 Juni lalu, sepuluh hari kemudian si jabang bayi lahir. Kini, si bayi berusia dua pekan itu bisa turut berbelanja oleh-oleh untuk sang ayah yang belum sempat ditemuinya langsung.
”Hari ini cari sajadah, kopiah putih buat anak-anak. Di Gresik ada budaya, ketika orang pulang haji, orang datang nyari berkah. Mereka datang bawa hantaran. Kalau di kampung kita bawa gula, minyak, beras. Sebagai tanda terima kasih, kita kasih suvenir,” ungkap Yuli.
Dia belum bisa memperkirakan berapa banyak tamu yang akan datang saat suami Amra tiba awal Agustus kelak. Namun, dia mengira-ira minimal 100 orang, sangat mungkin lebih. ”Budget belanja oleh-oleh ini Rp 20 juta-Rp 30 juta. Ini baru suvenir. Totalnya bisa lebih karena belum termasuk makanan. Biasanya belanja dulu. Kalau sudah habis, ya belanja lagi,” imbuh Yuli.
Dana untuk pengeluaran-pengeluaran tersebut, diungkapkan Amra, diambil dari uang tabungannya dan suami. Selain untuk oleh-oleh bagi tamu yang datang ke rumah, juga diberikan untuk orang yang mengaji saat suaminya berangkat dan pulang nanti.
”Kalau ongkos hajinya kan alhamdulillah enggak ada. Jadi hanya untuk ini saja. Rata-rata orang datang ke rumah bisa lebih dari dua minggu. Biasanya 40 hari. Kalau sudah lebih berkahnya sudah hilang. Ramai-ramainya dua minggu biasanya,” ujar Amra.
Baik Amra maupun Yuli mengatakan, meski harus menyediakan anggaran cukup besar, tradisi itu tidak bisa dianggap memberatkan. Semua kembali kepada niat.
”Gimana ya, niatnya harus ikhlas. Mau dibilang berat ya ikhlas aja. Nanti kembalinya pasti ada. Kita juga enggak ada budget khusus karena mau dikasih apa saja kan terserah, sesuai kemampuan. Kan yang dicari berkahnya itu,” ujar Yuli.
Luar pulau
Selain Pasar Bong, di Surabaya, toko oleh-oleh haji dan umrah tersebar di kawasan Ampel. Kalau di Jakarta, adanya di Tanah Abang.
Meski situasinya sedikit berbeda dengan Pasar Bong, pembeli yang datang ke kawasan Ampel tak kalah banyak. Tak semata melayani pembeli yang datang ke toko, mereka juga mengirim pesanan hingga ke luar kota dan luar pulau.
Pemilik Toko Oleh-oleh Haji dan Umrah Harapan Jaya, Abidah (50-an), mengatakan, sebulan sebelum kedatangan haji ke Tanah Air, orang sudah berbelanja, antara lain membeli kurma dan sajadah. ”Apalagi sekarang juga ada umrah. Setelah pandemi, sudah jalan lagi,” kata Abidah.
Pembelinya rata-rata datang langsung ke tokonya. Paling banyak dari Madura. ”Kan, ekonomi paling jalan di Madura. Musim haji ini paling banyak. Macam-macam yang dibeli,” tutur Abidah.
Menurut dia, pembeli asal Madura memiliki karakteristik yang berbeda dengan pembeli dari daerah lain. Selain jumlahnya banyak, barang yang dibeli juga selalu kualitas terbaik.
”Orang Madura kalau belanja, minimal, apa yang dia makan dia kasihkan juga untuk yang datang. Mereka memperlakukan tamunya sama dengan dirinya. Antara orang yang tak punya uang dan yang punya uang, pedagang kaki lima dan yang punya kendaraan seharga Rp 2 miliar, sama. Kalau pembelanja dari daerah lain dibedakan,” kata Abidah.
Untuk sekali belanja, rata-rata mereka menghabiskan dana Rp 5 juta-Rp 10 juta. Tahun ini Abidah merasa bersyukur karena situasi sudah kembali pulih setelah diterjang pandemi. Dia tidak sampai harus memecat karyawannya yang berjumlah 7 orang.
”Waktu pandemi enggak jalan. Walaupun enggak tutup toko. Hanya stok terbatas saja saat puasa. Lima sampai tujuh macam jajanan. Tapi sepi,” ujar Abidah yang sudah mengelola tokonya selama 15 tahun. Dia bertahan mempekerjakan pegawainya dengan memangkas bonus, mengurangi camilan, dan honor tambahan.
