Masih Idealis setelah 25 Tahun Reformasi
Mulai dibekuk, menjalani pengadilan, dipenjara, hingga digebuk aparat, sudah mereka cicipi. Aktivis-aktivis 1998 itu tak kapok dengan melanjutkan nyawa reformasi berlandaskan humanisme yang diperjuangkan hingga saat ini.

Juandi (tengah) memandu diskusi bersama sesama pengurus Perkumpulan Inisiatif dan mitra-mitranya di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Apa kabar aktivis 1998? Di antara mereka ada yang menjejaki panggung politik kekuasaan yang ingar bingar. Tetapi lebih banyak yang bergerak dengan idealismenya di jalur-jalur yang sunyi dan kadang terjal: jalur akar rumput dan gerakan kemanusiaan.
Juandi (49) terpaksa menyanggah Nandang Suherman (61). Orang tua bertopi koboi tersebut tak henti-hentinya mencerocos, tetapi bukannya gontok-gontokan. Malah lucu karena bos Juandi yang kerap memotong omongan koleganya itu lantas tersadar dan cengengesan.
“Saya diingatkan, tolong diimbangi kalau Pak Nandang kebanyakan merepet,” ujar Juandi disambut gelak rekan-rekannya. Serius, tapi santai. Demikian ia bersama pengurus Perkumpulan Inisiatif yang menekuni tata kelola pemerintahan, menggelar rapat di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Di sela kemewahan satu-satunya berupa panorama lembah, kebun, dan sawah, mereka ditemani tape ketan, kacang, atau kopi pekat saja. Lainnya, hanya jendela kayu tanpa pelitur, dinding dari gedek, dan buku-buku usang yang tampak di bangunan seluas 70 meter persegi itu. Jalur menuju tempat tersebut hanya jalan setapak yang diapit ilalang dengan pohon jati, pepaya, dan jagung.
Juandi, staf Departemen Tata Kelola Urusan publik Perkumpulan inisiatif, itu konsisten mengungkapkan kekritisannya. “Partai enggak pernah mengajarkan masyarakat soal kebijakan anggaran. Interaksi utama hanya saat kampanye,” katanya.
Juandi menggencarkan edukasi masyarakat lewat inisiator-inisiator dengan daya jangkau yang luas. Ia masih menerapkan semangat yang digenggamnya tepat 25 tahun lalu. Saat itu, Reformasi mencapai puncaknya. Juandi pun ikut terseret pusaran kekisruhan.
Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) angkatan 1992 itu dibekuk polisi di Terminal Cicaheum, Bandung, Jabar, setelah ditemukan stiker dengan tulisan antara lain “Saatnya Soeharto Berhenti”, menjelang subuh.
Masih terbayang dengan jelas di pelupuk mata Juandi saat digelandang ke Polrestabes Bandung, dilanjutkan menjalani sidang. “Saya ditangkap, 14 Februari 1998. Vonis, 13 Mei. Sudah jadi narapidana. Kalau Reformasi tidak terjadi, saya dipenjara empat tahun,” katanya.
Setelah mencicipi pahitnya mendekam di Rutan Kebonwaru, Juandi dibebaskan setelah Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Ia tak berhenti. Ia melanjutkan perjuangannya hingga menjadi asesor untuk penguatan paritisipasi komunitas pegiat lingkungan di DAS Citarum, tahun 2004. Kini, hidup Juandi sederhana, bahkan ia mengaku tak selalu berkecukupan meski tak menyebutkan pendapatannya.
“Mengakalinya dengan kegiatan-kegiatan seperti pelatihan anak muda untuk program-program seperti kebijakan dan lingkungan,” katanya. Juandi yang harus menghidupi istri dan empat anaknya kerap tidur di kantor. Seraya tertawa, ia mengklaim sudah menjadi doktor alias mondok di kantor. Juandi yang menetap di Subang, Jabar, pulang setiap satu hingga dua minggu.

