Lebaran Lima Langkah
Jika kemacetan panjang terjadi di jalur mudik berangsur hilang saat Lebaran, di pinggiran Jakarta sebaliknya. Jalan tertentu justru macet parah karena warga Betawi yang berbondong-bondong bersilaturahim hingga menyekar.
Lebaran seumur-umur di seputaran rumah, paling banter mengunjungi saudara beda wilayah yang masih berada di Jabodetabek, menjadi rutinitas warga Betawi. Bukan tak pengin, tapi jika mudik lantas menyambangi siapa lantaran tak ada rumah saudara atau orangtua nun jauh lazimnya tujuan pemudik.
Nanih (51) menunjukkan cara membungkus dodol betawi. Ia tangkas membentuk penganan itu dari kepalan menjadi lonjong lalu dibungkus plastik tebal. “Biar lebih rapi. Waktu diantar ke rumah saya, sudah dibungkus plastik, tapi tipis. Setiap hari bungkusin dodol. Enggak cuma pas Lebaran,” ujarnya.
Nanih yang tinggal Cilodong, Depok, Jawa Barat, itu, ditemani dua puterinya. Sembari membungkus dodol di meja kecil, warga Betawi itu biasa menyalakan televisi. “Acaranya apa saja yang penting hiburan atau ada suara-suaranya,” ucapnya, Senin (24/4/2023).
Sepeninggal suaminya karena diabetes, lima tahun silam, ia mengisi waktu dengan mencari penghasilan kecil-kecilan. Nanih bisa membungkus sekitar 300 dodol per hari, masing-masing seberat 100 gram dengan upah Rp 75.000. Pekerjaan itu diselesaikan selama lebih kurang tiga jam.
Di tengah permukiman padat jauh di dalam gang yang hanya bisa dilalui satu mobil, ia memenuhi order juragan dodol. Jarak rumah mereka hanya 30 meter. Sampai H+1 itu, Nanih tak mudik. Tentu saja, lantaran orangtua dan saudara-saudaranya masih bermukim di seputaran Depok.
“Isi kekosongan waktu saja. Saya di sini dari lahir. Ibu, suami, mertua juga. Jadi, enggak mudik,” katanya sambil tertawa. Tak heran, kehidupan Nanih sudah berjalan normal. Paling jauh, ia mengunjungi kerabat ayahnya yang masih bermukim di Cilodong dengan jarak sekitar 5 kilometer (km).
“Habis ziarah, pulang. Ibu saja tinggal di belakang rumah saya. Kadang, bolak-balik. Makanya, Lebaran saya cuma lima langkah. Enggak pakai ongkos,” katanya seraya terkekeh. Ayah dan kedua mertua Nanih pun sudah wafat. Ia tepekur sejenak saat ditanya rasanya tak mudik
“Bingung, tapi bersyukur saja. Lucu sebenarnya. Lagian, saya kalau naik mobil lama suka mabuk. Bisa sampai dua kresek kali muntahnya. Namanya orang kampung,” katanya. Pernah, Nanih tak tahan juga untuk ikut menjajal jauhnya perjalanan dan dilanda waswas dihadang kemacetan panjang.
Ia ikut adiknya yang bersuamikan orang Cianjur, Jabar, untuk mudik pada tahun 2022. Berangkat pada pukul 05.00, mereka naik mobil sewaan dengan jarak sekitar 100 km. Selain penasaran, Nanih juga sudah lama tak pergi ke tujuan yang jauh.
“Pengin coba saja. Masa iya, mabok. Saya pikir, kayaknya kuat. Eh, muntah juga. Saya flu dan masuk angin sampai dua hari,” ujarnya diiringi senyum. Baru masuk mobil saja, ia sudah mual dan pusing. Tahun ini, tawaran menghampiri Nanih untuk ikut ke Wonogiri, Jawa Tengah, yang langsung ditolaknya.
Serupa dengan keluarga Saifudin (65), warga Petukangan Utara, Jakarta yang menilai, Lebaran ala Betawi tetap menyenangkan tanpa mudik.
Jika kemacetan panjang semula terjadi di jalan menuju Jabar, Jateng, Yogyakarta dan Jawa Timur berangsur hilang, di pinggiran Jakarta yang terjadi sebaliknya. Sepanjang Sabtu (22/4/2023) dan Minggu (23/4/2023) jalanan tertentu misalnya dari Cipulir, Jakarta; hingga Kreo, Tangerang; atau kawasan di dekat TPU Tanah Kusir, justru macet parah.
Penyebabnya, banyak keluarga dari luar Jakarta berbondong-bondong ke rumah orangtua atau saudara yang lebih tua. Selain itu, setelah shalat Id, umumnya warga Betawi menyekar ke makam orangtua atau saudara yang sudah meninggal. Bagi warga yang tinggal di rumah orangtuanya, perjalanan cukup dilakukan dengan jalan kaki.
“Keluar pintu, rumah bokap sudah kelihatan. Tinggal nyeberang jembatan di depan rumah, sampai dah ke rumah bokap nyokap,” ujar Hikmatullah (42), anak tertua Saifudin. Sabtu (22/4) siang ia sekeluarga bersama saudara kandung sudah berada rumah ayahnya. Ia cukup berjalan kaki sekitar 50 meter saja dari rumahnya.
