Yang Beku, Sehat, dan Membangkitkan Nostalgia
Pandemi memaksa pelaku bisnis makanan dan minuman, mulai dari skala kaki lima sampai restoran kelas hotel bintang lima, menyesuaikan diri dan berubah.
Dua tahun terakhir pandemi Covid-19 telah mengubah lanskap dunia kuliner Tanah Air menjadi jauh lebih menantang. Bukan hanya dari sisi bisnis dan industri, melainkan juga dari perilaku serta bagaimana orang menikmati makanan kegemaran mereka.
Pandemi memaksa pelaku bisnis makanan dan minuman, mulai dari skala kaki lima sampai restoran kelas hotel bintang lima, menyesuaikan diri dan berubah. Beradaptasi atau mati, begitu kira-kira pilihan pahit yang ada. Walau harus ”berdarah-darah” pada awal pandemi, kalangan pebisnis kuliner belakangan mulai bisa beradaptasi.
Sejumlah inovasi serta penyesuaian mereka lakukan agar bisa bertahan. Salah satunya dengan memasarkan produk kuliner lewat berbagai aplikasi daring. Pilihan ini logis untuk dilakukan mengingat banyak mal, pusat perbelanjaan, restoran, dan warung makan sempat tutup menyusul kebijakan pembatasan oleh pemerintah demi mencegah perluasan Covid-19. Kalaupun buka, kapasitas dibatasi.
Seiring dengan meningkatnya jumlah warga yang telah divaksinasi, pemerintah memang menerapkan mekanisme ”gas-rem” sesuai dengan situasi pandemi. Dengan begitu, pasar dan para pelaku bisnis kuliner mulai belajar beradaptasi dan berinovasi pada dua macam pelayanan.
Salah satu inovasi yang juga sempat berkembang pada awal masa pandemi dan diterapkan para pelaku usaha kuliner ialah teknik membekukan makanan (frozen food). Konsumen bisa memesan makanan beku untuk dinikmati kemudian setelah diolah kembali di rumah.
Selain berdampak positif pada para pengusaha kuliner, bisnis makanan beku mendongkrak jasa penitipan makanan dari dan menuju Jakarta. Gairahnya bahkan menyebar sampai ke banyak daerah. Orang di Jakarta, misalnya, dapat menikmati masakan kegemaran dari kampung halamannya ataupun daerah lain.
Terbentur regulasi
Sayangnya, walau sempat disambut baik, kehadiran inovasi makanan beku terkendala penerapan regulasi. Kebijakan yang ada dinilai sejumlah kalangan masih belum mampu mendukung, terutama bagi kalangan pengusaha kuliner berskala usaha mikro. Walhasil, hanya sebagian kecil kalangan pengusaha kuliner yang berani melanjutkan.
Isu itu termasuk yang juga disinggung dalam perbincangan daring webinar Road to Weekend Festival yang digelar oleh harian Kompas pada Rabu (22/12/2021). Hadir sebagai pembicara Chef Ragil Imam Wibowo, pengelola NUSA Indonesian Gastronomy, dan praktisi kuliner Santhi Serad.
”Waktu tren (makanan beku) mulai berjalan, kita restoran udah ancang-ancang bikin. Kita berpikir orang-orang di rumah mau masak sendiri, kita siapin. Lagi asyik-asyiknya menemukan cara berjualan baru dengan jumlah yang mulai growing, tiba-tiba ada masalah soal izin BPOM. Kita enggak siap. Jadi, ngeri juga karena dendanya besar,” ungkap Chef Ragil.
Pengelola RamuRasa, Santhi Serad, menyayangkan kondisi seperti itu. Padahal, menurut dia, keberadaan makanan beku awalnya sudah lumayan menjadi ”penyelamat” bagi pengusaha kuliner, mulai dari usaha mikro hingga restoran besar.
”Jadi, peraturan itu yang seharusnya dibuat lebih responsif. Indonesia, kan, justru selama ini terbantu perekonomiannya oleh keberadaan pengusaha UMKM. Kasihan juga kalau usaha mikro dibebani biaya perizinan. Apalagi sekarang, kan, semua serba online,” ujar Santhi.
Saat dihubungi pada waktu dan tempat terpisah, Co-founder Museum Boga Gupta Sitorus, Kamis (30/12/2021), berpendapat, pengaturan soal makanan beku mesti dibuat lebih ramah. Makanan beku memang harus diatur lantaran prosesnya memerlukan kompetensi demi keamanan serta keselamatan makanan (food security), khususnya bagi calon konsumen.
”Baiknya pemerintah, baik pusat maupun daerah, bisa membuat koridor regulasi yang ramah buat para pebisnis kuliner. Sekaligus juga kebijakan yang mampu memberikan kenyamanan serta keamanan bagi pihak pelanggan (konsumen),” ujar Gupta.
