Maju Terus Para Petarung!
Terkena PHK itu rasanya kayak serrr.... Seperti naik ”roller coaster”. Pas turun, ada yang melorot ke perut.
Tanpa drama pemutusan hubungan kerja, mungkin Disa (44) tak akan pernah menginjakkan kakinya di Belanda, Perancis, hingga Inggris. Cerita serupa menjadi bagian perjalanan hidup Ririn. Andai suaminya tidak mendadak kehilangan pekerjaan, mungkin dia tak pernah melahirkan Sambal Mbak Ririn yang kini jadi kebanggaan Kota Magelang. Di saat terpuruk, sikap mental petarung, gigih dan tak kenal menyerah, adalah kunci untuk jadi pemenang.
Lima tahun lalu, Disa Asmara (Disa) pernah geram luar biasa karena diminta mundur dari pekerjaannya di perusahaan multinasional yang bergerak di dunia hiburan. Disa yang sudah bekerja di kantor tersebut selama hampir 9 tahun diminta berhenti karena perusahannya ingin bergerak lebih cepat. Usianya yang dianggap sudah tak lagi muda dinilai tidak cocok lagi dengan semangat perusahaan.
”Perasaanku kesel, bete banget waktu itu. Memang, udah banyak orang lama di layoff satu-satu. Jadi aku udah siap-siap. Tapi pas waktunya itu tiba, rasanya wouhh kayak serrr, itu kayak naik roller coaster pas turun gitu lho, ada yang melorot ke perut. Udah mau nangis, tapi aku tahan-tahan. Enggak boleh nangis, enggak worth it aku nangis di depan mereka. Aku udah enggak diinginkan lagi, ya udah,” kenang Disa, Jumat (10/2/2023).
Dia mengingat pertemuan itu sangat singkat. Disa memang sengaja tak mau berlama-lama. Dia tak mau membela diri dan malas menggugat. Menurut dia, tak ada gunanya mempertanyakan keputusan yang sudah diketok. Percuma. ”Jadi, ya udah, gue diem aja. Nyantai. Dalam hati, enggak ada elo, gue masih hidup kok, dunia enggak runtuh istilahnya,” lanjut Disa.
Dia diberi waktu tiga bulan sebelum benar-benar meninggalkan kantor, dengan besaran uang pesangon sesuai aturan Departemen Tenaga Kerja yang sudah dipersiapkan di sebuah kertas. Dia juga diminta membuat surat pengunduran diri, tapi menolak. ”Ya kantor aja yang bikin. Ini, kan, bukan gue yang mau. Akhirnya mereka yang bikin,” kata Disa.
Meski kehilangan pekerjaan yang dicintainya, Disa tak merasa terlalu down. ”Kan, dapat duit. Ya udah, lumayan buat tabungan sambil nunggu ada kerjaan lagi,” ucapnya.
Baca: Jadi Tetangga Jangan Gitulah
Pengalaman sebelumnya, juga kehilangan pekerjaan karena kantornya tutup selamanya, mengajarinya untuk tak terlalu sedih. Dia yakin akan selalu ada jalan. ”Kalau emang udah jalannya gini, ya, nikmati aja. Rezekinya emang cuma sampai situ. Ntar juga ada lagi. Dan ternyata emang terbuka, jadi dibawa santai aja,” ujarnya.
Pertemanannya dengan banyak orang di dunia hiburan sekali lagi menjadi penyelamat hidupnya. Begitu tak bekerja di kantor lama, dia langsung ditawari bergabung dengan perusahaan milik seorang teman. Pekerjaan sebelumnya juga diperoleh karena jaringan pertemanan yang baik.
”Udah kenal lama. Dulu kadang emang suka sambil lalu nanya-nanya, joint dong. Karena aku lihat kerjanya seru, sering ke luar negeri sama timnya. Maklum, walaupun kerja di perusahaan multinasional, aku enggak pernah dikirim ke luar negeri. Kita levelnya cuma daerah,” tutur Disa sembari nyengir.
Pelan tapi pasti, roda kehidupan Disa pun kembali berputar. Dia cukup sibuk. Dalam waktu lima tahun, sudah banyak proyek besar dia kerjakan. Jalan-jalan ke luar negeri pun sudah dia cicipi.
”Ke Belanda, Perancis, London. Negara-negara yang kayaknya enggak mungkin gue datangi meski pernah kerja di multinational company yang kantornya di luar negeri, ha-ha-ha. Seneng sih sekarang, kerjaan juga enggak jauh-jauh dari yang lama,” ungkapnya.
Bedanya, kalau dulu Disa menerima gaji tiap bulan, sekarang ”gajinya” per proyek. Dia harus lebih baik dalam pengaturan keuangan. ”Tapi asal tiap bulan ada dua proyek aja, udah lumayan banget. Lebih tinggi dari gaji di kantor lama,” kata Disa. Akhir pekan ini, Disa akan sibuk mengerjakan proyek di kawasan bergengsi Senayan, Jakarta.
