Bahagiaku
Saya belajar bahwa bahagia itu bukan soal pertemuan semata, bukan soal karena tidak terpisahkan, melainkan juga akhir sebuah cerita. Sebab, di akhir sebuah cerita, tetap akan ada rasa bahagia.
Kalau saya bertanya di manakah letak kebahagiaan Anda, apakah yang akan menjadi jawaban Anda? Apakah ia terletak di luar Anda atau sebaliknya ada di dalam Anda? Kalau itu di luar, apakah ia ada dalam bentuk sebuah karya orang lain atau ciptaan Anda sendiri? Bagaimana kalau itu diambil dari Anda dan ia tak bisa kembali lagi?
Akhir
Apakah kemudian bahagia Anda terletak pada kenangan yang bisa Anda hadirkan setiap saat Anda merindukannya? Apakah bahagia Anda itu adalah menerima kehilangan dan kemudian menemukan kebahagiaan lain yang baru sehingga Anda tak akan pernah terjerat dalam pertanyaan semacam pertanyaan yang saya ajukan di atas? Dengan kata lain, letak kebahagiaan itu tidak pada kemelekatan. Begitukah?
Mengapa saya bertanya sebawel itu di awal bacaan ini? Sebetulnya saya tidak bawel, hanya saya ingin tahu saja. Yaa… gitu, saya ini orangnya, kalau mau tahu aja itu, panjang bertanyanya. Setiap kali terlalu detail. Saya ini tak punya kemampuan memancing sehingga orang lain mengeluarkan pendapatnya. Mungkin karena saya ingin orang itu tidak bingung kalau pakai pendekatan pancingan. Jadi, mereka dapat mengerti benar apa yang ingin ditanyakan. Namun, pengalaman saya malah mereka tak jadi menjawab.
Beberapa waktu lalu, saya mengumumkan kalau acara ngobrol ngalor ngidul setiap hari Minggu di akun media sosial saya, saya hentikan untuk waktu yang tidak ditentukan. Tak lama setelah pengumuman itu diunggah, masuklah beberapa pesan yang saya terima. Tentu, pesannya sudah dapat diduga isinya.
Ya… benar. Mereka bertanya mengapa sampai acara yang nyaris dua tahun itu dihentikan. Namun, yang menginspirasi saya untuk menulis kali ini adalah bukan pertanyaan mengapanya itu, tetapi mereka merasa Minggu malam mereka menjadi tak seramai biasanya. Sepi, sedih, yahhh… adalah beberapa komentar yang mereka sampaikan.
Setelah membaca satu per satu, saya hanya membalas dengan emoticon, beberapa malah tak saya jawab. Bukan karena saya tak mau menjawab, tetapi dalam hidup ini akhir sebuah cerita itu akan selalu menjadi bagian yang tak bisa dihindari dari sebuah keputusan untuk mengawali sesuatu. Suka atau tidak suka.
Awal
Kemudian saya teringat akan sitcom Friends yang saya tonton di masa muda dahulu. Sampai suatu hari semuanya harus berakhir. Saya juga merasa kehilangan. Saya juga merasakan sore hari saya tak sekocak dulu lagi. Acara penuh gelak tawa yang juga mendatangkan keterikatan emosional yang sangat kuat, yang seolah-olah telah menjadi bagian hidup saya.
Saya seperti telah mengenal mereka. Episode-episode yang disuguhkan merupakan episode yang mengerti tentang apa yang terjadi pada masa remaja saya sehingga mereka seperti teman dekat yang bisa saya datangi setiap sore di hari tertentu. Dan, ketika itu harus berakhir, rasanya seperti sedih dan sepi. Seperti ditinggal sahabat sejati.
Maka, saya sungguh mengerti perasaan mereka yang telah setia menyaksikan acara ngobrol saya setiap hari Minggu itu. Namun, pada saat yang bersamaan, saya belajar sesuatu bahwa saya tak dapat menggantungkan rasa bahagia saya kepada orang lain atau kepada sesuatu, baik barang maupun sebuah acara. Saya merasa bahagia pada saat episode itu berlangsung, dan biarlah saya juga belajar bahagia untuk melepaskan kala itu berakhir tanpa harus bertanya mengapa.
Saya belajar bahwa bahagia itu bukan soal pertemuan semata, bukan soal karena tidak terpisahkan, melainkan juga akhir sebuah cerita. Sebab, di akhir sebuah cerita, tetap akan ada rasa bahagia. Maka, Anda dan saya tahu tentang sebutan happy ending, bukan? Jadi, happy ending sangat bergantung bagaimana saya mengelola perasaan bahagia saya, bukan soal cerita yang punya akhir bahagia semata.
Semua itu juga mengingatkan saya saat kehilangan ibu. Saya marah kepada Sang Kuasa. Kemarahan itu dipicu bukan semata-mata soal seorang ibu yang meninggal dunia, melainkan juga kemarahan karena kebahagiaan yang saya gantungkan ke orang lain itu direnggut.
Saya merasa ibu adalah sumber bahagia saya. Dan, ketika sumber itu dihilangkan dan tak dapat kembali lagi, saya percaya Anda bisa membayangkannya, terutama mereka yang pernah mengalami hal serupa.
Ternyata setelah saya menjadi setua ini, sampai saya perlu setua ini untuk akhirnya dapat mengerti dan menemukan bahwa sumber kebahagiaan itu ada di dalam saya. Dan, kebahagiaan itu yang saya pantulkan ke ibu saya. Demikian pula ibu memiliki sumber bahagianya sendiri yang dipantulkan kepada saya, tetapi keduanya memiliki kebahagiaan dalam dirinya masing-masing, dan bukan yang satu mengambil penuh kebahagiaan yang lainnya. Saya hanya mau berkata, semakin dini seseorang dapat menemukan bahagianya, semakin cepat ia melepaskan kemelekatannya itu. Itulah awal bahagianya yang sejati.