Dengan regulasi yang jelas, ramah, serta nyaman tersebut pastinya para pebisnis akan menyambut baik dan menyesuaikan dengan kebutuhan. Mereka, menurut Gupta, mulai dari pihak distributor hingga pemasok bakal langsung menyediakan peralatan serta perlengkapan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan dan aturan tersebut.
Gupta lebih lanjut memperkirakan tren makanan beku masih akan berlanjut pada 2022. Selain karena pandemi masih menjadi ancaman, kehadiran makanan beku semakin diperlukan karena praktis. ”Orang masih banyak yang akan bekerja dari rumah. Oleh karena setiap orang punya naluri ingin mengamankan diri beserta keluarganya. Mereka merasa perlu jika punya stok makanan untuk disimpan di rumah. Makanan-makanan beku masih akan menjadi bagian kehidupan kita tahun depan,” ujar Gupta.
Kesehatan dan nostalgia
Pandemi membuat orang makin sadar tentang pentingnya hidup sehat dan punya imunitas tinggi. Makanan yang dikonsumsi diupayakan bisa berkontribusi untuk itu.
Gupta meyakini tren makanan sehat masih akan terus berlanjut pada 2022. Makanan sehat di sini bisa diterjemahkan menjadi apa saja, mulai makanan berbasis tanaman (plant based) yang kini tengah dan semakin naik daun, maupun makanan atau minuman yang memasukkan bahan rempah-rempah (spices).
Orang masih ingat ketika di awal pandemi Presiden Joko Widodo mempromosikan minum empon-empon. Minuman tradisional khas, yang terbuat dari beragam jenis rempah-rempah yang mudah ditemukan di dalam negeri. Empon-empon diyakini mampu meningkatkan imunitas tubuh.
Sementara itu Santhi Serad menyoroti semakin tingginya minat orang terhadap minuman berempah dan berfermentasi seperti kefir dan kombucha. Dia yakin minuman berempah dan fermentasi bakal mengalami booming.
Pandemi sedikit banyak telah mengubah preferensi konsumen menjadi lebih perhatian pada higienitas makanan dan bahannya. Menurut Chef Ragil, banyak konsumen mulai mencari bahan-bahan organik atau produk-produk hidroponik.
Terkait makanan berbasis tanaman, Santhi Serad melihat ke depan orang cenderung semakin mengurangi atau membatasi jenis daging yang dikonsumsi. Beberapa jenis daging, seperti daging ayam kampung dan grassmeat alias daging dari sapi yang hanya diberi makan rumput, akan semakin dicari.
”Indonesia memang gudangnya plant based, banyak sekali yang bisa dipakai. Kayak (buah) nangka muda, sekarang semua orang di dunia nyari. Sayangnya nggak bisa ditangkep sama petani kita. Nangka muda jadi makanan plant based karena teksturnya memang paling mirip sama daging,” tambah Ragil.
Tak hanya terkait bahan, makanan sehat juga berhubungan dengan cara memasak. Makanan yang dimasak segar akan jauh lebih sehat ketimbang masakan seperti cepat saji.
Orang Indonesia sendiri sebetulnya masih banyak yang memasak dan makan sendiri di rumah. Hal itu dinilai Chef Ragil sebagai kebiasaan baik lantaran apa yang dikonsumsi adalah masakan atau makanan segar dan jauh lebih sehat ketimbang makanan cepat saji.
Di luar itu, kuliner-kuliner yang bersifat membangkitkan nostalgia dinilai juga bakal semakin diminati. Secara psikologis makanan dan pengalaman makan masakan yang dibalut nostalgia, membuat orang senang dan merasa tenang. Hal seperti itu sangat dibutuhkan terutama di masa pandemi ketika orang semakin terbatas ruang geraknya dan harus puas terkoneksi secara digital dengan orang lain.
Baca juga: Ahai... Anggur dan Keju Bali
”Nah, ketika hubungan antarmanusia jadi semakin jauh, ada tendensi orang kemudian mencoba untuk mencari sesuatu yang bisa kembali mengingatkan dia pada jati dirinya.... Lalu mencoba mencari tahu, who am I? Siapa sih gue? Siapa keluarga gue? Semua itu lalu terjawab salah satunya bisa lewat makanan,” ujarnya.
Orang menurut Gupta sangat mungkin untuk bisa mendapatkan kenyamanan dari makanan yang dia makan. Saat makan seseorang bisa kembali mengingat masa lalunya seperti saat dia mengingat masakan buatan ibu atau neneknya ketika masih kecil. Makanan nostalgia macam itu lah yang bisa menjadi pelarian di tengah tekanan bertubi-tubi dialami seseorang di masa pandemi.