Menu yang Melintas Batas Lidah
Dengan spanduk khas pesisirannya, Riyan Riyadi yang kerap disapa Popo malah mengandalkan sei sapi dalam menunya. Sementara Sayudi yang memegang waralaba Warung Tegal Kharisma Bahari berani menggunakan warna-warni pupus.

Pengunjung bersantap di Warpopski, Jakarta, Jumat (29/7/2022).
Macam-macam kreativitas dilancarkan pelaku usaha kuliner, mulai memakai spanduk dan logo yang nyeleneh, berinovasi dengan menu, sampai melabur warung dengan warna mencolok. Variasi masakan mereka sejatinya juga menunjukkan kemajemukan yang bermuara pada keharmonisan.
Hanya terlihat sekitar 10 kursi kosong di Warpopski, siang itu. Kedai berkapasitas sekitar 40 pengunjung di Tebet, Jakarta, itu ramai dengan pengunjung yang mengantre dan hilir mudik mengambil pesanannya. Pembeli sabar menunggu dengan gawai yang dipinjamkan kasir.
Sesekali, terdengar lengkingan dari peranti yang berkedip tersebut saat pesanan konsumen sudah siap disantap. Gerah sedikit reda dengan nyanyian Payung Teduh, ”Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan”, dari pelantang dan spanduk yang dipasang di samping kedai itu.
Seraya bersantap, beberapa konsumen dengan acuh tak acuh mengamati bentangan kain tersebut. Tulisan ”Hirosima hancur karena bom, warung hancur karena bon” tak urung juga bikin senyum mereka tersungging. Spanduk itu juga bergambar cumi-cumi, alpukat, es teh manis, dan soto.
Media dengan panjang sekitar 2,5 meter dan lebar 1,75 meter itu bertepikan garis hijau terang dengan gradasi kuning hingga oranye. Mirip spanduk warung tenda lamongan di pinggir jalan. Tak mengherankan sebenarnya jika mendapati pendiri Warpopski, Riyan Riyadi, juga menggeluti dunia mural.
”Di Indonesia, tuh, banyak banget identitas yang bisa diangkat. Malah, sengaja saya mainkan buat mewakili visual, tetapi bukan representasi masakan Warpopski,” ujar Popo, sapaannya. Ia memang menjadikan dapurnya sebagai arena bermain dengan medium visual.
Logo Warpopski dijadikan pula ajang Popo berkreativitas. Di sudut kedai itu, terlihat gambar pramusaji bertopi tengah menghidangkan sajian dengan uap mengepul. Siluet putih dengan paduan biru dan merah tersebut sontak mengingatkan pengunjung akan lambang liga bisbol Amerika Serikat yang kondang.
Di bawah logo itu tercantum stiker halal yang disandingkan terpisah dengan lembar lain bertuliskan mahal. Popo membebaskan persepsi konsumennya. ”Kalau pembeli menganggap Warpopski masakan tenda, sah-sah saja. Sudah enggak aneh, contohnya penjual masakan padang bukan dari Sumatera Barat,” katanya.
Dengan spanduk khas pesisiran, Popo malah mengandalkan sei sapi dalam menunya yang dikenal berasal dari Nusa Tenggara Timur. ”Saya lahir di Jakarta. Ibu dari Pandeglang (Banten). Bapak dari Bogor (Jawa Barat). Kadang, saya bikin menu padang, tetapi rasanya kayak jawa,” katanya sambil tertawa.
Popo yang beratraksi dengan penanda kuliner tak tanggung-tanggung dalam menembus batasan ruang untuk mengemukakan identitas kulinernya. Selama dua bulan sejak pertengahan Juni 2022, umpamanya, Warpopski dibuka di Kassel, Jerman, untuk meramaikan pameran seni rupa kontemporer Documenta.
Popo tak ketinggalan memboyong spanduk Warpopski dan memajangnya. Jadilah warung tenda itu, berikut kaleng kerupuk, kopi saset, sampai sampo ketengannya diserbu pengunjung. ”Cuma masak bareng seniman-seniman Indonesia. Bahan bakunya beli saja di toko Turki atau India. Toko Asia banyak,” katanya.

Pelayan mengambilkan lauk yang diminta pelanggan di warung tegal atau dikenal dengan warteg Mamoka Bahari di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (28/7/2022).
Sementara Ferric (39) pagi-pagi sudah menegaskan bahwa sei buatannya bukan asli Kupang. Ia mencantumkan informasi itu di media sosialnya. Pemilik Seidjiwa yang memulai usahanya pada tahun 2019 itu telah menyebarkan menu halalnya ke empat cabang di Jakarta.
”Memang, saya bukan dari NTT. Saya dari kecil di Jakarta. Kiatnya, bisa mempertahankan rasa yang cocok untuk konsumen,” katanya. Keberanian Ferric dengan klaimnya menunjukkan kepercayaan diri akan cita rasa santapan tersebut dan keluwesan mengeksplorasi penanda kuliner, selain terobosan menu Seidjiwa.
Sedikit keluar dari pakem, Ferric juga menyajikan brenebon atau sup kacang merah yang kerap disantap masyarakat Manado, sei tenderloin, dan sambal tiga rasa. ”Sambalnya matah, hijau, dan khas NTT. Biasanya, sei, kan, dinikmati dengan sambal luat,” ujarnya.
Apresiasi budaya
Dalam buku Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode, dan Matinya Makna karya Yasraf Amir Piliang terbitan Matahari, tahun 2012, dijelaskan, sebuah tanda, menurut Ferdinand de Saussure, terdiri dari penanda dan petanda. Penanda mengacu pada petanda yang selanjutnya mengacu pada referensi atau realitas.
Dalam pandangan Saussurean, makna adalah apa-apa yang ditandakan (petanda), yakni kandungan isi. Adapun Jean Baudrillard mengembangkan penanda simulasi. ”Coto makassar, misalnya, itu penanda. Petandanya, coto yang dari Makassar. Belum tentu orang Makassar yang bikin,” kata Kunto Adi Wibowo.
Dosen mata kuliah Budaya Populer Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran itu mengungkapkan makna yang lebih dalam dari orisinal atau tidaknya masakan tertentu. ”Kalau menyebar dan banyak yang menikmatinya, berarti inklusif. Diterima semua orang sekaligus bentuk apresiasi budaya,” ujarnya.

