Menyesap Kebersamaan yang Sempat Hilang
Meski restoran baru saja buka, sejumlah pengunjung sudah berdatangan. Meja-meja umumnya sudah dipesan. Ini fenomena baru setelah pandemi ketika pengelola restoran dan kafe mulai menata ruang menyesuaikan dengan prokes.
Interaksi sosial yang pernah terhalang dinding virtual, perlahan mulai runtuh. Inovasi mengalir untuk kembali menjalin ikatan yang sempat merenggang selama lebih dari satu tahun ini. Meski tertatih, semua berupaya berdamai dengan keadaan lewat aneka cara yang tetap berpegang pada rasa aman dan nyaman.
”Happy birthday to youuuuu...”
Seorang perempuan masuk ke area halaman belakang sebuah rumah yang sudah disulap menjadi tempat kongko nyaman dengan kursi-kursi rotan berbantal mengelilingi sebuah kolam renang. Lampu-lampu kecil dengan gurat kekuningan menjadi penerang halaman belakang yang beratapkan langit itu.
Perempuan itu membawa sebuah kue ulang tahun kecil dengan lilin di atasnya. Dua rekannya pun ikut bersorak bertepuk tangan. Seorang lagi menutup wajahnya tak menyangka diberi kejutan. Para pengunjung kafe yang jumlahnya tak mencapai 20 orang di ruang terbuka yang luasnya sekitar 200 meter persegi itu ikut mengalihkan pandang, bahkan penghuni meja yang letaknya berseberangan dengan para perempuan tadi ikut bernyanyi.
Suasana yang sudah lama tak dirasakan.
”Ya, udah mulai rame, tapi memang segini aja. Biasanya mereka datang dari sore atau habis maghrib. Karena lokasi outdoor kan, kalau siang masih agak panas. Sesekali dipakai photoshoot,” ujar Farnia Ramadhani (36), pemilik Koma Kami ketika dijumpai pada Kamis (7/10/2021).
Keputusan Nia, sapaan akrabnya, untuk mempertahankan cabang di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, ini tepat. Sebab pada pertengahan 2021. Nia terpaksa menutup gerainya di kawasan Bangka, Jakarta Selatan, yang berdiri pada 2019. Upayanya untuk beralih ke penjualan daring tak menutup sehingga Nia memilih melepaskannya.
Kondisi pada 2021 jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Bisnis kedai kopinya masih bergeliat walau tak bisa dibandingkan dengan masa sebelum pandemi. Bahkan, Koma yang berada di Gandaria sempat ikut nyaris tutup juga saat pemberlakuan PPKM darurat akibat merebaknya varian Delta. Ditambah lagi, investor yang semula bekerja sama memutuskan tidak lanjut.
Eh, sekitar dua minggu lagi mau bayar sewa, ada teman yang datang. Terus ngobrol dan tertarik jadi investor. Akhirnya jalan lagi dan rebranding jadi Koma Kami ini.
”Biaya sewa itu mau habis, Aku kepikiran apa jual mobil, ya, karena sayang banget spot ini dilepas. Apalagi liat banyak yang kirim DM minta dibuka lagi. Eh, sekitar dua minggu lagi mau bayar sewa, ada teman yang datang. Terus ngobrol dan tertarik jadi investor. Akhirnya, jalan lagi dan rebranding jadi Koma Kami ini. Orang, kan, tadinya hanya tahu nama tempatnya aja, Little Canggu. Koma dapat tempat di bagian outdoornya,” tutur Nia.
Kini, Koma Kami menempati semua bagian rumah berbagi dengan Kami Studio. Meski ambience tetap berkiblat ke Canggu dengan ornamen atap jerami di area terbukanya. Kemudian kolam renang dengan floatie yang menggemaskan yang jadi incaran foto. Hingga warna hijau pupus berpadu putih dan warna nude di bagian indoor dengan furnitur didominasi bangku rotan berbantal.
