Tren Gaya Hidup, Kembali ke Alam Menjadi Spirit 2022
Membaiknya situasi perekonomian pada 2021 pascaresesi 2020 akibat pandemi turut menciptakan tren baru dalam hal gaya hidup.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
Membaiknya situasi perekonomian pada 2021 pascaresesi 2020 akibat pandemi turut menciptakan tren baru dalam hal gaya hidup. Selain tren meningkatnya permintaan, aspek ”kembali ke alam” menjadi salah satu tren yang patut diperhatikan. Meski begitu, perilaku masyarakat dalam mengonsumsi produk atau jasa di bidang gaya hidup masih sangat dipengaruhi oleh faktor umum dan situasi sosial ekonomi.
Meningkatnya permintaan atas produk atau jasa di bidang gaya hidup ini tecermin dari hasil survei Litbang Kompas yang dilaksanakan akhir September hingga awal Oktober 2021. Survei menunjukkan, perbaikan ekonomi sepanjang tahun ini berpotensi memantik apa yang dinamakan dengan pent-up demand. Secara singkat, pent-up demand merupakan fenomena ketika terdapat kenaikan permintaan terhadap barang atau jasa secara tajam, yang sebelumnya mengalami kelesuan akibat tekanan ekonomi.
Fenomena ini terlihat dari meningkatnya keinginan masyarakat untuk menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk keperluan gaya hidup. Data menunjukkan bahwa terdapat sekitar 15 persen masyarakat yang mau menyisihkan sekitar 10 persen penghasilannya untuk keperluan jalan-jalan. Selanjutnya, sekitar 20 persen lainnya mengaku mau menyisihkan sepersepuluh dari gajinya untuk keperluan hobi. Angka-angka tersebut merupakan peningkatan dari periode survei beberapa bulan sebelumnya.
Selain meningkatnya minat untuk mengonsumsi produk atau jasa terkait dengan gaya hidup, muncul keinginan besar dari masyarakat untuk kembali terhubung dengan alam. Tren ini tecermin dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada pertengahan Desember ini, di mana wisata alam menjadi pilihan utama masyarakat dalam merencanakan liburan mereka.
Tren wisata ”kembali ke alam” ini dominan di semua golongan masyarakat. Jika dilihat berdasarkan situasi sosial ekonomi, tren ini tampak di semua kelas mulai dari kelas bawah, menengah, sampai atas. Di kelas sosial ekonomi bawah, minat wisata alam yang diminati oleh lebih dari 40 persen responden jauh meninggalkan jenis wisata lainnya. Sebagai perbandingan, wisata religi di posisi kedua diminati oleh sekitar 29 persen dari masyarakat saja.
Uniknya, tingkat permintaan wisata ini cenderung naik seiring dengan meningkatnya status sosial ekonomi. Di kelas menengah bawah, wisata ini diminati oleh 52 persen, berselisih 12 persen lebih banyak dibandingkan dengan minat kategori kelas bawah. Hal serupa terlihat di kelas menengah atas, di mana terdapat 51 persen responden di golongan ini mengaku berminat untuk berwisata alam di tahun depan.
Permintaan atas produk atau jasa wisata alam yang dominan ini terlihat paling kentara di golongan sosial ekonomi kelas atas. Setidaknya terdapat 60 persen dari golongan masyarakat ini yang berkeinginan untuk berwisata alam pada 2022. Minat ini jauh lebih tinggi daripada wisata kuliner dan wisata di dalam ruangan (menginap di luar kota bersama keluarga/staycation) dengan angka sebesar 8,8 persen serta wisata sejarah dengan minat sebesar 5,9 persen.
Diminatinya wisata alam ini tetap konsisten jika dilihat dari aspek generasi. Berbeda dengan status sosial ekonomi, seiring dengan semakin bertambahnya umur, semakin menurun pula keinginan masyarakat untuk berwisata alam. Di golongan muda atau generasi Z (<24 tahun), minat akan wisata alam ini menjadi yang paling tinggi di angka 83,3 persen.
Meskipun turun, minat akan wisata ini masih bisa dibilang tinggi di golongan usia generasi Y atau Milenial (24-39 tahun) dengan angka 54,4 persen. Di kedua generasi tersebut, keinginan untuk menikmati wisata alam sangat dominan jika dibandingkan dengan wisata lain, seperti wisata religi dengan minat sebesar 9,3 persen di golongan Gen Z dan 17,2 persen di golongan Milenial.