Aktifis mahasiswa tahun 1998 Petrus Hariyanto di rumah kontrakannya di Jakarta Selatan, pada Kamis (18/5/2023). Petrus yang kini bergantung ke kursi roda karena kakinya remuk dan jari kakinya patah, kini aktif memperjuangkan nasib para pasien cuci darah, Ia sendiri juga pasien cuci darah.
“Kalau ditanya Reformasi, saya tidak puas. Pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan rasanya semakin telanjang saja,” ucapnya. Kalau mau, ia bisa saja menempuh jalan menuju panggung politik yang gemerlap. Tiket sebenarnya sudah di tangan, namun ia berpaling.
Gagal ginjal
Menjadi pasien gagal ginjal, sebagian kaki remuk dan satu jari kaki patah dan hidup amat sederhana tak mematahkan semangat Petrus Hariyanto (54), mantan Sekretaris Jendral Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pasca Orde Baru, ia melalui jalan sunyi tanpa keluhan dan penyesalan.
Petrus kini tak bisa berjalan dengan menjalani hidup di atas kursi roda dan butuh bantuan orang untuk berpindah tempat. Ia juga mengalami gangguan pendengaran yang cukup parah. Semua karena diabetes. Tetapi, hal ini tidak menyurutkan semangatnya sebagai aktivis. Ia kini berjalan di jalur kemanusiaan dengan membantu orang tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan cuci darah.
Pada tahun 1996, nama Petrus menjadi mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah dan aktivis prodemokrasi yang ditakuti. Petrus dicokok aparat Badan Intelejen Negara dengan tuduhan makar, tahun 1996. Ia dipenjara selama enam tahun di LP Cipinang dan baru dibebaskan 3,5 tahun berselang. Petrus kemudian menikah dengan Nurely Yudha Sinaningrum, sesama aktivis mahasiswa.
“Saya telat menikah. Orang yang keluar dari penjara, siapa yang mau? He-he,” ujar Petrus di rumah kontrakannya. Ia tak pernah punya pekerjaan tetap, sampai delapan tahun lalu kesehatannya menurun karena kerusakan ginjal. Petrus harus cuci darah seminggu sekali.
Ia melihat, pasca Reformasi ini memang banyak perubahan dari beberapa presiden sampai Joko Widodo. “Ada kemajuan tapi juga masih banyak ‘PR’,” kata Petrus.
Iwan Dermawan (46) juga banyak menghabiskan hari-harinya lebih dari seperempat abad lalu dengan diskusi tentang Orde Baru, turun ke jalan, dan berhadapan dengan aparat. Ia cukup akrab dengan pentungan, semprotan water cannon, dan gas air mata.
Iwan, aktivis 1998, sekarang menjalani hidup sederhana sebagai dokter di sebuah tempat praktik sederhana. Saat suhu politik merambat naik pada 1997, Iwan adalah mahasiswa semester empat Fakultas Kedokteran Unpad. Ia bergabung dengan organisasi ekstra kampus, Keluarga Aktivis Unpad (KA-Unpad). Ia sudah lama sebal dengan rezim itu.
“Aku keturunan China Semarang. Waktu SMA, bikin KTP diminta SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) sebagai syarat. Waktu mau ngurus SKBRI diminta KTP. Diperas. Aku juga lihat banyak orang miskin. Ada yang mati minum minyak tanah untuk ngobatin TBC karena nggak mampu ke RS (rumah sakit),” ujarnya.
Setelah Suharto lengser, Iwan dan kawan-kawannya sempat “membajak” delapan bus Damri dan dua bus kampus untuk mengangkut massa ke Jakarta. Seiring meredanya tensi politik, Iwan tetap menjadi aktivis. “Tapi, saya tak tertarik berkarier di partai,” ucapnya.

Dr Iwan Dermawan, aktivis 98 yang berprofesi sebagai dokter umum saat memeriksa pasien di klinik tempat ia praktek di kawasan Pengasinan, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Rabu (17/5/2023). Ia merupakan satu dari ratusan aktivis 98 yang setia dijalur profesinya. Ia kerap kali membantu pengobatan sesama rekan aktivis 98 yang mengalami kesusahan termasuk masyarakat sekitar yang kurang mampu.