Bertepatan dengan perjalanan baru bersama Koma Kami, Nia yang kepikiran dengan nasib sejumlah karyawan lamanya, membuka resto baru Meethhaus di kawasan Andara, Jakarta Selatan. Tetap dengan kolam renang sebagai daya tariknya. ”Aku suka banget rumah ada kolam renangnya. Kalau yang ini beneran dibuka karena pandemi. Ruang terbuka jadi yang utama. Vibes-nya banyak yang bilang mirip Santorini karena dominan putih. Di sini kan Canggu,” ungkapnya.
Di lahan seluas 950 meter persegi itu, Meethhaus jadi jujugan para keluarga yang ingin mencari spot aman dan nyaman untuk membawa anak. Lokasi terbuka dan berjarak antartamu memang menjadi pertimbangan saat ini. ”Memang kopi yang jadi andalan di sini. Tapi, suasana juga penting. Itu salah satu trik juga karena kan kedai kopi banyak banget,” ujar Nia yang sedang memperkenalkan menu baru, yakni Mie Aceh resep keluarganya.
Tak sekadar kopi
Ada juga Kolepa, paduan antara kedai kopi dan lapangan mini golf 18 holes di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, yang dibuka justru di tengah situasi pandemi, tepatnya Juni 2021. Kolepa menempati areal bekas gudang seluas 1.000 meter persegi. Luas lapangan mini golfnya menghabiskan lebih dari separuh areal.
Meski sempat drop selama satu bulan karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat pada Juli 2021 lalu, pemilik Kolepa, Mulya Hareza (36) tetap optimistis. Dia yakin, selama mereka punya inovasi, pasti akan ada penghargaan yang setimpal dari sisi finansial meski urusan finansial, bukan semata-mata yang mereka kejar. Ada banyak hal lain, termasuk soal pembelajaran. ”Happiness buat kita juga value,” ujar Reza.
Seiring situasi yang mulai ’longgar’, pengunjung Kolepa pun terus bertambah. Akhir pekan menjadi saat yang paling ramai. Banyak pengunjung datang dari Bekasi, Kawarang, PIK, hingga Karawaci. Mayoritas pengunjung adalah keluarga, termasuk kakek dan nenek. Mereka menikmati bermain di tempat terbuka.
Pada Jumat (8/10/2021), terlihat banyak anak-anak usia Sekolah Dasar yang datang berkunjung bersama ibu mereka. Sementara para ibu asik mengobrol dan menikmati kudapan di teras terbuka, anak-anak itu dengan lincah bermain golf di area yang tersedia. Harga sewanya untuk satu kali gim di hari biasa, Rp 100.000.
”Awalnya kita bisnis konsultan desain, menganggap kalau ada pandemi gini, kita mungkin perlu ada workshop untuk kasih lihat klien project-project kita,” tutur Reza yang berinvestasi pertama Rp 1,5 miliar bersama para partnernya untuk membuka kedai.
Fenomena warga yang mulai menggemari olahraga luar ruang dan minat mencari lokasi luar ruang, membuat Reza dan para partnernya terpikir membesut fasilitas komersial yang mendatangkan pendapatan selain workshop. Salah satu partnernya Adellia Rescha (31), mulai melirik golf yang dibuat versi mini agar bisa dimainkan semua orang, termasuk anak.
”Mini golf dan coffee shop ini satu kesatuan. Bagi kami ini jadi satu konsep baru yang menyuguhkan experience baru. Enggak hanya main, kerja juga di sini. Yang kantor di Jakarta waktu PPKM longgar ngantor di sini, saat istirahat main golf,” imbuh Reza.
Meski banyak area outdoor, pengaturan tempat duduk tetap dibuat tidak berhadap-hadapan. Desainnya juga beradaptasi dengan pandemi. Selain itu, protokol kesehatan yang ketat dari kewajiban menggunakan masker, tempat cuci tangan, hand sanitizer, hingga penyemprotan disinfektan disedikan.
Kopitagram yang sudah membuka empat cabang di Cinere, Cibubur, Tomang, dan Gading Serpong juga menawarkan hal lain di luar kopi yang dijajakannya. ”Kami juga menjual suasana, walau kopi yang dibuat juga tetap harus berkualitas,” ungkap CEO Kopitagram Eunike Adelia.
