Berhenti Berbuat Baik
Saya juga bukan orang yang sangat mulia untuk memikirkan orang lain dalam memberi atau mengirim makanan. Saya bahkan termasuk yang sangat egois. Saya jarang sekali berpikir untuk mengirim makanan kepada teman-teman saya.
Sudah beberapa kali kejadian yang akan saya ceritakan di bawah ini, saya alami, dan puncaknya saya rasakan dua minggu lalu. Saya ini lahir sudah bodoh secara intelektual, terus leletnya setengah mati kalau sudah bicara soal kecepatan berpikir. Kalau istilah sekarang itu, loading-nya lama banget.
Egois
Tahun lalu kejadian ini terjadi. Jadi begini. Saya ini meski tidak gagah perkasa, saya cukup seorang gentleman kalau bicara soal ringan tangan dalam menawarkan tenaga saya untuk menolong.
Contohnya yang paling mudah saja, adalah saya selalu terbiasa untuk membukakan pintu mobil untuk siapa saja yang hendak masuk ke dalam mobil. Laki atau perempuan tak masalah. Saya membantu membuka dan menutupnya kembali. Itu sudah menjadi kebiasaan.
Tak hanya itu, meski saya ini juga kurus sekali, bahkan banyak orang yang merasa kasihan terhadap kondisi fisik saya, terutama belakangan ini yang semakin hari semakin seperti tengkorak berjalan, saya akan sebisa mungkin menolong orang untuk mengangkat barang-barang mereka, terutama kalau terlihat cukup berat.
Laki dan perempuan tak jadi masalah. Beberapa kali sejujurnya saya tak bisa mengangkat barang berat itu, tetapi saya mencoba pada awalnya untuk menawarkan jasa saya, meski gagal total untuk menolong.
Saya juga bukan orang yang sangat mulia untuk memikirkan orang lain dalam memberi atau mengirim makanan. Saya bahkan termasuk yang sangat egois. Saya jarang sekali berpikir untuk mengirimkan makanan kepada teman-teman saya. Tak seperti beberapa teman dan follower saya yang dengan rajin mengirimkan makanan.
Namun, satu hal yang selalu akan saya ingat adalah bukan soal makanannya, melainkan perhatian yang telah mereka tunjukkan. Apalagi mereka selalu berpikir karena saya ini hidup sendiri, jadi memberi makanan akan memudahkan saya untuk memenuhi jadwal makan dan meringankan kerepotan saya mengatur menu. Mereka benar-benar seperti malaikat untuk menyelamatkan perut saya.
Nah, dalam beberapa kali, saya melakukan hal yang sama yang seperti mereka lakukan. Saya berusaha untuk memikirkan orang lain ketika saya sedang menyantap makanan di sebuah rumah makan atau sedang membeli camilan.
Saya ingat makanan apa yang mereka sukai. Nah, pada suatu hari yang merupakan awal saya berhenti untuk berbuat baik itu adalah ketika saya berpikir untuk memberi kue-kue kering yang menurut saya enak buatan teman masa kecil saya dahulu.
Pesanan itu saya berikan kepada teman saya agar ia dapat merasakan kue yang menurut saya enak sekali dan sudah diakui beberapa orang yang memesan kue yang sama itu. Singkat cerita, kue itu telah diterima teman saya, dan beberapa minggu kemudian waktu saya mengunjunginya, saya melihat kue-kue kering itu tak disentuh sama sekali.
Nah, sebelum saya mengirimkan tulisan ini, saya kembali mengalami peristiwa penolakan itu. Saya bermaksud untuk membantu teman saya yang sedang mengangkat barang yang cukup berat dan saya pikir saya mampu untuk mengangkatnya. Dan ia menolak untuk saya bantu. Saya tak berpikir negatif atas penolakan itu. Sampai tulisan ini saya buat, saya masih berpikir bahwa ia menolak karena lebih iba melihat kondisi fisik saya.
Namun, setelah kejadian itu, dan ingatan saya kembali kepada peristiwa di atas dan beberapa peristiwa sebelumnya, saya telah memutuskan untuk tidak akan pernah lagi menawarkan jasa saya, baik tenaga maupun perhatian atau nasihat.
Seorang teman minggu lalu mengirimkan pesan untuk minta waktu saya bertemu. Ia menjelaskan bahwa ia sedang sangat membutuhkan pendapat saya mengenai masalah pelik yang sedang dihadapinya. Saya menyediakan waktu untuk pertemuan itu dan siap untuk mendengar curhatannya, dan setiba saya di pertemuan itu, ia dengan ringan mengatakan bahwa masalahnya sudah dapat ia selesaikan sendiri.
Saya itu saking bingungnya, apa perlunya ia sampai mengirimkan pesan pada pagi hari untuk mengingatkan saya agar tidak lupa hadir dalam pertemuan makan siang itu, kalau ia sendiri telah mampu menyelesaikannya?
Anehnya, saat saya sedang berpakaian untuk hadir di pertemuan itu, hati saya bersuara dengan jelas. ”Kamu diam saja, kamu tidak perlu memberikan nasihat apa pun, ia tak membutuhkan nasihatmu, ia hanya ingin curhat atas masalahnya.”
Saya dulu berpikir kalau saya membantu orang, dan orang menerima bantuan itu, saya akan mendapat berkat karenanya. Namun, sekarang saya belajar, di dunia ini ada orang-orang yang menutup berkat saya dengan menolak bantuan dan niat baik saya.
Ada orang-orang yang menjauhkan saya untuk tidak berbuat baik meski eksekusinya terlihat baik dan santun. ”Gak usah Kak, gak usah. Aku bisa kok ngangkat sendiri. Terima kasih Kak Sam.” Apakah saya menyesal karena tabungan berkat saya berkurang? Sama sekali tidak.
Karena berkat saya datang bukan karena saya berbuat baik, tetapi karena saya berani untuk berhenti membantu orang-orang yang menjauhkan saya dari berbuat baik.