Sambal penyelamat
Catarina Nining Linggardhini (Ririn) yang berdomisili di Magelang, Jawa Tengah, sekarang juga tinggal memastikan usahanya, Sambal Mbak Ririn, berjalan lancar. Masa-masa pahit karena kehilangan pekerjaan dan berdarah-darah merintis usaha telah berhasil dia lewati bersama sang suami, Kartika Adi Nugroho (45).
”Sekarang di tahap bagaimana caranya bertahan, inovasi, juga diversifikasi. Semoga usaha ini lancar supaya bisa diteruskan sama anak,” ucap Ririn, Jumat siang.
Tahun 2017, dunia ibarat kiamat bagi Ririn dan suami. Suami yang semula bekerja di kapal mendadak kehilangan pekerjaan karena mengalami kecelakaan berat saat pulang ke Magelang. Pahanya remuk hingga harus dipasang platina sepanjang 40 sentimeter mulai dari lutut sampai bokong. Pendapatan puluhan juta rupiah per bulan pun lenyap tanpa bekas. Sementara Ririn telanjur keluar dari pekerjaannya untuk merawat sang ibu di rumah.
”Istilahnya bukan PHK atau kontrak tidak diperpanjang, tapi nonaktif karena kondisi kesehatan. Enggak bisa dijadwal berangkat karena memang kondisi. Enggak dapat gaji juga karena bukan kategori kecelakaan kerja. Bukan tanggungan perusahaan. Statusnya, kan, per kontrak. Berangkat tanda tangan kontrak, pulang ya lepas kontrak. Jadi operasi semua biaya sendiri,” tutur Ririn mewakili sang suami.
Untuk bertahan, Ririn harus banting tulang. ”Dulu, ngeri sekali. Aku sempat kerja di kantin sekolah. Masak. Karena kan masih punya anak kecil, jadi harus survive. Apa yang ada dulu. Belum kepikiran bikin usaha,” papar Ririn.
Gajinya per hari Rp 30.000. Tapi dia lakoni karena sambil menunggu anak, dia dapat penghasilan. Bila ada sisa sayur dari kantin juga bisa dibawa pulang sehingga dia tidak perlu mengeluarkan uang ekstra.
Di masa pemulihan, biaya yang dibutuhkan suami semakin besar, terutama untuk membeli vitamin, terapi, dan sebagainya. ”Akhirnya tabungan yang enggak seberapa itu habis. Kalau sehari hanya dapat Rp 30.000, kan, enggak cukup. Anakku juga masih sekolah,” katanya.
Dalam situasi terdesak, ide membuat sambal botolan muncul. Ini lantaran setiap kali berangkat berlayar, suaminya selalu membawa sambal. ”Kan, idola karena di luar negeri susah cabai. Kebetulan di Magelang juga belum ada pemain,” katanya.
Baca juga: Pertarungan Warung Kelontong Madura
Kiblatnya adalah Sambal Bu Rudi. Mereka lalu mencoba membuat satu varian, sambal wader. ”Kebetulan, kan, aku senang masak. Harganya masih Rp 15.000. Itu aja orang masih menganggap ini apa,” ujar Ririn.
Masa merintis usaha adalah masa yang dikenang Ririn berdarah-darah. Dia kerap diusir dari kantor-kantor saat menawarkan sambalnya. Makanya dia memilih masuk ke arisan-arisan yang lebih ramah. ”Kalau aku pergi, di tasku itu ke mana-mana selalu ada sambal. Ketemu dengan siapa pun, jejeran dengan siapa pun, aku pasti nawarin,” katanya.
Pernah juga, saat suaminya masih memakai tongkat dan akan mengikuti reuni SMP, Ririn membawakan kotak berisi 40 botol sambal. Saat itu targetnya, kalau tidak bisa menjual sambal satu pun dalam satu hari, mereka tak bisa makan.
”Dia, kan, pemalu banget, enggak banyak omong. Lalu gimana aku jualan, katanya. Udah, pokoknya dibawa, taruh di meja. kalau ada yang tanya dijawab, kalau ada yang beli terima uangnya. Aku bilang gitu. Karena kan memang mental harus dibina. Yang namanya bakul, servicelevel harus tinggi, kita juga harus gercep, cepet kenal. Itu aku didik beneran. Sampai sekarang enggak malu lagi jualan,” kenang Ririn.
Tahun 2018, Sambal Mbak Ririn mengantongi sertifikat PIRT dan mendapatkan sertifikat halal. Dari situ produknya bisa masuk ke toko-toko dan supermarket lokal, juga ke pusat oleh-oleh di Magelang. Lalu juga mulai ada reseller, juga dropseller. ”Lumayan buat hidup,” ucapnya.
Mereka juga rajin ikut pelatihan dan tak pernah absen di setiap event untuk berpameran, berganti-gantian. Kemajuannya cukup pesat. ”Dulu, aku sampai enggak tidur kalau mengerjakan pesenan. Tapi kan kendala di umur. Jadi milih nambah orang, semua jalan dan aku masih bisa sehat, bisa ke mana-mana. Soalnya kan kita juga butuh bersosialisasi dan cari relasi,” katanya.
