Ahai... Anggur dan Keju Bali
Tidak perlu jauh-jauh membeli ”wine” dan keju ke luar negeri. Di Bali, kita bisa membeli ”wine” dan keju lokal yang kualitasnya diakui.
Beragam sajian yang identik dengan produk Barat tak lagi disemarakkan dengan jenama-jenama asing. Produsen wine dalam negeri, umpamanya, meracik minuman berkualitas yang dilegalkan dengan aneka penghargaan. Demikian pula penghasil keju yang bermunculan di sejumlah kota. Santapan yang dihidangkan memang lokal, tetapi peminatnya ahai... membeludak.
Di The Cellardoor, Denpasar, Bali, 39 peserta menggunakan paduan atau pairing keju seraya menyesap anggur. Setiap sudut, tak ada dalam efisiensi jarak demi memaksimalkan kenyamanan dan protokol kesehatan tetap jadi pilihan terbaik.
”Semula, pairing disediakan untuk 25 pengunjung. Ternyata, peminatnya jauh lebih banyak,” kata Ida Bagus Rai Budarsa. Ia yang tak lain adalah pendiri dan CEO Hatten Wines tak lantas bertopang dagu. Bersama tamu-tamunya, mereka berbincang dengan akrab. ”Malah, saking banyaknya yang pengin ikut, pairing mau diadakan lagi. Tanggalnya masih dipastikan,” kata Rai, Selasa (23/11/2021).
Pramusaji hilir mudik menghidangkan enam anggur Hatten Wines dan lima keju Bali Dairy. Semua buatan dalam negeri. Kelezatan sajian tersebut tak hanya diakui konsumen lokal. Separuh dari kapasitas private dining room itu diisi warga mancanegara. Mereka mengamati tampilan anggur dan bersulang dengan senyum tersungging seusai mencecap minumannya.
Penghargaan global
Hatten Wines telah memboyong banyak penghargaan global. Produsen anggur pertama di Indonesia itu, contohnya, menggondol double gold saat China Wine & Spirits Awards di Hong Kong tahun 2014 lewat Pino de Bali. Varian lain, Sparkling Jepun, merebut medali emas pada Asian Wine Review 2017 yang diselenggarakan The Flying Winemaker. Pencapaian Hatten Wines yang berdiri tahun 1993 dengan asal-usul pembuatan brem dan arak sejak 1968 tersebut menjelma dalam bangunan megah.
Selain menikmati minuman dipadu keju, cokelat, hingga nasi goreng, Rai berkali-kali menggelar edukasi mengenai anggur di gedung berlantai tiga itu. Seiring direguknya cita rasa wine bersama lumatan keju, luruh pula inferioritas akan kualitas yang dianggap tak sebanding dengan produk Eropa tersebut. Di sela perjamuan itu ikut dijelaskan mengenai Bali Dairy yang juga menghasilkan yoghurt, kefir, dan susu segar.
Rai tak menyangkal jika masih ada penikmat wine yang memandang produk Indonesia dengan sebelah mata. Seturut Hatten Wines yang gencar mengikutsertakan minumannya untuk meraih rekognisi, konsumsi wine nasional masih didominasi impor. ”Kalau kami menang, apresiasinya hanya ramai di kalangan terbatas. Banyak orang lokal maunya minum wine luar karena gengsi,” katanya.
Keunggulan Hatten Wines dibuktikan dengan pigura-pigura yang dipajang di kantor perkebunan di Buleleng, Bali. Sekitar 30 piagam di dinding hanya sebagian kecil dari penghargaaan internasional yang telah diraih. Di kebun itu dibudidayakan 10 varietas anggur. ”Tingginya mutu wine tentu dihasilkan dari buah yang bagus,” ujar Thomas Hadi Wibowo, Hatten Wines Vineyard Manager.
Buah berkualitas di kebun itu ditunjukkan dengan anggur yang tumbuh secara sistematis bermediakan kawat penyangga dan pagar. Tanaman disiram dengan tetesan yang dapat diatur. Pekerja, pikap, hingga traktor terlihat hilir mudik untuk menyemprot dan memupuk anggur. ”Saya datang dan mulai menggarap perkebunan tahun 1999. Bertahap, 12 hektar dulu,” ujar Bowo.
Sejak tahun 2003, petani setempat digandeng untuk turut berperan. Kini, luas perkebunan mencapai 50 hektar dan hampir semua pengelolaannya korporasi. “Saya banyak belajar dari Thailand dan China. Orang Australia, Jerman, dan Perancis yang datang heran di Indonesia ada kebun seperti ini,” ucapnya.
Buah kemudian diantar ke pabrik dengan tangki, barel, hingga laboratorium dan mesin-mesinnya di Denpasar. Produksi Hatten Wines yang awalnya sekitar 50.000 liter per tahun sudah mencapai 1,2 juta liter pada tahun 2019 dengan 27 jenis minuman.
Budaya keju
Keju-keju produksi Indonesia, terutama yang dibuat secara alami, pangsa pasarnya juga masih kalah jauh dibandingkan pabrikan dengan kategori olahan. ”Kalaupun punya kesadaran tentang kejuruan, kebanyakan kalangan menengah atas yang sudah paham,” ucap Jamie Najmi.
Pendiri dan pemilik Mazaraat Artisan Cheese itu tak memungkiri jika harga dan distribusi menjadi kendala. ”Waktu awal saya bikin keju, edukasi konsumen betul-betul dibutuhkan dan panjang,” katanya.
