Pelaju yang Tak Lelah Berjuang
Bekerja di kota Metropolitan, tetapi tinggal nun jauh di pinggiran mengharuskan warga menjadi pelaju, menempuh perjalanan seratusan kilometer atau lebih tiap hari dari rumah ke tempat kerja. Amat melelahkan.
Para pelaju seperti tak punya pilihan. Mereka harus menempuh jarak puluhan hingga lebih dari 100 kilometer setiap hari dari rumah mereka untuk bekerja di Ibu Kota. Sangat melelahkan. Namun, agar hidup terus berjalan, mereka bergeming melakoninya.
Jakarta masih menjadi magnet bagi jutaan orang. Tak kurang dari tiga juta warga yang tinggal di kawasan Bogor, Bekasi, bahkan Maja, Banten, ikut mengais rezeki ke kota ini. Mereka terpaksa tinggal jauh dari tempat kerja karena tak mampu membeli rumah dekat kantor.
Rini Soekarno (54), karyawan perusahaan penerbitan, terkantuk-kantuk dalam kereta komuter yang membawanya dari Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, menuju rumahnya di Bojonggede, Kabupaten Bogor. Tak hanya dia yang lelah dan mengantuk. Di seberang Rini duduk, tiga perempuan muda lelap tertidur di kereta yang melaju menuju Bogor pada Selasa (15/11/2022) sekitar pukul 22.45 itu.
Begitu sampai di Stasiun Bojonggede, ia dan para pelaju lain bergegas turun. ”Kalau sudah di atas pukul 22.00, angkot sudah tak ada. Musti naik opang (ojek pangkalan). Aku sebenarnya takut, sudah jam segini,” tutur Rini berterus terang.
Apa boleh buat. Di pintu masuk dan keluar stasiun yang tersedia tinggal opang. Ia lalu naik opang itu ke rumahnya di Tonjong, Bogor. Perjalanan dari stasiun ke rumah menjelang tengah malam itu hanya sekitar 15 menit dengan ongkos Rp 20.000. Naik ojek di malam hari memang lebih mahal sekitar Rp 5.000 daripada di siang hari, sementara jika naik angkot hanya perlu membayar Rp 6.000, tetapi bisa lebih dari 30 menit sampai rumah.
Soal rumahnya, ia menyebut sebagai RSSS (rumah sangat sangat sederhana) walau berada di tanah seluas 120 meter persegi. ”Maaf sekali tak bisa menawari untuk tidur di rumahku. RSSS soalnya,” katanya begitu sampai rumahnya.
Baca Juga: Pelaju yang Terkuras di Jalan
Di rumah, ibu dua anak itu tak bisa langsung istirahat. Ia melihat suaminya, Taufan Arianto (61), yang tergolek di ranjang. Suami Rini terkena stroke sejak tahun 2019. Selelah apa pun, saat melihat kondisi suaminya, ia harus menyediakan kebutuhannya, seperti ganti popok (pampers) dan menyiapkan minum.
”Dia tak pernah ngomong kalau mau minum, makan. Kami yang harus menyodorkan minuman atau makanan,” ujar Rini menceritakan kondisi sang suami. Setelah itu, ia baru istirahat.
Rata-rata, ia hanya tidur sekitar 4 jam sebab subuh ia harus bangun, shalat, lalu menyiapkan kebutuhan dua anak dan suaminya yang akan ia tinggal beraktivitas di luar rumah. Dengan kondisi itu, ia harus mencari penjaga buat suaminya dengan honor Rp 130.000 per hari. Sekitar pukul 07.00, ia sudah harus berada di stasiun kereta menuju Jakarta untuk berangkat kerja.
Sebelum membeli rumah tersebut, Rini diminta tinggal di rumah mertua di Jakarta Barat, tetapi ia ingin punya rumah sendiri agar lebih bebas. Waktu itu, ia membayar tunai rumah yang ia huni dengan harga Rp 58 juta. Dengan gaji berdua sekitar Rp 15 juta, ia hidup cukup, bisa mengangsur mobil, dan bayar uang sekolah anak sampai mengajak mereka liburan.
