Selama dua tahun masa pandemi Covid-19, banyak perubahan yang terjadi di industri gaya hidup. Produsen dituntut adaptif pada situasi dan perubahan perilaku konsumen baru. Bagaimana tren industri gaya hidup tahun depan?
Oleh
Soelastri Soekirno dan Wisnu Dewabrata
·4 menit baca
Industri terkait dengan gaya hidup diprediksi akan mulai bergeliat pada 2022 seiring melandainya pandemi Covid-19. Tren ini diikuti menguatnya kesadaran konsumen untuk membeli produk dan jasa yang sehat dan ramah terhadap lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS — Gejala menguatnya konsumsi produk/jasa terkait dengan gaya hidup terpotret dalam survei Litbang Kompas. Pengeluaran konsumen yang melemah selama krisis pandemi diprediksi akan kembali menguat pada 2022. Peningkatan pengeluaran terutama dialokasikan untuk jalan-jalan (termasuk di dalamnya berwisata, nonton film, dan menikmati konser) serta membeli barang hobi.
Kenaikan konsumsi gaya hidup akan didorong oleh kelompok kelas sosial ekonomi atas. Jika berdasarkan usia, peningkatan konsumsi akan didominasi oleh kelompok generasi Z (kurang 24 tahun) dan kelompok Baby Boomers (lebih dari 60 tahun).
Secara umum ada tiga hal yang ingin segera dilakukan konsumen dalam waktu dekat, yakni ziarah keagamaan (47,1%), makan bersama (31,8%), dan renovasi rumah (36,3%). ”Akan ada semacam ’balas dendam’ dalam membelanjakan uang untuk menunjang gaya hidup. Ini terjadi dengan asumsi pandemi terkendali,” kata Rangga Eka Sakti, peneliti Litbang Kompas, dalam acara Road to Weekend Festival: Nature and Future yang digelar harian Kompas pada Rabu (22/12/2021), di Jakarta.
Acara ini juga menampilkan sejumlah pembicara yang aktif dalam industri gaya hidup, yakni Khairiyyah Sari, konsultan mode; Nonita Respati, Direktur Purana Indonesia; Chef Ragil Imam; Santhi Serad, pegiat kuliner; Affi Assegaf dan Jovi Adhiguna, pencinta dunia kecantikan; Astrid Ariani W, Head of Marketing Departement Hyundai Motors Indonesia; dan Intan Anggita Pratiwi, penggemar travelling.
Industri fashion, misalnya, tidak bisa lagi mendikte selera pasar. Pasar yang sekarang menentukan busana seperti apa yang mereka pilih dan butuhkan.
Meningkatnya pengeluaran untuk konsumsi akan memberi darah segar bagi pelaku industri gaya hidup. Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang harus dijawab. ”Industri fashion, misalnya, tidak bisa lagi mendikte selera pasar. Pasar yang sekarang menentukan busana seperti apa yang mereka pilih dan butuhkan,” ujar Nonita.
Saat ini, lanjut Nonita, konsumen, terutama kelas menengah dan atas, semakin kritis. Mereka menyukai produk mode yang menyuarakan isu-isu penting, seperti kelestarian lingkungan. ”Konsumen merasa bertanggung jawab terhadap lingkungan itu cool (keren),” katanya.
Khairiyyah Sari menambahkan, kesadaran bahwa fast fashion menghasilkan limbah yang besar membuat konsumen kelas menengah dan atas mulai menaruh perhatian pada produk mode yang berkelanjutan, yakni yang secara keseluruhan sehat bagi bumi, pekerja, dan lingkungan sosial. Masalahnya, harga produk mode berkelanjutan ini memang lebih mahal.
”Kita mesti mengedukasi konsumen soal keuntungan jangka panjang membeli produk ramah lingkungan,” katanya. Selain itu, konsumen juga perlu diberi kesadaran untuk membeli barang yang awet sehingga bisa dipakai lebih lama demi mengurangi limbah mode.
Secara desain, menurut Nonita dan Khairiyah, model busana belum akan beranjak jauh dari busana nyaman dengan siluet longgar seperti yang ”ngetren” selama pandemi. ”Tetapi, orang akan lebih dress up dalam berpakaian,” ujar Khairiyah.
Bumbu dasar
Pandemi Covid-19 juga memaksa para pelaku di industri makanan untuk segera beradaptasi dan melihat peluang yang tersisa agar bisa bertahan. Santhi Serad mengatakan, selama pandemi, pasar untuk olahan bumbu dasar siap racik dan makanan beku cukup terbuka.
”Akibat pandemi, banyak ibu bekerja dari rumah sekaligus memasak. Dari sini saya melihat peluang pasar besar, terutama kebutuhan bumbu tradisional,” ujar Santi.
Santi meyakini, pasar bumbu racikan tradisional khas masakan Indonesia di luar negeri juga terbuka. Syaratnya, produsen mampu membuat bumbu racikan tradisional dengan standar yang baik, termasuk pengemasan. Ini masih jadi persoalan besar.
”Saya melihat bumbu masakan seperti itu punya market, tapi kalau untuk yang ke luar negeri harus didukung kuat hulu ke hilirnya, semisal dukungan restoran-restoran dan bukan hanya pasar rumah tangga saja. Selain itu, perlu dukungan pemerintah,” ujarnya.
Menurut Chef Ragil, selama pandemi, penjualan secara daring bisa menyelamatkan bisnis kuliner. Meski begitu, penjualan secara daring tetap belum sebaik penjualan secara luring. Ia berharap pandemi segera berakhir sehingga konsumen akan datang lagi ke restoran.
Wisata dalam negeri
Astrid Ariani Wijana, Head of Marketing PT Hyundai Motors Indonesia, mengatakan, pihaknya melihat ada perubahan kebiasaan masyarakat dalam melakukan perjalanan selama pandemi ini.
”Ketika kita ketemu dengan konsumen, mereka bercerita banyak sekali perubahan yang mereka lakukan dengan mulai mengeksplorasi destinasi wisata di dalam negeri. Itu karena ada keterbatasan (selama pandemi) dan rasa ingin aman, akhirnya mereka memutuskan melakukan perjalanan dengan kendaraan mereka sendiri,” ujar Astrid, yang mengatakan tren ini masih akan berlangsung beberapa waktu ke depan.
Ia mengatakan, tren melakukan road trip menggunakan mobil listrik juga akan meningkat karena saat ini sudah mulai dibangun infrastruktur pengisian baterai mobil listrik di jalan-jalan tol jarak jauh.
Sementara itu, aktivis lingkungan dan pencinta jalan-jalan, Intan Anggita Pratiwie, mengatakan, kesadaran akan lingkungan juga akan meningkat di kalangan masyarakat yang ingin berwisata. Seperti dirinya dan keluarga meski tidak menggunakan mobil listrik, tetapi ia menerapkan perhitungan carbon offset. ”Jadi, jumlah karbon yang kami keluarkan akan dihitung, kemudian di-offset dengan menanam mangrove,” ujarnya. (BSW/DHF)