Pria Amerika Latin itu membenamkan wajahnya ke atas meja. Tubuh tinggi tegapnya terguncang tangisan. Di seberang meja, istrinya menitikkan air mata. Saya, mantan kawan sekelas yang kebetulan berkunjung, hanya bisa mengusap punggungnya sambil menggumam.
Pagi itu ia menerima kabar bahwa tuntutannya atas pelecehan seksual dari pemuka agama semasa kecilnya, akhirnya berbuah hasil. Institusi agama di negaranya resmi meminta maaf kepada puluhan korban termasuk dirinya, lalu akan memproses hukum pelaku. Perjuangan penuntutan yang pelik dan berliku, terutama karena agamanya adalah mayoritas di sana, menyayat luka baru di atas luka lama jiwanya. Pendidikan tinggi, karier sebagai ekspat dan istri cantik gagal menghapus traumanya. Malam itu, bahkan setelah tuntutannya dikabulkan, ia tak sanggup merayakan. Alih-alih, ia kembali menjadi bocah polos yang dicederai sosok yang seharusnya melindunginya—terduduk meratap sambil menyembunyikan wajah.
Sayangnya, ini bukan kisah unik. Spotlight, Bombshell, Untouchable, Surviving R Kelly dan Jeffrey Epstein: Filthy Rich adalah sederetan film yang membeberkan pengusaha, penghibur dan pastor yang memakai kekuasaan untuk memangsa anak-anak atau perempuan. Dalam tiap tayangan, jajaran korban ditampilkan. Ada yang hidupnya terlihat baik seperti kawan saya, ada yang tidak—tapi satu kesamaan, semua menyandang trauma berkepanjangan. Pelakunya sudah dipenjara atau tewas, pembela pelaku sudah lupa pernah berkoar-koar, korbannya masih menderita.
Kisah kekerasan seksual, termasuk di Indonesia, memakan korban lintas usia, gender, ras dan agama. Sayangnya, reaksi publik juga tidak unik—korban dicecar busana dan moralnya, diberangus demi melindungi reputasi pihak lain. Walau bangsa ini mudah bersimpati pada korban perampokan, PHK, perampasan tanah atau penipuan investasi, kita teramat berhitung nurani pada korban kekerasan seksual.
Sebagai putra altar dulu kawan saya berseragam sopan sesuai peraturan gereja, sama dengan santriwati di Bandung, Tasikmalaya, Jombang, dan Ogan Komering Ulu yang diperkosa pengasuh pesantrennya. Namun, pakaian perempuan masih wacana utama sampai Universitas Lampung mengharuskan mahasiswi berbusana panjang saat konsultasi, bukannya melarang dosen menggerayangi tubuh mahasiswinya karena berkuasa menentukan nilai skripsi.
Persoalan berakar pada niat pelaku untuk merampas dan kuasa yang dimilikinya, bukan baju atau perilaku korban. Dengan melecehkan atau memerkosa, pelaku buktikan bahwa ia berkuasa atas korban. Terlepas ada betis tersingkap atau tidak, sejatinya Tunggul Ametung dan Ken Arok yang gagal menahan hasrat memiliki Ken Dedes dan berkuasa mewujudkannya, bukan Ken Dedes yang mengajukan diri sebagai obyek kericuhan. Santriwati, murid SD, mahasiswi bimbingan skripsi, kawan lama saya, penyiar Fox News, bintang Hollywood atau Ken Dedes, tak memegang kuasa setara pelecehnya. Emoh dirampas kemerdekaan tubuhnya maka konsekuensinya nilai jelek, gagal lulus, mandek karier, diragukan kesalehannya atau diculik dan dikawin paksa. Ini bukan soal syahwat, ini soal pemanfaatan kuasa tak seimbang.
Apa semua pemegang kuasa melakukan kekerasan seksual? Tidak, kalau mereka bukan manusia sampah. Tapi struktur hukum perlu dibentuk untuk memagari potensi kriminalitas dan menindak yang bejat. Warga yang rentan perlu dibekali ilmu agar sadar hak atas tubuhnya.
Saat ini, bila korban melapor, selain dihakimi balik secara sosial, prosesnya pun kerap mentah saat pelaku kekerasan ternaungi institusi atau simbol tertentu. Tiba-tiba, derita korban menjadi prioritas kesekian setelah reputasi lembaga dan simbol tersebut. Pada kasus Cilacap, pelaku pernah mencabuli murid di SD lain, tetapi diselamatkan ”perdamaian kekeluargaan” yang dimakelari sekolah. Murid pesantren di Jombang melawan aparat yang hendak menciduk pemimpin pesantren atas tuduhan pelecehan seksual. Mahasiswi di Palembang yang mengadukan nasib dihalangi ikut yudisium. Baiq Nuril yang membeberkan pelecehan oleh atasannya dituntut balik melalui UU ITE. Novia di Mojokerto harus bunuh-diri dulu di pusara ayahnya sebelum dipedulikan.
Hampir semua korban kekerasan seksual yang terungkap akhir-akhir ini sudah berusaha melapor ke otorita terkait, namun diacuhkan; baru diproses setelah meledak di media sosial, seolah otorita lebih takut dicerca di media ketimbang menuntut keadilan bagi korban. MUI Bandung yang minta kasus perkosaan di pesantren tak dipublikasikan demi melindungi citra pesantren adalah contoh gemilang kegagalan otorita melihat akar masalah dan perusak sesungguhnya. Bahkan saat aparat menanggapi laporan asusila dan berusaha menahan pemimpin pesantren di Jombang, sekelompok santrinya malah menghalangi. Sungguh gila sudah.
Bertahun-tahun RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual gagal disahkan dan tahun ini Permendikbud No 30 juga diributkan, semata paranoia bahwa manusia yang kenal konsep consent (persetujuan) atas tubuhnya akan mengobral raga, padahal konsep itu dimaksudkan mengajari manusia agar paham dan bisa mengartikulasikan siapa yang tidak berhak menyentuh dirinya. Perdebatannya ramai dikompori selera moral pribadi dan politik praktis, bukan dimotori keamanan publik. Mereka lupa bahwa selera moral dan jargon politik bukan pagar universal untuk semua korban, apalagi kerangka hukum untuk pelaku kriminal. Pembela pelaku yang gemar mengajukan analogi hewan lupa bahwa semua ajaran agama menekankan bahwa akal manusia membedakan derajatnya dengan hewan.
Tuntutan kebiri kimia dan hukuman mati terhadap Herry Wirawan memang tegas, tapi baru terjadi setelah geger senegara karena ada 13 korban belia. Bagaimana untuk kasus tanpa tekanan publik?
Dan saat semua keributan remeh ini berjalan, statistika kekerasan seksual terus meningkat, meninggalkan korban-korban baru yang akan memanggul trauma seumur hidup mereka. Pada zaman serba digital ini, kapasitas kolektif nurani kita memang mungkin baru sampai sini.
Jakarta, 15 Desember 2021
Lynda Ibrahim
konsultan bisnis dan penulis