Setelah suaminya terserang stroke, Rini yang biasa naik motor atau naik mobil pribadi bersama suami untuk bekerja harus beralih naik angkutan umum. Akibatnya hampir setiap pagi ia harus kena macet panjang dari rumahnya ke stasiun. Lepas dari situ, ia harus berjubel di kereta komuter yang sesak selama sekitar 1 jam. Sebagai pekerja lapangan, ia setiap hari bisa berbeda tujuan di Jakarta.
Dalam ritme kerja yang tinggi, setiap hari ia bisa pindah ke tiga tempat. Ini membuat Rini baru bisa pulang ke rumah paling cepat pukul 19.00 sampai 20.00 malam. Bahkan, bisa lebih malam jika ada acara malam hari. Lelah dan lunglai kerap ia rasakan. Belum lagi ia harus membagi pendapatan Rp 8 jutaan per bulan untuk hidup sekeluarga walau anak sulungnya sudah bekerja.
”Yang membuatku punya kekuatan, ya, dua anakku itu. Demi mereka aku harus kuat, apalagi bapaknya sakit seperti itu,” kata Rini.
Naik motor
Menjadi pelaju dengan naik sepeda motor menjadi pilihan Joko Andy Prastiyo (38) yang bekerja sebagai tenaga alih daya di Palmerah, Jakarta Pusat. Bagi Joko, naik motor lebih praktis dan cepat dari rumahnya di Citayam, Bogor, sekitar 36 kilometer menuju Jakarta jika terkena giliran kerja malam.
Joko bekerja di bagian rumah tangga suatu perusahaan swasta selama 18 tahun sebagai pekerja kontrak. ”Pertama menjadi petugas kebersihan gajinya Rp 650.000 per bulan. Sekarang saya dapat gaji sesuai UMR (upah minimum regional) Rp 4,3 juta per bulan,” tutur Joko, yang tinggal di daerah Citayam Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor.
Ia pindah kontrak rumah ke Bojonggede tahun 2017. Sebelumnya, ia mengontrak rumah petak di Palmerah. Tahun 2011, Joko menikahi Desi Kesumah (38). Sejak menikah, Desi pun tidak bekerja lagi.
Di Palmerah, Joko harus membayar uang kontrakan Rp 1,7 juta per bulan. Ia lalu mengontrak rumah yang jauh lebih murah di Bojonggede agar dekat rumah orangtuanya. ”Saya ngontrak rumah di Citayam dari 2017 sampai 2021. Uang kontrakannya jauh lebih murah, Rp 600.000 per bulan,” ujar Joko, yang sejak 2017 itu mulai bisa menabung.
Baca Juga: Gaji Kecil Terkuras Ongkos Transpor
Tahun 2021, Joko bisa tinggal di rumah seluas 36 meter persegi yang dibelikan ayahnya. ”Untuk membangun rumah itu, saya pakai uang tabungan Rp 15 juta, ditambah dari orangtua Rp 40 juta,” kata Joko yang punya dua anak.
Persoalan rumah sudah teratasi, keseharian Joko kini dihadapkan tantangan sebagai pekerja pelaju yang memilih naik motor saat mendapat giliran kerja malam. Perjalanan dari rumah ke tempat kerjanya sekitar 1 jam.
Jika di tengah jalan mengantuk, ia memilih menepi untuk tidur sebentar. Ia juga menghindari daerah rawan begal dengan memilih jalur jalan yang ramai dan berpenerangan lebih terang daripada jalur berlampu remang dan sepi.
Dua motor
Sudah dua tahun terakhir, Ramdhani (37) dan anak pertamanya, Aryan (12), bolak-balik dari Perumahan Citra Maja Raya, Maja, Banten, ke Jakarta. Mereka menempuh jarak lebih dari 100 kilometer pergi pulang menggunakan kereta rel listrik demi bekerja dan bersekolah.
