Seniman ”Melamar” Kecerdasan Buatan
Banyak seniman yang memadukan karyanya dengan teknologi, termasuk kecerdasan buatan. Sukma, nyawa, atau jiwa pekerja kreatif menjadi keunggulan yang membedakan.
Sejumlah seniman yang mengisi Artjog di Yogyakarta mengolaborasikan teknologi dengan karya seni kontemporer. Kreasi mereka sekilas mencuatkan pertanyaan menyentil soal bisa atau tidaknya digitalisasi menggantikan seni. Semua berelasi erat dengan tema festival tersebut, “Motif: Lamaran”.
Beberapa pengunjung dengan sorot mata ingin tahu menggeser-geser layar ponsel sembari menyimak tulisan yang ditayangkan televisi di depannya. Petugas Artjog dengan sigap membantu dengan ramah mempersilakan atau menjawab pertanyaan mereka.
Nuansa seni kasatmata langsung terasa saat memasuki ruang yang memamerkan karya bertajuk “Art Instruction Project” tersebut. Di sela keremangan, pendar-pendar merah, ungu, dan hijau yang indah dari sekitar lima layar terlihat memantul di lantai.
Baca juga: Larilah... Kami Mengawal Anda
Karya Franky Pandana itu mengajak pengunjung untuk menikmati motif mewujud teks yang naik bergantian. Sepasang gadis, misalnya, menyimak kalimat-kalimat untuk menelaah naskah yang dianggap paling mengasyikkan. Pengunjung datang silih berganti di ruang yang hening.
Franky menjuluki instalasinya dengan art instruction atau AI. Tak pelak, benak pengunjung umumnya teralihkan dengan artificial intelligence alias kecerdasan buatan yang marak dibahas belakangan ini lantaran semakin merambahi kehidupan. Paling tidak, irisan aplikasi dengan seni begitu gamblang.
Ia memanfaatkan media sosial untuk mengunggah “Art Instruction Project” sehingga pengunjung bisa mengecap perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi yang pesat. Tepatnya, sebagai seniman kontemporer, ia hendak menunjukkan kelumrahannya menggunakan media mutakhir.
Tentu, Franky tak meninggalkan kekritisannya. Ia justru mengantar pengamat karyanya menuju kesadaran kolektif atas kekarutmarutan mulai lingkungan, psikologi, hingga tata kota. Contohnya, kalimat “Photopraph despicable parts of your city. Turn them into postcards. Sell them as souvenirs”.
Baca juga: Bagi Pelari, Usia Hanyalah Angka
Franky membangkitkan minat pembaca memotret sisi kotanya yang paling mengenaskan untuk dijadikan kartu pos dan dijual sebagai suvenir. Jenaka sekaligus getir. Ia juga membujuk pengunjung menihilkan angan-angan untuk bunuh diri dengan lebih gembira. Sekali lagi, ia berkelindan dengan motif.
Franky memang menunjukkan persistensinya yang luar biasa dengan mengirimkan AI atau instruksi seni ke semua kontak yang tersimpan dalam ponselnya sejak tahun 2021. Seniman itu mengirimkan pepatah petitihnya setiap hari. Alhasil, sudah sekitar 1.000 teks yang ia sampaikan.
“Saya bakal jadikan AI proyek seumur hidup dengan mengirimkan pesan. Pastinya enggak gampang karena harus pilah-pilih dari berjuta peristiwa,” ujarnya, Rabu (5/7/2023). Ia menyuratkan kekritisan, umpamanya dengan menautkan kalimat dengan penyanyi dunia Coco Lee yang bunuh diri.
Soal foto yang dijadikan suvenir, ia pun menaruh perhatian terhadap Medan, Sumatera Utara. Franky dengan antusias menunjukkan beberapa foto kota kelahirannya itu tentang trotoar yang berantakan, dinding dicoret-coret tangan jahil, dan bangunan kumuh.
Franky mengguratkan karyanya berwahanakan status aplikasi percakapan dengan jumlah huruf yang dibatasi. Ia kerap pening untuk meramu kata-katanya agar ringkas, namun padat. “Susah. Gara-gara agak ngoyo untuk berpikir imajinatif, saya sampai kurang tidur,” katanya sambil tertawa.
Teknologi sebagai teman
Di ruang lain dengan panjang tujuh meter dan lebar lima meter, pengunjung menikmati “Humà” kreasi Kezia Alexandra dengan durasi 11 menit. Hanya tersedia sepasang bangku panjang, dua pelantang, sebuah proyektor, dan satu layar besar.
Serupa tetapi tak sama dengan Franky, video elaborasi dengan Fleava Films itu memampangkan motif-motif abstrak dengan oval hitam yang diselingi bola putih. Kezia lincah memadukan teknologi dengan kekontrasan yang dituangkan dalam simbol-simbol spiritual.
Kezia mengaplikasikancomputer-generated imagery (CGI) atau gambar yang dibuat dengan komputer untuk menciptakan oval raksasa. Seniman kelahiran Bali itu memang sangat senang dengan perkembangan kecerdasan buatan, bahkan menganggap teknologi sebagai teman.