Iwan kemudian bergabung dengan Badan Advokasi Rakyat (BAR) pada 1999. “Saya sempat ditahan tiga hari karena ikut mengadvokasi warga yang tanahnya dirampas,” katanya.
Dokter kritis
Dengan susah payah, Iwan lulus sebagai sarjana kedokteran tahun 2002-2003. Tahun 2004, ia merintis klinik sederhana di Bogor, Jabar. Pasiennya sebagian besar buruh tani, tukang bangunan, tukang ojek, dan buruh usaha mikro sandal jepit.
Ia hanya mematok tarif Rp 30.000 termasuk obat. Tetapi, tarif itu pun sulit dijangkau. “Banyak yang ngutang. Aku enggak tega menagih. Akhirnya, aku nombok terus. Sehari dapat Rp 150.000, nombok Rp 50.000-Rp 100.000 untuk beli obat. Lama-lama, bangkrut dan klinik tutup tahun 2006, ha-ha-ha,” katanya.
Iwan bekerja di beberapa rumah sakit. Ia disukai banyak pasien karena selalu memberi resep obat generik, tetapi tak disukai manajemen dan ditegur.
“Rumah sakit bukan lembaga amal. Dokter Iwan cocoknya kerja di RS gratisan. Aku marah betul,” kenang Iwan. Ia pun keluar dari rumah sakit yang memberinya penghasilan jutaan rupiah sebulan itu. Ia kembali bekerja di klinik milik orang lain di Pengasinan, Depok, Jabar, dengan upah harian tak lebih dari Rp 150.000.
Tahun 2020, ia kembali merintis klinik di rumah mertuanya di Bogor. Ia mematok tarif Rp 50.000 berikut obat. Pasiennya mulai tetangga, buruh, dan petani. Ketika Covid-19 merangsek, banyak tetangga yang berobat ke kliniknya. Beberapa harus dirujuk ke rumah sakit, tetapi semua menolak. “Kalau mati di rumah sakit, keluarga enggak bisa melihat kami lagi sampai dikubur,” katanya.
Setiap minggu, satu sampai tiga orang dirawat dan diisolasi di klinik itu. “Saya ketularan Covid tujuh kali, istri empat kali, dan dua anak saya masing-masing tiga kali. Alhamdulillah, semua sembuh,” katanya.
Yosita Arifiyanti (48) juga ikut menggugat Orde Baru. Bersama rekan-rekannya sesama aktivis di Gang Rode, Yogyakarta, Yosi, begitu sapaannya, berhadapan langsung dengan aparat. Bahkan saat demonstrasi semakin gencar, ia tengah mengandung.
“Saat Reformasi, saya sudah menikah jadi enggak sampai lari-lari. Berdiri saja susah. Ha-ha-ha,” kenangnya. Yosi mulai kuliah pada tahun 1993 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Sejak pindah dan bermukim di Jambi, tahun 2001, Yosi hanya mengurus rumah tangga sambil berbisnis kecil-kecilan dengan menjual pakaian.
Dosen Kebijakan Publik di Monash University Indonesia, Ika Karlina, berpendapat, aktivis pada naturnya senantiasa berjuang atau bersuara. "Jalan yang ditempuh semacam peaceful activism (aktivisme damai). Yang memastikan aktivisme bergulir,. Memang, tak sedikit aktivis 1998 meniti jalan sunyi dengan tak memilih panggung politik yang ingar bingar" katanya.
Mereka bisa bergerak di kampus atau komunitas. Saat ini, menurut Ika, susah bagi mereka untuk tidak kembali bangkit membela demokrasi. "Sebab, banyak noise (gangguan). Aktivis yang tak terlibat aktif pun, rasanya akan bangkit hari-hari ini," ujarnya.