Aneka lauk pauk yang dapat dipilih di warung tegal atau dikenal dengan warteg Mamoka Bahari di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (28/7/2022). Setiap hari lebih dari dua puluh jenis lauk pauk disajikan.
Sayudi (49) yang kerap disapa Yudi Kharisma, pemilik waralaba Warung Tegal Kharisma Bahari, juga lentur dalam mengedepankan karakteristik usahanya. Ciri khas warteg di bawah waralaba itu adalah tulisan nama warung yang mencolok dan dipasang di kaca warung.
Ukuran hurufnya pun besar. Misalnya tulisan Kharisma Bahari, ia buat dalam warna merah dengan kombinasi hijau pupus dan kuning. Ketika ia mengembangkan waralaba warteg bernama Mamoka Bahari, jenama itu dicetak dengan warna oranye dikombinasikan hijau pupus dan kuning. Di dalam warung, warna meja dan bangku juga senada, oranye. Tampak kontras dengan alas meja yang serba putih sehingga memberi kesan bersih.
Pemilihan warna dan ukuran huruf bukan tanpa perhitungan. Belajar dari pengalamannya, nama warteg dengan huruf besar dan warna mencolok yang terang sangat memudahkan orang lewat untuk langsung tahu bahwa itu warteg. Kemudahan membaca tulisan jelas membuat orang yang naik kendaraan tak perlu mundur lagi untuk membaca tulisan di kaca warung.
Yudi membuka warteg pertamanya tahun 1998 di Cilandak, Jakarta. Warungnya laris hingga ia bisa membuka warteg Kharisma Bahari yang lain lalu membuat waralaba. Kini, ia mengelola lebih dari 1.000 warteg di Jakarta, Surabaya, dan Denpasar.
Kemajuan pesat usaha Yudi terutama berasal dari keberhasilannya mengubah citra warteg yang semula asal dibuat, terkesan gelap dan kumuh, menjadi warung terang, bersih, dan menunya banyak dengan harga tetap murah, atau dari Rp 8.000 sampai Rp 15.000 per porsi. Menu yang dijual di semua warung waralaba Yudi sama. Itulah yang membuat rata-rata warteg di bawah pengelolaan Yudi laris.
Salah satu warteg Mamoka Bahari yang berada di sebelah SMA Negeri 90 Jakarta Selatan, contohnya. Warteg berukuran cukup besar itu nyaris tak pernah sepi pembeli. Setiap hari, Wahab (36), pengelola warteg itu, menyediakan lebih dari 30 jenis menu lauk.

Riki, karyawan di rumah makan padang vegetarian Bundo Minang di kawasan Jelambar, Jakarta Barat, melayani pembelian daring, Rabu (27/7/2022). Bundo Minang menawarkan menu masakan khusus bagi vegetarian dengan bumbu khas Minang.
Toleransi
Upaya yang mirip juga dilakukan keluarga Puti Lenggogeni yang memulai bisnis waralaba Restoran Padang Sederhana Asli (SA) pada tahun 2005 di Bandung, Jabar.
Puti mengusung bendera Rajafa Group bersama tiga saudara kandung serta ayahnya sebagai pendiri sekaligus pemilik utama. Selain menu makanan standar, Restoran Padang Sederhana SA secara fisik punya ciri khas di bangunannya.
Setiap cabang dipastikan gedung atau bangunannya memiliki ornamen atap berarsitektur rumah gadang ciri khas budaya Minang. Ornamen berupa atap yang juga disebut gonjong itu biasanya ada di bagian depan bangunan restoran.
Restoran pertama dibuka di kawasan Pasteur, Bandung. Kini Rajafa Group sudah memiliki sebanyak 18 cabang Restoran Padang Sederhana SA, yang tersebar di beberapa kota, mulai dari Bandung, Jakarta, hingga Kota Padang.
”Positifnya, masakan padang, coto makassar, atau gudeg Yogyakarta yang bisa ditemukan di mana-mana juga membuktikan melting pot (kuali peleburan) telah terjadi,” kata Kunto. Lidah masyarakat yang cocok dengan beragam makanan mengindikasikan mereka pun akrab dengan budaya lain.
Jika masyarakat menyukai hidangan tertentu, mereka tentu akan respek terhadap kultur masyarakat yang memasaknya. Maka, toleransi bisa saja berawal dari lidah. ”Tak perlu terpaku dengan rendang benaran atau siapa yang bikin. Paling penting, pembauran atau peleburan yang berujung toleransi,” katanya.
Menu yang disajikan restoran-restoran ini telah melintas batas, bahkan melampaui kemampuan lidah dalam mengecap percampuran kultural yang tumbuh subur di Nusantara.