Mazaraat Artisan Cheese berdiri di Yogyakarta sejak tahun 2015 dan saat ini memproduksi sekitar 100 kilogram keju per hari. Keabsahan mengenai kemahiran Jamie ditunjukkan dengan sertifikat pembuat keju dari New Zealand Cheese School Limited, Putaruru, Waikato, Selandia Baru, tahun 2018. Pengakuan dunia itu disusul dari Anglophone Program, Academie Mons, Auvergne, Perancis, setahun kemudian.
Sebagian besar konsumen Jamie justru ekspatriat. Ia juga mengirimkan keju ke restoran, pasar swalayan, dan hotel berbintang di Jakarta hingga Bali. “Sejak pandemi, syukurlah konsumen lokal juga meningkat tajam. Mungkin karena masak di rumah. Orang Indonesia mulai mengapresiasi keju natural,” katanya.
Indonesia sering dikira tak punya budaya membuat keju. Tak seperti negara-negara Asia lainnya seperti India, China, bahkan Afganistan. “Sebetulnya, kita punya juga, seperti dali ni horbo di Sumatera Utara, dadih di Sumatera Barat, dan dangke di Sulawesi Selatan,” ujarnya.
Dali ni horbo, dadih, dan dangke punya kesamaan atau berbahan baku susu kerbau. Dangke bahkan mirip halloumi, keju yang lazim dikonsumsi di Turki, Yunani, dan Siprus. ”Kalau dibakar, sama-sama enggak meleleh,” kata Jamie.
Sementara Debryna Dewi yakin khazanah kuliner Indonesia yang belum banyak dilirik pelan-pelan akan menjadi akrab. Roti yang dibawa Belanda, misalnya, sudah menjadi akrab dengan masyarakat segala lapisan. ”Roti bukan budaya Indonesia. Kalau aku mendefinisikannya, roti itu sesimpel tepung, air, fermentasi, dan panas,” kata dokter yang juga penggiat kuliner itu.
Ia memaknai roti lebih dalam. Masyarakat umumnya menganggap roti dagangan di bakeri. ”Di Indonesia yang mendekati semacam itu, apem. Bahannya tepung dan air, difermentasi, lalu dipanggang. Tepungnya pun khas Indonesia atau beras,” katanya.
Apem juga bebas gluten yang sedang tren karena lebih sehat. Debryna pun menyebutkan bagea, kue lain dari elemen-elemen yang sama. “Lalu, di Indonesia Timur, pakai sagu. Aku kalau bikin roti juga dicampur biji-bijian seperti sorgum, beras hitam, dan jewawut supaya orang lebih tahu,” katanya.
Kevindra Soemantri memandang merek-merek anggur nasional marak mengemuka mulai tujuh tahun lalu. Bukan sekadar ikut-ikutan. “Harus disebarluaskan bahwa Indonesia bikin wine karena iklim, kemampuan, dan geografisnya memang bagus,” ucapnya.
Penulis buku-buku seperti Top Tables : A Food Traveler’s Companion, The Art of Restaurant Review, dan Jakarta Street Food itu juga mengamati keju dalam negeri yang belum disambut luas. Hingga 10 tahun terakhir, banyak penikmat keju belum percaya produsen lokal bisa mencetak produk bermutu. ”Kalau yang unik itu artisan, tetapi akses produknya masih terbatas,” ujarnya.
Produsen keju dan anggur harus lebih gencar berkolaborasi dengan restoran dan berpromosi bersama juru masak ternama, tak hanya di kota-kota besar. ”Di luar Jawa dan Bali pun perlu. Kalau konsisten, pelan-pelan mindset (pola pikir) akan terbangun,” katanya.
Selama ini, pemangku kepentingan acapkali mempromosikan rendang, nasi goreng, dan sate. Debryna sungguh antusias jika diajak mendiplomasikan apem. ”Biar orang melek kalau apem bisa dibikin keren. Aku bisa ngomongin berapa bakteri atau bakteri dalam fermentasi apem,” ucapnya.
Apem juga bebas gluten yang sedang tren karena lebih sehat. Debryna pun menyebutkan bagea, kue lain dari elemen-elemen yang sama. “Lalu, di Indonesia Timur, pakai sagu. Aku kalau bikin roti juga dicampur biji-bijian seperti sorgum, beras hitam, dan jewawut supaya orang lebih tahu,” katanya.
Kevindra Soemantri memandang merek-merek wine nasional marak mengemuka mulai tujuh tahun lalu. Bukan ikut-ikutan. ”Harus disebarluaskan bahwa Indonesia bikin wine karena iklim, kemampuan, dan geografisnya memang bagus,” ucapnya.
Di Bali saja, misalnya, ada merek-merek wine seperti Sababay Wine, Cape Discovery Wine, Baliwein Wine, Bellissimo Wine, Two Island Wine, dan Plaga Wine.
Penulis buku-buku seperti Top Tables : A Food Traveler's Companion, The Art of Restaurant Review, dan Jakarta Street Food itu juga mengamati keju dalam negeri yang belum disambut luas. Hingga 10 tahun terakhir, banyak penikmat keju tidak percaya produsen lokal bisa mencetak produk bermutu.
”Kalau yang unik itu artisan, tetapi akses produknya masih terbatas,” ujarnya.