Bekerja sebagai supervisor divisi pemasaran Sebamed yang berkantor di Jakarta Selatan, Ramdhani tinggal di Maja bersama istri, dua anak, dan ibunya sejak tahun 2020. Awalnya mereka menetap di Pondok Pinang bersama keluarga istrinya. Keinginan untuk memiliki tempat tinggal sendiri membuat mereka mulai mencari rumah KPR.
”Cari rumah di Jakarta nggak nguber duitnya. Di Maja, akses ke stasiun gampang, ada shuttle, dan tidak perlu banyak transit. Harganya juga cocok untuk kami ambil KPR. Rumah, kan, jodoh-jodohan,” tutur Ramdhani, di Jakarta, Rabu (16/11).
Setiap pagi di hari kerja, istri Ramdhani bangun sekitar pukul 03.00 untuk menyiapkan sarapan dan keperluan lainnya. Ramdhani bangun pukul 03.30. Bersama anaknya, mereka berangkat ke Stasiun Maja untuk mengejar kereta pukul 04.45.
”Awal pertama emang rasanya sulit. Kadang di sekolah suka ngantuk, tapi lama-lama sudah terbiasa,” ujar Aryan.
Ayah dan anak ini tiba di Stasiun Kebayoran, Jakarta, sekitar pukul 06.00. Selesai mengantar anaknya ke sekolah di Pondok Pinang, Ramdhani langsung ke kantor yang mulai bekerja pukul 08.00.
Saat anaknya pulang sekolah, Ramdhani mengantar Aryan ke Stasiun Kebayoran. Di Stasiun Maja, istrinya akan menjemput putranya menggunakan sepeda listrik. Sementara itu, waktu pulang Ramdhani tak tentu, tetapi dia usahakan tiba di Stasiun Kebayoran sebelum pukul 22.00 agar tak ketinggalan kereta terakhir ke Rangkasbitung.
Demi efisiensi, Ramdhani menaruh dua motor di dua stasiun sebagai kendaraan lanjutan dari KRL. Motor pertama dia tinggalkan di Stasiun Maja untuk pulang ke rumah, sedangkan motor kedua dia tempatkan di Stasiun Kebayoran untuk pergi ke kantor dan sekolah anaknya.
Ayah dua anak ini mendapat pemasukan sedikitnya Rp 7,2 juta per bulan di luar bonus insentif. Istrinya adalah ibu rumah tangga. Ramdhani dapat mengeluarkan dana lebih dari Rp 700.000 untuk transportasi. Untuk ongkos KRL, ia bisa mengeluarkan lebih kurang Rp 500.000 untuk dua orang. Sementara itu, biaya parkir dua motor di dua stasiun dapat berkisar Rp 220.000 per bulan.
Belum lagi ada biaya untuk bensin untuk sehari-hari dan transportasi daring jika Ramdhani ingin mengambil motor di kantor.
Gaji Ramdhani juga terpotong angsuran KPR sebesar Rp 2,5 juta sebulan selama 12 tahun ke depan. Memang Ramdhani tidak perlu menafkahi ibunya. Namun, gajinya menjadi pas-pasan. ”Mau menabung enggak bisalah,” ucapnya.
Sebagai pelanggan tetap KRL, Ramdhani dan Aryan telah merasakan beberapa pengalaman berkesan. Mereka pernah terlelap dan bangun di stasiun yang salah. ”Pernah waktu itu saya pikir kelewat, ternyata baru di Stasiun Cilejit. Jadi, bangunin anak saya dan keluar buru-buru. Akibatnya, kami harus tunggu kereta selanjutnya 30 menit lagi. Saya juga pernah ketiduran sampai Tanah Abang dan Citeras. Lalu, Aryan pas pulang sendiri juga pernah ketiduran sampai di Stasiun Citeras,” kata Ramdhani yang tak keberatan melakoni pengorbanan seperti itu. Yang penting, tekad ingin punya rumah terwujud.