Memoles Citra Menu Biasa
Hidangan biasa ala ”streetfood” bisa disajikan secara mewah dengan menggunakan teknik atau bahan baku tertentu. Walau disajikan mewah, masakan tetap bisa memiliki cita rasa otentik.
Menikmati kuliner tak melulu sekadar makan enak untuk mengisi perut. Dalam dunia kuliner, masakan lezat hanyalah salah satu dari banyak faktor penentu kepuasan.
Teknik pengolahan serta penyajian suatu makanan sebetulnya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan jika seseorang ingin sukses di industri kuliner. Bahkan, menu makanan keseharian, hidangan tradisional, atau makanan di kaki lima (streetfood) bisa diolah sedemikian rupa dan dinaikkan kelasnya jika dirasa perlu.
Untuk itu, sejumlah cara bisa ditempuh termasuk jika ingin menyetarakan menu-menu makanan biasa tadi menjadi setingkat hidangan ala restoran besar atau hotel bintang lima. Caranya antara lain dengan menata penampilan hidangan secantik mungkin. Cara lainnya dengan menggunakan bahan baku yang kualitasnya lebih tinggi dari standar kebutuhan biasa, memvariasikan teknik pengolahan, dan penyajian makanan melebihi cara-cara konvensional atau yang biasa dilakukan.
Semua kiat dan langkah yang disebutkan tadi sebetulnya sudah biasa dilakukan para chef. Mereka sejak awal sudah dididik untuk menyajikan kuliner-kuliner terbaik bagi para pelanggan dan penikmat karya-karya hidangan mereka.
Dalam dua kali kesempatan memenuhi undangan berkuliner di dua tempat ternama pada Juni lalu, Kompas menyaksikan bagaimana hidangan Nusantara dan streetfood dikemas dalam citra kelas berbeda.
Pada acara undangan makan malam bertajuk ”Santap Malam Series Vol 02: Pepesan”, Restoran Kaum Jakarta pada akhir Juni, chef menyajikan kreasi menu terbaru serba dipepes. Di tangan sang chef, Rachmad Hidayat, olahan pepes dipresentasikan dengan beberapa kreasi minuman koktail racikan mixologist Pius Hadimore Ebang.
Memepes adalah salah satu dari teknik memasak khas tradisional Tanah Air. Memepes juga dikenal sebagai metode memasak tertua dalam tradisi kuliner di Nusantara. Dia setidaknya tercatat dalam sejumlah naskah kuno Tanah Air. Salah satunya naskah Bali kuno abad ke-9 hingga ke-11 Masehi. Selain itu, tercatat di naskah Sunda kuno ”Sanghyang Siksa Kandang Karesian” di abad ke-15 Masehi.
Teknik memepes sebetulnya terbilang sederhana. Berbagai jenis bahan baku makanan yang akan dimasak, biasanya berupa protein hewani maupun nabati, diracik dengan beragam rempah, bahan-bahan bumbu, serta tak lupa garam. Semua bahan dan bumbu tadi dibungkus daun pisang lalu dimasak dengan cara dikukus dalam uap panas.
Pada kesempatan makan malam itu, Restoran Kaum Jakarta menghidangkan sejumlah variasi menu pepes. Beberapa pepes disajikan mendampingi menu nasi tutug oncom yang khas Negeri Pasundan. Nasi tutug oncom sendiri sebetulnya berupa nasi putih yang diaduk bersama oncom yang sebelumnya dioseng bersama bumbu-bumbu seperti kunyit, bawang merah dan putih, serta cabai sesuai selera.
Untuk memaksimalkan cita rasa nasi tutug oncom, Rachmad menggunakan beras berkualitas jenis menthik susu. Nasi tutug oncom dalam kemasan daun pisang itu kemudian dipanaskan terlebih dulu di atas api langsung selama beberapa saat. Hal itu juga dilakukan sang chef pada semua menu pepes racikannya saat akan disajikan.
Lebih lanjut, Rachmad menyajikan sejumlah menu pepesan sebagai pendamping hidangan nasi tutug oncom, seperti tum daging, jarit nyai, dan dayang sumbi. Walau dimasak dengan teknik yang sama, setiap pepesan diketahui punya bahan baku dan bumbu berbeda.
Tum daging sendiri dikenal sebagai kuliner asal Pulau Dewata. Biasanya hidangan ini menggunakan daging babi tetapi juga bisa divariasikan menjadi daging sapi, ayam, atau ikan. Cara pengolahan dan penyajiannya hampir mirip dengan hidangan pepes ala Jawa Barat.
Pada resep tum dagingnya ini, Rachmad memilih daging sapi jenis wagyu berkualitas. Sang chef mengaku dirinya ingin memberi sentuhan lebih mewah bagi para penikmat hidangannya. Hal itu menjadi ciri khas Restoran Kaum yang berupaya mengeksplorasi beragam kuliner Nusantara dengan pendekatan lain.
”Saya sengaja pilih daging wagyu karena teksturnya lebih lembut dan berlemak. Setelah dicincang dan dibumbui daging wagyu dicampur irisan jantung pisang, yang sudah direbus sebelumnya. Keduanya dibumbui dan dibiarkan sejenak agar bumbu meresap, setelah itu baru semua bahan dibungkus daun pisang siap dipepes,” kata Rachmad.