Di golongan umur Generasi X (40-55 Tahun) dan Generasi Baby Boomers-Silent Generation (>55 Tahun), tren serupa juga terlihat. Di kalangan Generasi X, wisata alam diminati oleh 45,8 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan minat wisata religi di posisi kedua (16,4 persen). Sedangkan di generasi paling tua, 34,2 persen mengaku berkeinginan untuk berwisata alam di tahun depan. Walau selisihnya tak sejauh di golongan umur lain, wisata ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan wisata religi di angka 24 persen.
Tren ”kembali ke alam” di Indonesia ini sebetulnya selaras dengan tren gaya hidup di tingkat global. Dalam beberapa tahun ini, krisis iklim dan upaya kolektif untuk mengatasinya menjadi isu yang ”seksi” dan meresap ke berbagai aspek kehidupan, termasuk gaya hidup. Salah satu contohnya dapat dilihat di fashionshow Balenciaga, Oktober lalu, yang dibuka oleh gaun dengan komposisi material paling dominan dari bahan daur ulang.
Di Indonesia, tren ini juga sudah mulai terbentuk selama beberapa tahun terakhir. Survei dari Food Ingredients (Fi) Global pada 2019 menunjukkan, 44 persen dari responden mengaku telah berupaya mencari tahu cara untuk hidup dengan cara yang lebih ramah lingkungan.
Hal ini kemudian ditunjukkan ke dalam perilaku, seperti memilih produk yang menjamin perlakuan adil bagi petani (30 persen), mengurangi konsumsi air (57 persen), dan mengurangi plastik (43 persen). Tentunya, kesadaran akan lingkungan ini sedikit banyak akan terkonversi menjadi perilaku konsumsi gaya hidup, seperti produk mode, kosmetik, makanan, dan wisata.
Kelas menengah dan atas
Secara umum responden memang belum menyiapkan dana untuk berwisata atau memenuhi kebutuhan utama pada tahun 2022 ini, hanya sepertiga responden yang menyatakan menyiapkannya. Sebagian mereka yang siap dengan anggara ini umumnya dari kelas menengah dan atas.
Dorongan permintaan konsumsi gaya hidup di tahun depan masih sangat ditentukan oleh golongan ekonomi. Di golongan sosial ekonomi atas, permintaan ini dapat dikatakan sangat tinggi. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa 57 persen dari responden di kelas sosial ekonomi tersebut sudah menyiapkan dana untuk keperluan gaya hidup, seperti berwisata. Angka ini terus menurun seiring dengan semakin rendahnya sosial ekonomi.
Di kelas sosial ekonomi menengah atas, 42 persen dari responden mengaku sudah menyiapkan dana untuk keperluan gaya hidup. Meskipun begitu, masih ada 32 persen lainnya yang belum menyiapkan karena memang belum ada rencana. Angka keinginan untuk menyisihkan sebagian uang untuk keperluan gaya hidup ini menurun sekitar 8 persen di golongan ekonomi menengah bawah.
Di kelas sosial ekonomi bawah, justru lebih banyak dari responden yang mengaku belum mengumpulkan anggaran untuk keperluan gaya hidup. Hal ini karena mereka masih kesulitan untuk menyisihkan dana di tengah tekanan ekonomi (38,6 persen). Sedangkan hanya 30,7 persen dari mereka yang mengaku telah menyiapkan anggaran untuk pengeluaran gaya hidup di tahun depan.
Timpangnya daya konsumsi ini menunjukkan bahwa para konsumen di golongan menengah hingga bawah kemungkinan besar akan sangat sensitif dengan harga. Bisa jadi tren produk-produk ramah lingkungan dan dekat dengan alam, yang sebelumnya tecermin dari konsumsi di produk wisata, tidak terjadi di produk lain jika ada margin harga yang signifikan. Hal ini juga terkonfirmasi dari data Fi Global yang menunjukkan bahwa 49 persen dari publik masih merasa bahwa harga produk ramah lingkungan cenderung lebih mahal. Tak ayal, harga yang mahal menjadi hambatan kedua tertinggi dalam memilih gaya hidup ramah lingkungan. (Rangga Eka Sakti/Litbang Kompas)