Gerakan Neo-China di Jalanan
Gerakan neo-China terlihat dalam busana perempuan muda di jalanan China. Mereka memadukan baju tradisional dengan sentuhan modern.
Secercah renjana menyinari jalanan di Beijing dan kota-kota lainnya di China. Dara manis berlalu lalang memamerkan busana tradisional dengan sentuhan modern, sebuah gaya neo-China. Ada rasa bangga terpatri dalam diri mereka untuk kembali ke akar.
Victoria Li (23) memutar tubuhnya dengan gemulai saat mengunjungi kota Qufu, Shandong, Jumat (26/5/2023). Gaun hanfu berwarna hijau sage pucat yang membalut tubuhnya ikut mengembang. Penampilan cantiknya kian lengkap dengan gaya rambut guan fa yang membuat rambut disanggul dan beberapa helai dibiarkan menjuntai.
”Saya suka memakai baju tradisional seperti ini sehari-hari. Bahkan saat saya bekerja di Beijing. Sebab, gaun-gaun seperti ini sangat cantik baik dari segi potongan maupun warna,” tutur Li. Li memulai kebiasaan itu sejak zaman kuliah setelah belajar banyak soal sejarah baju tradisional China.
Pada hari itu, Li mengenakan gaun hanfu dan gaya rambut dari Dinasti Tang. Agar terlihat trendi, Li memilih hanfu dengan potongan pendek selutut agar nyaman bergerak. Tak lupa dirinya mengenakan stoking senada warna kulit. Kesan feminim menguat karena ia memakai sepatu mary jane putih dengan bunga hitam dan tas bahu hitam.
Memakai baju tradisional bergaya modern bagi Li sama saja dengan memakai busana lainnya. Li hanya membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk bersiap lantaran hanfu memiliki beberapa lapis kain. ”Yang lebih lama itu menyiapkan riasan dan gaya rambut,” katanya sembari tersenyum.
Mengutip CGTN, hanfu adalah pakaian tradisional masyarakat Han, sebuah kelompok etnis mayoritas di China. Sejarah hanfu telah dimulai sejak 4.000 tahun silam. Hanfu kemudian berkembang pesat pada era Dinasti Qin (221–206 SM).
Ada tiga prinsip utama hanfu, yakni pakaian memiliki bagian atas dan bawah, bagian bawah bisa berupa celana atau rok panjang, serta bagian atas dan bawah bertemu di sekitar pinggang. Setiap dinasti memiliki gaya hanfu yang berbeda. Namun, seiring waktu, popularitas hanfu menurun selama Dinasti Qing (1644-1911) hingga memudar pada awal abad ke-20. Preferensi berpakaian masyarakat beralih ke gaya Barat.
Li adalah satu dari sekian anak muda yang kembali gemar mengenakan hanfu sehari-hari. Pemandangan perempuan muda dalam balutan gaun ini sudah marak terlihat di berbagai sudut jalan kota-kota China. Beberapa bahkan memodifikasi hanfu dengan gaya sendiri sehingga memberi kesan kontemporer tanpa meninggalkan identitas hanfu.
Di sekitar Nanluoguxiang, Beijing, awal Mei, satu gadis lainnya mengenakan hanfu hijau sage pucat dengan kombinasi hitam. Potongan hanfu yang dia kenakan berupa pakaian lapis dalam dan mantel tanpa pengikat beserta rok semata kaki. Melangkah percaya diri dengan sepatu strappy mary jane dan tas kulit coklat, kesan modern begitu terpancar lantaran rambutnya bergaya half-up bun.
”Anak muda mengambil hanfu sebagai titik awal mempelajari budaya China, lalu mempelajari keterampilan tradisional lain, seperti catur, kaligrafi, lukisan, puisi, dan sebagainya. Biarkan budaya dan ingatan tradisional menyebar secara alami dalam kehidupan modern,” tutur Gao Ran, Direktur Departemen Tata Rias dari Yun Shang Ying Hua, sebuah toko rental hanfu di Changsha berkomentar.