Pada pepesan jarit nyai, Rachmad memakai daging belut, yang terlebih dulu disiangi dan dibuang bagian kulitnya. Daging belut yang telah dipotong-potong lalu dibumbui kuning dan tambahan minyak kelapa itu langsung dipepes.
Hasilnya daging belut terasa lebih berbumbu dan gurih dengan after taste sedikit manis dibandingkan jika menggunakan daging ikan tawar. Menurut Rachmad, hal itu terjadi lantaran sejak awal dirinya sengaja membuang bagian kulit belut. Bagian itu berisiko memicu rasa pahit jika secara tak sengaja terbakar saat pepes dipanaskan jelang disajikan.
Lebih lanjut Rachmad tak secara spesifik merinci soal adakah pakem tertentu yang harus dijaga ketika seorang chef akan berkreasi atas satu hidangan seperti pepes. Dia hanya menyebut pilihan daging sapi wagyu diambil untuk menyesuaikan dan mempertimbangkan kenyamanan para pelanggan yang datang ke restorannya.
”Daging sapi wagyu teksturnya lebih lembut dan bersari sehingga cocok untuk para pelanggan kami,” katanya.
Soal variasi bahan baku serta teknik pengolahan dan penyajian menurutnya sudah biasa dilakukan oleh chef mana pun. Namun, biasanya tetap ada beberapa hal yang tak bisa diubah seperti bahan baku bumbu dari satu masakan. Kalaupun akan divariasikan atau dikreasikan, hal itu sebatas cara atau teknik mengolahnya.
”Seperti yang saya lakukan, untuk bumbu kita tinggal memainkan teksturnya saja. Apa mau dibikin bertekstur kasar atau dibuat saus. Kalau saya memilih bumbu tetap diulek kasar secara tradisional. Kalau mau di-twist jadi seperti tampilan (menu) western yang lebih modern ya juga bisa. Yang bisa dimainkan kalau enggak bahan baku ya teknik (memasaknya). Sementara kalau soal bahan-bahan bumbu dia tidak bisa diubah-ubah,” ujarnya.
"Streetfood" Mewah
Selain Restoran Kaum Jakarta, pengalaman unik berkuliner lain ditawarkan Hotel The Hermitage Jakarta. Sejumlah menu yang beberapa di antaranya terinspirasi hidangan-hidangan ala makanan jalanan di Indonesia, disajikan dengan sentuhan mewah ala restoran hotel bintang lima oleh Executive Chef The Hermitage Ferdian Tobing.
Pada acara makan malam khusus bersama sejumlah jurnalis, sang chef menyajikan beberapa jenis menu dalam porsi kecil yang tak hanya lezat tetapi juga unik. Beberapa di antaranya terinspirasi menu-menu seperti pecel lele, mi ayam jamur, semur betawi, dan nasi bebek.
Chef Ferdian mengolah dan meracik semuanya dengan teknik dan bahan baku spesial. Untuk semur Betawi, misalnya, sang chef menggunakan irisan wagyu cheek, yang dimasak selama 12 jam sehingga tekstur dagingnya menjadi sangat lembut.
”Kalau saus kuah semurnya biasa seperti semur daging sapi Betawi, menggunakan rempah-rempah seperti kayu manis, bawang putih dan meras, kecap kedelai, yang dimasak dalam kaldu dagingnya. Sebagai tambahan saya variasikan crispy foam dari bahan susu dan kecombrang,” ujar Ferdian.
Ferdian menyebut semua sajian kreasi olahannya kali ini terinspirasi makanan dan jajanan pinggir jalan yang disajikan dengan pendekatan fine dining. Menurut dia, Indonesia kaya dengan beragam kuliner mulai dari jenis streetfood hingga menu-menu warisan (heritage) atau tradisional.
”Dari situ tinggal bagaimana kita bisa mempresentasikannya dengan baik dan berbeda sambil dia tetap memiliki yang namanya kebanggaan lokal,” kata sang chef.
Teknik memasak dan cara penyajian tak kalah unik diterapkan Ferdian pada menu mi ayam jamur. Selain menggunakan bahan baku premium seperti jamur black truffle yang mahal, sang chef juga mengolah kuah dari campuran ayam dan jamur berbumbu dengan pendekatan unik.
Pada hidangan biasa mi rebus disajikan dengan siraman olahan daging ayam dipotong dadu, yang dimasak bersama jamur dan kuah berbumbu. Namun, oleh sang chef kuah siraman daging ayam dan jamur berbumbu tadi diubah menjadi berupa foam. Walau disajikan tanpa kuah atau siraman daging ayam jamur berbumbu, cita rasa sajian kreasi Ferdian ini tetap orisinal layaknya mi ayam streetfood biasa.
Pendekatan cara pengolahan dan penyajian di luar kebiasaan juga dilakukan sang chef pada menu nasi bebek. Alih-alih menggunakan nasi dari beras konvensional sang chef memilih beras shirataki. Irisan daging bagian dada bebek juga disajikan bersama sambel ijo, yang dibentuk berupa pasta (paste).