Berkumpul keluarga
Rumah Saifudin ramai. Tak kurang dari 30 anak, menantu, cucu, dan adik berkumpul di rumahnya. Belum lagi, keponakan bersama istri dan anaknya. Saifudin menduduki kursi di teras rumahnya guna menyambut mereka.
“Seneng kalau Lebaran. Semua kumpul. Dari pagi sampai sore, ya, udah begini aja,” ujar Saifudin semringah. Sesekali, pemain film Ibnu Jamil, salah satu anak Saifudin, mengajaknya mengobrol.
Bagi Saifudin dan Ibnu, Lebaran adalah waktu berkumpul dengan seluruh anggota keluarga. Meski semua tinggal di Jakarta dan sekitarnya, berkumpul dengan empat anak, menantu, dan cucu merupakan kebahagiaan tersendiri. “Pokoknya, wajib ngumpul di rumah orangtua. Bisa ngobrol sepuasnya sebab susah ketemu kalau enggak Lebaran. Semua saudara punya pekerjaan masing-masing,” ujar Ibnu mengenai makna Lebaran bagi dirinya.
Baca juga:
Hikmatullah menambahkan, setiap Lebaran, saling kunjung antarsaudara dilakukan berbalasan dengan membawa seluruh anggota keluarga. Cara itu dilakukan agar anggota keluarga saling kenal agar tak mati obor. “Kita ngejaganya gitu. Semua anak pergi ke rumah saudara biar tetap akrab. Jangan sampai entar mati obor, pada enggak saling kenal lagi,” tuturnya.
Di rumah, istri Saifudin, Tarwiyah (66) dan menantunya sibuk menyiapkan makan siang. Menu tersebut, sayur asem, balado jengkol, cumi asin, sambal terasi, teri medan, tempe goreng, sambal goreng kentang, mi, dan bakwan goreng. “Enggak makan ketupat. Penginnya makanan sehari-hari, sayur asem dan lauknya. Ketupat untuk buka puasa terakhir sebelum takbiran,” jelas Tarwiyah.
Bagi duit
Bila di rumah keluarga Saifudin, menu makan Lebaran berupa sayur asam dengan aneka lauk, tradisi di rumah keluarga Thoha, agak berbeda. Menu saat kumpul keluarga di Tanah Abang, Jakarta, itu tetap ketupat. Tapi, ketupat khas keluarga tersebut berlauk serba daging. Bisa ayam, kambing, dan sapi.
“Kami makan ketupat dengan gule kambing, rendang sapi, sambal godog, opor ayam dengan serbuk daging kelapa yang digoreng tanpa minyak,” kata Ichwan Thoha (52), anak bungsu keluarga Thoha. Keluarga itu mendapat lebih banyak pengaruh makanan Timur Tengah. Tak heran bila di acara penting selalu ada gule kambing dengan bumbu kari khas Timur Tengah.
Semua masakan untuk anggota keluarga lebih dari 30 orang tersebut dibuat Diana, empok Ichwan. “Masakan Diana persis buatan mama. Sedap, ayo dicoba,” kata Ichwan, Senin (24/4) di rumahnya. Meski ia dan kakaknya berlebaran, Jumat (21/4), tetapi masih ada ketupat dan aneka lauk serta keik.
Menurut desainer busana tersebut, sewaktu masih ada, ibunya memasak 300 ketupat setiap lebaran. Selain buka puasa terakhir, juga untuk makan saat hari raya. “Setelah makan, semua yang datang, dibawain ketupat dan lauknya,” ujar Ichwan.
Baik di rumah Ichwan maupun Saifudin, perayaan Lebaran diawali dengan saling meminta maaf dengan cara orang muda mencium tangan orangtua atau pihak lebih tua. Dalam tradisi Betawi, tak ada sungkeman. Karena itu, mencium tangan tak harus duduk, tetapi bisa berdiri.
Setelah itu, orangtua atau anggota keluarga yang sudah bekerja membagi uang untuk anak-anak hingga remaja. “Orang Betawi tak mengenal angpau. Kami bagi langsung kasih duit, bukan dimasukkan amplop. Tapi, itu bukan kewajiban. Boleh ngasih atau tidak,” kata Ichwan.
Silaturahim di hari raya, menurut Ichwan, menjadi saat yang ditunggu sebab semua anggota keluarga sampai cucu berkumpul di rumah utama atau milik orangtua. Tak hanya seharian, tapi ada yang sampai bermalam. Seluruh anggota keluarga memanjatkan syukur karena bisa berpuasa. Setelah itu, antarsaudara menjalin keakraban dengan mengobrol sampai malam, bahkan hingga esok hari. Itulah makna Lebaran bagi Ichwan Thoha.
Sekretaris Jenderal Lembaga Kebudayaan Betawi Imbong Hasbullah memandang Lebaran warga Betawi sebenarnya penuh filosofi. “Mereka yang muda membawa hantaran. Makanan untuk kerabatnya yang lebih tua. Silaturahim dan salam-salaman,” ujarnya.
Tradisi itu bisa berlangsung seminggu. Mereka juga mempertahankan adat dengan menggelar andilan dan memasak dodol betawi. “Andilan itu patungan mengumpulkan uang untuk membeli kerbau yang dipotong lalu dimasak jadi semur. Warga Betawi menyambut Lebaran dan memasak dengan sukacita,” katanya.