Sekarang, Ririn dan suami sudah punya empat karyawan. Di lokapasar, produknya sudah meningkat menjadi 13 buah, ditambah keripik baby ikan mujahir bernama mukridi. Setiap hari, mereka bisa memproduksi 100 botol sambal, kecuali saat ada pesanan hingga 1.000-1.500 botol. Ririn biasanya mencari tenaga tambahan hingga delapan orang.
Dia kini dalam tahap membuat produk baru berupa ceriping gethuk lengkap dengan cocolan sambal. Suaminya juga siap berlayar kembali semata demi menambah modal, membesarkan industri rumahan mereka. Harga mesin incaran mereka lumayan mahal.
”Ini semua karena lapar. Gimana anakku bisa makan, akhirnya mlethik le nggolek duit. Bukan apa-apa, tapi aku merasa setiap ada kemauan pasti ada jalan. Pertolongan Tuhan itu enggak pernah terlambat. Trus juga semangat, cari uang tiap hari. Intinya, kalau kita gelemkemlawe (bergerak), mesti ada rezeki. Namanya pejuang,” kata Ririn.
Tidak berlarut
Seperti Disa dan Ririn, Grace (32), warga Tangerang Selatan, Banten, akhirnya juga bisa kembali menata hidup setelah sempat tertatih. Tahun lalu, dia menjadi satu dari sekian karyawan yang merasakan badai PHK ketika pandemi berangsur pulih.
Selama tiga tahun lebih, Grace bekerja sebagai PRexecutive perusahaan rintisan bidang online groceries. Ia menangani strategi komunikasi dan inisiatif perusahaan induk yang beroperasi di empat negara.
”Pertengahan Juli-Agustus kondisi perusahaan mulai tidak stabil. September mereka mengambil keputusan melepaskan karyawan dan menutup wilayah operasi di beberapa negara,” kata Grace dari Palembang, Sumatera Selatan, Jumat.
Grace jadi salah satu karyawan yang terdampak. Keputusan itu membuatnya sedih dan kecewa karena dia menyukai budaya kerja yang positif dan rekan-rekan yang kolaboratif. Peristiwa seperti mimpi itu akhirnya menjadi nyata saat acara perpisahan.
”Setelah itu baru aku sadar aku jobless, bingung ke mana. Aku sedih dan sakit hati karena sudah bekerja tiga tahun, tapi dilepas begitu saja. Kayak diputus pacar,” ujarnya.
Grace berupaya bangkit. Ia melamar ke 80 perusahaan dan melalui 20 tahap wawancara. Namun, dia terus menghadapi penolakan demi penolakan. Dampak PHK itu juga mengganggu lingkar pertemanannya.
”Aku sampai menutup diri dari orang lain. Takut dengar mereka bilang coba ini itu. Padahal, aku udah melakukan rekomendasi orang, tapi enggak ada yang berhasil,” katanya. Grace bertekad untuk terus mencoba sembari meningkatkan keahlian diri, memutuskan untuk tidak berlarut dalam keputusasaan.
Usahanya berbuah manis. Desember lalu, Grace diterima di perusahaan telekomunikasi di Jakarta Pusat. Per Januari tahun ini, dia bekerja sebagai PR dan sosial media specialist. Aspek kesejahteraan, seperti gaji dan bonus, di perusahaan barunya jauh lebih baik.
Iif (33) juga terkena PHK pada Juni 2022. Waktu itu, dia sudah bekerja selama empat tahun sebagai content editor di perusahaan rintisan media di Jakarta Selatan. PHK terjadi karena perusahaan ingin mengubah inti bisnis.
Sadar tak bisa mengubah keputusan itu, Iif segera memutar otak mencari pekerjaan baru. Dia pening karena baru setahun mengambil KPR di Sawangan, Depok. ”Banyak yang bilang gampang cari kerjaan, tapi posisi aku serba salah. Perusahaan lain cenderung mencari lulusan baru atau yang lebih di atas,” kata gadis yang sudah bekerja selama 11 tahun ini, Kamis (9/2/2023).
Toh, Iif tak ingin berlarut menangisi keadaan. Dia terus berjuang. Soal pemasukan bulanan, dia tak khawatir karena punya sambilan sebagai penulis novel di sebuah situs.
Setelah sempat menjajal bekerja di perusahaan rintisan media sosial lokal selama tiga bulan, Desember lalu Iif mendapat peluang di perusahaan rintisan bidang dekor rumah. Sebagai content editor, gajinya tak jauh beda dengan gaji pekerjaan sebelumnya. Iif lega.
”Pengalaman lalu jadi pembelajaran penting. Aku berhenti, tapi memakai momen itu untuk melihat sudah ngapainajaselama ini, menata ulang, dan melihat ke depan mau apa,” kata Iif. Drama PHK, meski perih, bukan akhir dunia. Maju terus para petarung.