Baca juga: Bagi Pelari, Usia Hanyalah Angka
Saat ini, bisa dikatakan, keuntungannya sudah kembali lagi, bahkan sudah mencapai dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi. Pengiriman ke luar pulau juga sudah kembali normal. Abidah antara lain mengirim ke Banjar, Kalimantan Selatan, dan Makassar, Sulawesi Selatan. Selain untuk keperluan oleh-oleh haji, juga untuk oleh-oleh umrah.
”Kesibukan tertinggi, sebelum haji pulang, kira-kira awal-pertengahan Juni. Begitu juga saat puasa, dua-tiga bulan sebelum puasa sudah sibuk,” ujarnya.
Abidah lebih banyak menjual makanan. Salah satunya paket oleh-oleh yang terdiri dari air zam zam dalam kemasan botol, kismis, kacang Arab, dan kurma. Maksimal hingga 300 kemasan. ”Ada juga yang ditambah tasbih. Atau bisa juga tidak pakai botol air zamzam. Sesuai permintaan saja. Harga bervariasi mulai Rp 13.000 hingga Rp 20.000,” kata Abidah.
Namun begitu, persaingan antarpedagang sangat ketat. Karena itu Abidah berusaha memberi harga yang bersaing. “Yang penting keluar dari toko jangan sampai orang enggak bawa barang saya. Bisa nego harga sedikit agar mereka bisa beli,” ujarnya.
Demi menjaga relasi, Abidah yang memiliki banyak langganan dari Kediri, Lamongan hingga Madura, menjaga hubungan baik dengan sejumlah cara. Salah satunya mengirim kartu ucapan selamat Tahun Baru. “Ini kan tak ternilai, artinya ada perhatian,” katanya.
Yanti (55) yang juga membuka toko oleh-oleh di kawasan Ampel Surabaya tahun ini menikmati berkah musim haji. Dia memperkirakan, pembeli masih akan ramai hingga akhir bulan Juli.
“Biasanya yang dibeli, sebelum haji itu teko, harganya mulai Rp 90.000 sampai Rp 175.000, dipakai untuk air zam-zam. Ada juga gelas-gelasnya. Kalau setelah pergi haji baru makanan seperti kurma supaya masih segar saat disajikan. Paling favorit kurma tunis madu, sukari, juga ajwa,” terang Yanti yang membuka tokonya tujuh tahun lalu.
Pembelinya paling banyak dari Surabaya. Tapi juga dari luar kota seperti Pasuruan, Lamongan, dan Madura. Barang lain yang diburu pembeli adalah tasbih, minyak wangi, pacar (inai) dan gelang.
“Kan biasanya mereka kasih suvenir, misalnya pacar untuk saudara. Yang umum diberikan kalau ada orang yang dekat, minyak wangi, kalau yang biasa enam buah Rp 50.000. Biasanya juga ditambahi tasbih, sajadah. Biasa juga dikasih paketan kacang arab (jagung), kismis, kurma, pistachio atau kacang ketawa,” kata Yanti.
Dia bersyukur, musim haji tahun ini sudah mengembalikan lagi denyut ekonomi di tokonya yang terdampak pandemi. Begitu juga umrah karena tak kenal waktu.
“Masa pandemi, tak ada umrah dan haji, kami tetep buka, sampai Juni 2020, suami meninggal karena covid, saya tutup. Banyak sukari dibuang, berkardus-kardus, karena kadaluwarsa. Sekarang sudah Alhamdulilah, seperti dulu lagi, sudah normal,” ujarnya.
Persaingan yang sangat ketat, diakali Yanti dengan memberikan pelayanan yang baik dan memberi potongan harga sesuai volume pembelian. Menurutnya, pembeli adalah raja yang harus dilayani.
“Makin banyak penjual, untung nggak bisa banyak-banyak. Antara modal dan keuntungan kadang nggak masuk akal. Modal Rp 300.000, untung maksimal Rp 30.000 itu mepet sekali. Tapi yang penting jalan,” imbuhnya seraya tersenyum.
Musim haji yang bersemi lagi, membuat Yanti, Abidah dan Housein tersenyum kembali. Sebab, walaupun hajinya di Mekkah, tapi oleh-olehnya cukup dari Surabaya tempat mereka membuka usaha.