Tanpa disadari, upaya menjaga bumi berkelindan dengan sisi ekonomi. Begitu pula sebaliknya, sadar mengelola keuangan berdampak pada bumi bernapas lega.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Tahun baru tinggal menghitung hari. Berbagai upaya menjaga bumi terus dilakukan tiada henti hingga mendorong strategi dalam berekonomi. Kesadaran terus dipupuk agar kian mekar berkembang menjejak 2023 untuk dinikmati generasi selanjutnya.
Belakangan, beberapa ide dan gagasan muncul sebagai bentuk perlawanan atas pola konsumsi yang serba tergesa. Ini tak hanya berdampak pada gaya hidup seseorang dan kondisi ekonominya, tetapi tanpa sadar menggerus bumi.
Konsep yang menentang kondisi ini pun terus menggeliat dan bergulir, seperti minimalisme, slow living, dan hidup frugal. Konsep ini banyak dibicarakan dan dinilai bisa menjadi solusi bagi mereka yang ingin melambat dalam ”perlombaan” kehidupan.
Apalagi dengan ancaman resesi dan krisis pangan, pola hidup ini bisa sedikit memberikan ketenangan untuk mengarungi tahun yang baru. Di sisi lain, pandemi dan krisis iklim yang sebenarnya sudah mengikis bumi membutuhkan respons yang tepat.
Perubahan gaya hidup setiap individu sesungguhnya dapat menjawab. Namun, ini tidak mudah. Founder Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto, menyampaikan, kesadaran itu dapat dipupuk dari kegiatan sehari-hari.
Misalnya, memilih pakaian minim bahan poliester. Selain itu, membiasakan diri untuk membeli makanan dan minuman dengan membawa wadah pribadi sehingga mengurangi limbah kertas atau plastik.
”Adanya pandemi buat orang lebih sadar akan apa saja yang kita butuhkan dalam hidup. Kita perlu lagi saling mengingatkan karena manusia kerap lupa,” tutur Chitra.
Chitra juga mempraktikkan hidup melambat dan lebih berkesadaran dalam melakukan banyak hal. Salah satunya, ia memilih mengenakan baju lungsuran dari orangtua, bahkan neneknya, ketimbang beli baru. Ini diyakininya dapat mengurangi limbah tekstil yang kian merusak bumi.
”Tak kenal maka tak sayang. Berkenanlah dengan bumi, rumah kita ini. Kalau sudah cinta, belajar cara merawatnya mulai dari hal paling sederhana. Sekecil apa pun itu pasti ada manfaatnya. Jadilah bagian dari solusi, bukan polusi,” tuturnya.
Pendiri Setali Indonesia, Intan Anggita, menilai bumi memiliki inteligensia sendiri, bahkan sudah ada sebelum peradaban manusia tercipta.
”Jadi, yang harus dilakukan berterima kasih pada bumi karena memberikan apa yang kita butuhkan. Ambil secukupnya supaya bumi bisa terus menyediakan kebutuhan generasi selanjutnya,” kata Intan saat dihubungi.
Kondisi bumi dengan banyak bencana di dalamnya tak lepas dari situasi manusia yang menginginkan segalanya serba cepat dan instan. Percepatan industri ini kurang mengimbangi kemampuan alam untuk memulihkan diri dari ragam eksploitasi.
Akar konsumerisme
Eksploitasi terhadap bumi, termasuk kantong sendiri, karena terus-menerus membeli barang yang tak dibutuhkan berawal dari konsumerisme. Perilaku ini menjadi salah satu akar dari hidup ugal-ugalan dan serba cepat ini.
Peneliti budaya Idi Subandi Ibrahim menjelaskan, teknologi membuat semua hal dikonsumsi dengan sangat cepat. Kecepatan ini membuat daya eksplorasi dan kemampuan kognitif seseorang dalam mengolah informasi yang diterima menjadi tumpul.
Pada akhirnya, segala hal yang dicitrakan dalam media sosial menjadi keniscayaan dan diamini oleh banyak orang yang melihatnya. Tidak ada ruang untuk menjadi kritis. Tidak ada ruang pula untuk memaknai setiap hal yang diterima lewat kanal tersebut. Segala hal diterima dan dicerna secepat mungkin. Keterikatan akan teknologi ini pun sudah membudaya dan membuat orang-orang sulit keluar dari cengkeramannya.
Sementara itu, perencana keuangan Greget Kalla Buana menyebutkan, gaya hidup slow living dan frugal living bisa jadi solusi untuk terlepas dari perilaku konsumtif yang tidak membawa kebahagiaan dan dampak positif bagi seseorang. Baginya, hidup harus diarahkan pada hal ataupun benda yang memiliki makna dan tujuan yang memberi pengaruh baik kepada diri kita.
”Dalam menjalankan gaya frugal living, fokus kepada value atau nilai yang dapat dilihat dari kualitas dan fungsinya. Belilah barang atau benda yang memiliki kualitas dan fungsi yang memang bermanfaat,” tambahnya.
Pola pikir ini pula yang nantinya bisa membantu seseorang untuk mengelola keuangan lebih baik karena akan mampu membedakan mana kebutuhan dan keinginan.
Langkah yang semula ditujukan untuk jaga bumi nyatanya berkelindan dengan sisi ekonomi. Sebaliknya, ketika orang mulai mengatur pola ekonomi dan konsumsi, limbah dari barang-barang yang tak terpakai pun menipis dan membantu bumi dan pundi ekonomi diri bernapas lega.