“Kalau bisa menggunakan teknologi dengan efisien dan memperlakukan secara seharusnya, aku sangat suka melihat kesinkronan dengan dunia seni,” ujarnya. Ia mendapati demikian banyak inspirasi antara lain filosofi, musik, mitologi, hingga ilmu pengetahuan.
Kezia punya pertimbangan untuk memotret fenomena seni kontemporer yang semakin akrab dengan teknologi lewat pemakaian CGI. “Kalau nyangkutnya dengan AI (artificial intelligence), oke, karena aku suka kalau seni dan sains menyatu. Sangat amazing (menakjubkan),” ujarnya.
Teknologi, digitalisasi, ataupun kecerdasan buatan ia ibaratkan kanvas yang luruh lewat karya memikat. Kezia pun mengajukan motif yang kuat untuk menggunakan CGI. “Kalau oval besar yang melayang pakai gipsum atau kertas, kurang riil. Enggak mungkin juga bawa-bawa batu bulat yang besar,” katanya.
Selaras dengan Kezia yang membedah metafisika, pengunjung di sudut lain tak kalah ramai menyimak “Wirid Visual”. Butet Kartaredjasa masih bernas mengemas karyanya dengan motif grafis dan piktogram yang menari-menari di tembok. Ia turut mendatangkan hiburan visual dengan aneka properti pentasnya.
Pikulan topeng monyet dengan boneka primatanya, tumpukan koran, robot kaleng karatan, teko dan cangkir bermotif loreng, jeruji, sampai seragam jongos dipajang di depan layar. Cuplikan-cuplikan lakon macam “Sarimin”, “Lidah Pingsan”, dan “Kucing” membuat penonton terkikik-kikik.
Huruf-huruf yang merangkai nama lengkap sang seniman, Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa, terus berputar. Manifestasi kecerdasan buatan juga diuraikan dengan potongan video Butet yang berdialog dengan sepasang hologram saat memainkan “Matinya Toekang Kritik”.
Butet dengan gelar “Raja Monolog” itu pun memutar videonya yang sedang menggoreskan tinta untuk menyusun namanya menjadi gambar-gambar. Maka, banteng, burung, naga, gajah, bintang, harimau, tangan, dan wajah mengolasekan mosaik bermediakan kertas A3.
“Saya memulai wirid visual sejak 8 Maret 2022 yang pernah dilakukan, tahun 2013, sebagai proses spiritual,” ujarnya. Kutipan-kutipan itu dicantumkan untuk meyakini nama yang baik. Terlebih, Butet pernah sakit keras, tetapi ia masih saja berseloroh lantaran mengistilahkannya bercanda dengan maut.
Baca juga: Fanatisme Penggemar Kecap
“Pendekatan metafisika juga dilaksanakan untuk menjaga kesehatan. Setiap malam, saya bikin satu lembar. Entah sampai kapan,” ujarnya. Butet bersama sekitar 15 sahabatnya mengemukakan “Wirid Visual” yang dimaknai pula dengan konversi dari monolog verbal.
Dikaruniai jiwa
“Makanya, pakai multimedia dan proyeksi. Diramu penulisan saya sedemikian rupa menjadi grafis. Saya kembangkan juga dari kertas menjadi metal yang dikrom dengan nikel,” katanya. Butet memasang tiga lempeng tersebut di depan sepasang buku “Jejak Wirid Visual” yang bisa dibaca pengunjung.
Bicara soal teknologi termasuk kecerdasan buatan, Butet pun tak mengelak dari perubahan kebudayaan analog menjadi digital. “Tetap, prinsip dasarnya penciptaan karya seni. Kebudayaan digital tak boleh menaklukkan seniman. Jadi, seniman yang punya jiwa mesti menungganginya,” ujarnya.
Ia menegaskan seni yang tak akan terganti dengan kecerdasan karena pekerja-pekerja kreatif dikaruniai jiwa, sukma, atau nyawa. “Enggak bakal hilang sebab AI (kecerdasan buatan) tak punya jiwa untuk berbahasa secara artistik,” ujarnya.
Baca juga: ”Pertemuan” Kecap-kecap Nomor Satu
Kurator Artjog 2023, Hendro Wiyanto, memaparkan “Motif: Lamaran” yang memuat makna ganda. Pertama, pola atau corak sesuai kamus. “Bisa juga diartikan motif yang mirip motivasi. Dapat diraba dengan indera, tapi juga motif sebagai kesadaran,” katanya.
Ia menekankan motif untuk menerangkan kekayaan dalam multimedia hingga seni konvensional. Hendro merujuk karya Franky yang menyodorkan teks sebagai motif. “Tak harus tangible atau bisa dipegang. Jadi teks berbasis imajiner, tetapi tetap motif dalam angan-angan,” ujarnya.
Hendro menilai pentingnya membuka kesempatan untuk mereka yang memulai debutnya lewat Artjog 2023 dengan jumlah lebih dari separuh total seniman. “Banyak sekali. Bisa dirasakan sebagai kebaruan. Rentang umur mereka yang terlibat juga sangat variatif mulai 19 tahun sampai 83 tahun,” ujarnya.