Semula, Kopitagram yang berdiri pada 2018 menggunakan sistem waralaba untuk mengembangkan bisnisnya. Sudah ada 12 cabang di Jabodetabek yang akhirnya satu per satu berguguran karena pandemi. Eunike dan dua rekannya pun sepakat untuk tak membuka lagi sistem ini dan memilih mengelolanya sendiri.
”Cuma di Cibubur aja yang masih tetap jalan dari franchise (waralaba) karena lokasinya punya sendiri. Yang lain dulu kan di ruko gitu. Sekarang kita kelola sendiri aja dengan konsep yang berbeda, yaitu menjadi your new normal comfort place,” ujar Eunike.
Ketika berkunjung ke salah satu cabang di Tomang, slogan your new normal comfort place terpampang di depan. Begitu masuk ke area indoor di lantai 1, suasana nyaman khas anak muda terasa. Hanya sedikit meja kursi, sisanya area lesehan yang luas dan telah penuh dengan anak muda yang menghadap laptopnya.
Beralih ke lantai 2, area rooftop yang menawarkan udara terbuka juga dipenuhi anak muda. Di sini ada sebagian meja kursi dan sisanya berupa undakan dengan ornamen kata penyemangat yang memang untuk duduk para pengunjung. ”Karena pandemi ini, pilihannya membuat area outdoor ini agar yang datang merasa aman. Sengaja juga dipilih di area residensial karena biar lebih mudah dijangkau,” kata Eunike.
Sesuai dengan namanya, baik lokasi indoor dan outdoor sengaja didesain cocok untuk berfoto dan diunggah di media sosial. Menu makanannya pun sesekali ada yang berubah mengikuti tren. Contohnya, Kopitagram kini menyuguhkan croffle selain andalannya ada pada kopi susu cinnamon dan kopi susu tiramisu.
”Sekarang lega bisa buka lagi walau sangat diperhatikan protokolnya, seperti harus pake masker, ukur suhu tubuh, berjarak. Tadinya pas PPKM itu tiap minggu deg-degan. Diperpanjang lagi enggak, ya. Ha-ha-ha. Walau penjualan daring meningkat, tetapi berbeda. Ini pendapatan mulai balik normal lagi. Pernah pengunjung sampai waiting list,” tutur Eunike yang sedang berekspansi ke Bandung dan Surabaya.
Terasa dekat
Lain halnya dengan Bebek Perdikan yang justru mengajak sebagian orang seperti pulang kampung. Suasana ala kampung Jawa nan asri di antara kepungan gedung-gedung jangkung di kawasan Kuningan, Jakarta, menjadi salah satu daya tarik yang ditawarkannya.
Restoran ini menyediakan menu utama bebek ala Perdikan yang merupakan resep keluarga. Ada juga menu-menu tradisional Jawa lainnya. Pengunjung benar-benar dimanjakan dengan suasana kampung yang ijo royo-royo, lengkap dengan bangunan restoran yang menggunakan rumah model limasan khas Jawa.
Restoran kita ini konsepnya memang tradisional. Mulai dari peralatan makan, sampai menu masakannya. Dari bangunannya, itu pendopo yang paling gede di depan itu awalnya rumah di Bantul yang dibongkar lalu dipasang di sini.
Suasana kampung yang diwujudkan di atas lahan 500 meter persegi itu makin komplet dengan suara gending Jawa yang diputar untuk menemani para pengunjung bersantap, meningkahi suara burung yang riuh bersahutan di sekeliling restoran. Angin yang bertiup sepoi-sepoi di sela tanaman dan pepohonan menambah syahdu suasana. Seperti bukan di belantara Jakarta.
”Restoran kita ini konsepnya memang tradisional. Mulai dari peralatan makan, sampai menu masakannya. Dari bangunannya, itu pendopo yang paling gede di depan itu awalnya rumah di Bantul yang dibongkar lalu dipasang di sini. Di kayu-kayunya masih ada tempelan-tempelan stiker, sengaja nggak kita bersihin,” tutur Direktur Bebek Perdikan, Nabilla Putri Khansa yang bekerja sama dengan kedua orangtuanya untuk memastikan konsep tradisional dan menunya tetap otentik.
