Ketiadaan akses transportasi publik bagi sebagian warga di Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya, menggerus pendapatan bulanan mereka.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, MARGARETHA PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Akses transportasi publik di empat metropolitan Pulau Jawa di luar Jakarta yakni Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta, ikut menentukan kesejahteraan warganya. Warga di wilayah tanpa cakupan transportasi publik, biaya hidupnya lebih tinggi dan susah sejahtera.
Hasil olah data komponen biaya transportasi publik di empat kota menunjukkan, rata-rata biaya angkutan umum perbulan sebesar Rp 241.875. Dasar kalkulasi rata-rata biaya transportasi diambil dengan menghitung ongkos angkutan umum untuk perjalanan pulang-pergi dari rumah di pinggiran kota yang berjarak 10 km ke tempat kerja di pusat kota. Waktu kerja dihitung lima hari sepekan.
Namun, jika warga tidak tinggal di dekat jaringan dan simpul angkutan umum, porsi pengeluaran transportasi mereka membengkak. Bila mereka tetap menggunakan angkutan umum, pengeluaran transportasinya bertambah lebih dari 40 persen dari biaya rata-rata. Ini karena mereka harus berpindah trayek lebih banyak. Rata-rata mengeluarkan Rp 339.333.
Biaya transportasi akan lebih besar bila warga memilih untuk membeli dan menggunakan sepeda motor. Biaya rata-rata bulanannya mencapai Rp 1,1 juta, atau 3,5 kali lipat lebih mahal dibandingkan jika menggunakan transportasi publik. Untuk yang menggunakan mobil, nilainya lebih tinggi 15 kali lipat (Rp 3,8 juta perbulan).
Simulasi ini menggunakan aplikasi Here Maps API untuk menentukan jarak 10 km ke pusat kota dari tempat tinggal warga. Sementara untuk tarif dan durasi perjalanan angkutan umum memakai Google Maps.
Untuk menghitung biaya kendaraan pribadi, selain komponen bahan bakar, juga memasukkan nilai angsuran kredit kepemilikan (tenor 4 tahun untuk mobil dan 3 tahun untuk sepeda motor), tarif parkir resmi, pajak, dan ongkos perawatan rutin. Dari perhitungan tersebut, biaya transportasi warga di empat kota jika menggunakan sepeda motor ternyata sangat tinggi. Semuanya di atas ambang batas pengeluaran transportasi bulanan yang ideal menurut Bank Dunia, yakni 10 persen dari pendapatan bulanan. Laporan ini menggunakan upah minumum regional (UMR) masing-masing kota sebagai basis data pendapatan bulanan warga.
Yogyakarta paling besar
Dengan perhitungan ini, warga Yogyakarta berpendapatan setara UMR (Rp 1,8 juta) yang tinggal di wilayah tak tercakup transportasi publik dan menggunakan sepeda motor sebagai moda transportasinya, menghabiskan 60 persen pendapatannya untuk biaya transportasi bulanan. Rasio pengeluaran biaya transportasi bulanan warga Yogyakarta jika dibandingkan dengan pendapatannya, tercatat paling besar di antara tiga kota lainnya.
Salah seorang warga Yogyakarta, Eko (22) mengungkapkan, ia menghabiskan Rp 1,02 juta atau 68 persen dari gajinya sebesar Rp 1,5 juta untuk biaya cicilan sepeda motor, bahan bakar, parkir, dan perawatan. Sisa pendapatannya ia gunakan untuk kebutuhan pribadi seperti makan, pulsa dan rokok. Alhasil, Eko pun masih harus tinggal bersama ibunya. Ia belum bisa menyisihkan uang untuk menabung. “Ya sebisanya saja,” ujar Eko.
Sementara dengan perhitungan yang sama, warga Bandung menghabiskan sekitar Rp 1,4 juta atau 37 persen dari UMR (Rp 3,7 juta) untuk biaya transportasi bulanan menggunakan sepeda motor. Warga Semarang menghabiskan Rp 926.000 atau 40,2 persen UMR (Rp 2,3 juta). Adapun warga Surabaya, mengeluarkan ongkos transportasi bulanan sekitar Rp 1 juta atau 23,1 persen dari UMR (Rp 4,3 juta).
Nilai pengeluaran transportasi yang melebihi standar ideal Bank Dunia, membuat warga di empat kota ini sulit memenuhi kebutuhan lainnya. Menurut “Panduan Perencanaan Keuangan Keluarga” yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), anggaran ideal pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga berkisar 40 persen. Proporsi ini termasuk pengeluaran untuk transportasi.
Bisa ditekan
Di sisi lain, jika warga tetap menggunakan angkutan umum meski tinggal di wilayah yang jauh dari simpul transportasi publik, porsi biaya transportasi bulanannya bisa ditekan. Contohnya, warga Bandung di wilayah tak tercakup transportasi publik, jika tetap menggunakan angkutan umum, maka biaya transportasinya bulanan sebesar Rp 410.000 atau hanya 14,9 persen dari UMR.
Pakar transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Hera Widyastuti mengatakan, masyarakat Indonesia cenderung memilih sepeda motor karena terkesan lebih murah ketimbang angkutan umum. Sebab, hanya biaya bahan bakar saja yang dihitung. “Terkadang kita lupa sepeda motor ini ada biaya maintenance, parkir, dan lain-lain. Ini yang tidak pernah dihitung dan terlupa. Padahal kalau menggunakan angkutan umum massal tidak perlu memikirkan biaya-biaya ini,” kata Hera, Senin (14/3/2022).
Namun keunggulan angkutan umum pada faktor biaya harus dibayar dengan waktu tempuh yang lebih lama. Dibandingkan sepeda motor, waktu tempuh angkutan umum lebih lama 133,6 persen. Misal perjalanan dengan sepeda motor butuh waktu satu jam, dengan angkutan umum butuh waktu dua jam 20 menit.
Belum lagi, dari hasil analisis spasial di empat kota, menunjukkan banyak penduduk yang belum terlayani angkutan umum dengan baik. Baru 9,2 juta penduduk di empat kota yang sudah tercakup layanan angkutan umum. Angka itu setara 68,4 persen dari total 13,5 juta jiwa di area berkepadatan tinggi di empat kota itu beserta wilayah aglomerasinya.
Dari mereka yang sudah terlayani, mayoritas warga (80,8 persen) dilayani angkutan kota atau bus umum konvesional. Sementara kehadiran angkutan massal seperti Bus Rapid Transit/TemanBus dan kereta komuter baru mencakup 66,7 persen penduduk.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengakui, pemerintah mungkin terlambat menyediakan sarana dan prasarana angkutan umum massal yang sesuai ekspektasi masyarakat yakni aman, nyaman, murah, modern, dan mudah dijangkau. Saat ini, menurut Budi, sudah terlanjur terbentuk budaya bermobilitas yang lekat dengan kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor.
Pemerintah pun menginisiasi program angkutan umum buy-the-service (BTS) di 11 kota di Indonesia. Skema ini memungkinkan, pemerintah pusat membeli langsung layanan angkutan umum dari operator di masing-masing kota dengan standar layanan yang sudah ditentukan.