Baca juga: Glamor nan Simpel Para Musisi
Tak terbatas hanfu, perempuan muda China juga tak segan mengenakan qipao atau cheongsam. Qipao berasal dari abad ke-17, yaitu pada masa Dinasti Qing. Dahulu, qipao mempunyai potongan longgar berbentuk A persegi yang sangat berat karena banyak lapisan. Fitur utama qipao adalah kerah berdiri, rok lurus, dan kancing simpul.
Potongan qipao lalu bertransformasi menjadi lebih pas badan. Di Shanghai, pada tahun 1920-an, busana ini mengalami modernisasi karena pengaruh Barat. Setiap bagian dibuat khusus untuk menonjolkan tubuh pemakai. Qipao kemudian lebih sering digunakan dalam momen resmi.
Namun, beberapa perempuan muda tetap setia memakai qipao dalam berbagai kesempatan santai. Mereka memakai qipao berwarna netral, seperti merah muda, peach, hijau sage, hitam, dan putih. Demi memberi kesan kasual, mereka mengombinasikannya dengan sepatu sneakers warna senada. Ada kalanya topi, tas bahu mungil, dan kardigan menjadi pemanis tambahan.
”Saya menyukai pakaian modern yang terinspirasi dari baju tradisional, seperti qipao dan hanfu. Pakaian ini adalah bagian dari budaya saya,” tutur Wu Jue (34) di Changsha, Hunan.
Mengklaim budaya
Motif lain menggelitik perempuan muda mengenakan pakaian kontemporer yang terinspirasi pakaian tradisional. Sabrina Huang (30) dari Guangzhou memutuskan untuk memakai pakaian tradisional belakangan ini salah satunya demi mengklaim tradisi dan budaya sebagai warga China.
Pada Kamis (11/5/2023), Huang mengenakan mamianqun atau rok lipit wajah kuda saat berkunjung ke Pozi Street di Changsha. Gadis ini mengenakan kemeja putih polos dan mamianqun yang berwarna hitam dengan corak keemasan. Penampilan anggunnya jadi hidup berkat sepatu teplek berwarna perak.
”Saya memakainya karena rok ini pernah dicuri oleh jenama Dior. Banyak gadis China memperjuangkan pakaian tradisional kami dan memberi tahu dunia bahwa desain rok ini adalah milik bangsa kami,” tutur Huang yang juga bekerja di Beijing.
Mamianqun adalah sejenis rok yang memiliki lipatan di sisi kiri dan kanan. Bagian yang tumpang tindih pada rok disebut muka kuda. Mamianqun berasal dari era Dinasti Song (960-1279) dan populer pada era Dinasti Ming (1368-1644).
Baca juga: Bergaya di Segala Cuaca
Pada 2022, Global Times merilis artikel berjudul ”Neo-Chinese fashion spread wider by confident young people”. Artikel ini menyebut fenomena interpretasi baru atas budaya tradisional China di era modern atau kontemporer sebagai ”gaya neo-China”. Gaya ini telah merambah banyak bidang, termasuk busana, teh, kuliner, dan dekorasi rumah.
Sebuah studi tentang tren busana oleh Taobao mencatat, busana neo-China populer di kalangan usia 18-34 tahun. Busana gaya neo-China mengedepankan desain yang sederhana dan nyaman ketimbang makna tradisi. Beberapa desainer telah melakukannya, seperti Zhang Yan.
”Estetika mode neo-China membangkitkan minat konsumen muda karena ini menunjukkan siapa diri mereka melalui pakaian. Ini adalah cara untuk mengirim pesan, berbicara tentang pikiran terbuka mereka tentang keragaman budaya, dan bahkan menantang stereotip,” kata Fang Qiongyi, sosiolog budaya di Shanghai kepada Global Times.
Memakai pakaian tradisional menjadi salah satu representasi kebanggaan atas identitas diri bangsa. Sama seperti China, Indonesia memiliki warisan pakaian tradisional yang berlimpah. Kita juga bangga memakainya dalam keseharian kita.