Rabu pagi itu, meski restoran baru saja buka, sejumlah pengunjung sudah berdatangan. Meja-meja umumnya sudah dipesan. Hanya menyisakan beberapa meja saja untuk pengunjung tanpa reservasi di dekat pohon- pohon bambu di bagian belakang restoran.
Pemandangan seperti itu makin jamak di hari-hari belakangan ini. Restoran yang dibuka tepatnya pada November 2020 dengan kapasitas 60 orang ini, kini bahkan nyaris tak pernah kekurangan pengunjung.
Tiap hari, selalu saja ada yang datang untuk bersantap. Banyak juga yang datang berombongan. Di bagian belakang restoran, saat ini tengah disiapkan lokasi tambahan untuk menampung pengunjung. Situasi pandemi yang ’landai’, rupanya turut mendorong kenaikan jumlah pengunjung. Model restoran Bebek Perdikan yang terbuka, membuat pengunjung merasa ’aman’ karena setidaknya meminimalkan penyebaran virus Covid-19.
”Ini semi outdoor. Adaptasi kita di situ. Dengan semi outdoor, sirkulasi udaranya bagus, prokes juga kita perhatikan. Kita juga udah sertifikasi CHSE,” kata Sasha. Sertifikasi CHSE adalah sertifikasi yang menjamin kebersihan, kesehatan, keselamatan dan kelestarian lingkungan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pariwisata, Ekonomi Kreatif bagi para pelaku usaha di bidang pariwisata.
Yang juga mengusung beberapa menu tradisional dengan suasana alam adalah Serambi Temu Resto & Wedding Venue di Kawasan Situ Gintung, Tangerang Selatan. Sejumlah pot gantung dengan tanaman hias berdaun rimbun hijau menjuntai memberikan kesan tempat yang asri. Saat masuk lewat pintu depan, orang baru bisa melihat area dalam restoran dan kafe ini seluas 650 meter persegi di atas lahan 4.500 meter persegi, berlangit-langit tinggi, dan berundak-undak mengikuti kontur tanah alaminya.
Saat ditemui untuk berbincang, pengelola sekaligus cofounder Serambi Temu Resto & Wedding Venue, Agung Wiratama, menjelaskan di tempatnya terdapat setidaknya empat area untuk para tamu. Area utama berupa ruang terbuka dengan tambahan separuh lantai mezzanine, yang sekaligus juga lokasi Kafe Makna Senja.
Bersebelahan dengan ruang utama juga terdapat area tertutup VIP bagi mereka yang ingin atau lebih memilih untuk beraktivitas di ruangan berpendingin udara. Ruang VIP berposisi sedikit lebih tinggi dari area utama. Agak lebih masuk ke dalam pengunjung bisa memilih area pelataran, yang juga menyambung ke area balkon terbuka dengan pemandangan langsung ke arah taman luas di bawahnya. Pada lokasi taman tersebut juga terdapat sebuah rumah joglo. Lokasi taman biasa disewakan, biasanya untuk acara pesta bertema outdoor.
Sebelum 2020, tempat ini masih berformat foodcourt bernama Urban Jajan, dengan fasilitas hiburan tambahan penampilan musik hidup. Pada akhir tahun, mereka mengubah format menjadi Serambi Temu, yang terdiri dari kafe Makna Senja dan restoran Temu Rasa.
Format pengaturan ruangannya pun ditata ulang menjadi area yang lebih terbuka dan berlangi-langit tinggi sehingga sirkulasi udara jauh lebih terasa bebas. Perubahan yang dilakukan bersamaan dengan semakin merebaknya pandemi tersebut justru malah mendatangkan keberuntungan baik.
”Kalau untuk di Kawasan Ciputat sendiri masih jarang ada yang berformat seperti kami. Pengaturan 70:30 antara area outdoor dan indoor-nya. Alhamdulillah dengan format area terbuka ini justru malah banyak dicari orang. Jadi growth kunjungan pelanggan terus naik kecuali saat sempat ada kebijakan melarang atau membatasi dine in,” tambah Agung.
Inovasi memang menjadi kunci, tetapi jangan lupa prokes ya. Biar aman berinteraksi.