Melalui lukisan ini Entang hendak membicarakan tentang dirinya sendiri yang tinggal di negeri orang dan masih mengalami persoalan rasisme. Kadang kala rasisme dikisahkan sebagai bagian dari masa lalu yang sudah terkubur.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Perupa Entang Wiharso (54) menyuguhkan permainan semiotika melalui kisah-kisah kolonialisme, perbudakan, serta berbagai ketidakadilan lain di dalam sebuah pameran tunggal di York, Pennsylvania, Amerika Serikat. Entang membuat masa lalu tidak terkubur.
Begitu semangatnya, Selasa (28/9/2021) pagi waktu di Jakarta, Entang yang tinggal di Rhode Island, sekitar enam jam perjalanan darat dari York, membuka percakapan dengan bertutur panjang hampir tak berjeda. Melalui telepon, Entang menuturkan kisah sederhana yang diangkat menjadi inspirasi karya, tetapi isu sederhana itu kemudian merembet ke mana-mana.
Ia mengawali, mengapa pameran itu diberi judul A Thousand Kilometers, Seribu Kilometer. Itu dipicu kisah Jalan Pos yang dibangun Herman Willem Daendels (1762-1818) sepanjang 1.000 kilometer yang menghubungkan Anyer dan Panarukan. Lebih tepatnya, dipicu ketika sekitar tahun 2012 Entang bersama anak dan istrinya yang berasal dari New York, Amerika, kerap menempuh perjalanan darat dari Yogyakarta ke Tegal, Jawa Tengah. Tegal merupakan kota kelahiran Entang.
”Saya bercerita kepada anak saya yang masih berumur 10 tahun tentang jalan yang sedang kami lalui. Saya katakan, sepotong jalan itu sebagai bagian Jalan Pos yang dibangun Daendels dari Belanda dan menghubungkan Anyer sampai Panarukan sepanjang 1.000 kilometer,” ujar Entang, yang lulus pendidikan di Jurusan Seni Lukis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 1994.
Entang dan keluarganya ketika itu menetap dan berkarya di Yogyakarta. Dari peristiwa itu menyulut pertanyaan lugu sang anak, mengapa orang Belanda mau membangun jalan di Indonesia. Entang pun memberi jawaban sesuai pengetahuan sejarahnya.
Akan tetapi, pertanyaan itu sebenarnya terus menjalar di pikirannya sampai sekarang, mengapa sampai ada orang asing mau berupaya membangun di negeri orang.
Patung bersenjata
Pameran ini diawali sebuah instalasi patung yang diberi judul ”1.000 Kilometer”. Judul yang merentang dimensi atau ukuran panjang ini ternyata di luar dugaan ketika itu diwujudkan sebagai patung diri Entang dan istrinya dengan masing- masing bersenjata.
Patung diri Entang memegang sebilah keris yang masih tersarung di depan dadanya. Patung istrinya dengan tangan kanan menggenggam pedang panjang terhunus ke tanah. Keduanya saling berhadapan dan beradu pandang, tetapi dari raut wajah mereka tidak terlihat akan saling bertanding.
Patung berukuran mendekati asli itu terbuat dari bahan aluminium dengan teknik cor. Pengecorannya dilakukan di Yogyakarta, beberapa tahun lalu.
”Ketika sebilah keris diletakkan di depan dada, ini menandakan kesiapsiagaan untuk menghunusnya,” ujar Entang seraya menyebutkan, senjata itu sebenarnya bukan untuk melukai orang lain, tetapi untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang terdekatnya.
Entang mengisahkan, rasisme masih bisa berlangsung di masa sekarang. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti yang dirasakan sendiri berupa ungkapan yang merendahkan orang asing di tempat tinggalnya di Rhode Island.
”Di sini, saya menjadi seorang imigran. Pernah suatu kali saya merasa ada ungkapan yang merendahkan saya sebagai seorang imigran di sebuah toko. Saya menceritakan kepada istri saya yang ada di rumah, tidak ikut belanja. Istri saya langsung menelepon pemilik toko itu,” ujar Entang, sekadar mencontohkan makna bersenjata untuk saling melindungi diri.
Di sini, saya menjadi seorang imigran. Pernah suatu kali saya merasa ada ungkapan yang merendahkan saya sebagai seorang imigran di sebuah toko. (Entang Wiharso)
Di lantai samping kanan patung diri Entang tergeletak kepala terpenggal. Ia menyebut, itu kepala Daendels. Entang tidak mengutarakan hal ihwal secara mendetail yang menyebabkan kepala Daendels terpenggal dan tergeletak di situ. Ia begitu saja menyebut bahwa itu kepala Daendels. Ini seperti metafora kolonialisme yang sudah tidak lagi dikehendaki Entang.
Tidak jauh dari situ ada figur patung orang yang duduk di kursi mengenakan setelan baju berwarna coklat krem. Ini bukan patung aluminium, tetapi seperti boneka manekin laki-laki dewasa yang diberi setelan baju seperti seragam.
Patung orang yang terduduk di kursi itu memiliki bentuk kepala yang belum jadi. Entang menyebut orang itu entah siapa, karena ia baru akan menjadi, orang yang dalam proses untuk mengada. Patung kepalanya masih terbungkus model cetakannya. ”Orang yang belum menjadi itu bisa siapa saja dan menyaksikan orang bersenjata untuk saling melindungi diri,” tutur Entang.
Apa hubungan judul ”1.000 Kilometer” dengan instalasi patung demikian? Mungkin tidak begitu mudah untuk merabanya. Akan tetapi, Entang meneriakkan dengan jelas bahwa persoalan kolonialisme membawa orang saling mempersenjatai dan mempersiapkan diri demi perlawanan. Tujuan mempersenjatai semula untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang terdekat.
Akan tetapi, ini bisa beralih pada upaya membela atau memenuhi kepentingan diri sendiri, mengabaikan hak-hak orang lain, bahkan sampai merampasnya. Di situlah terbit penjajahan. Ini persoalan masa lalu bagi dunia dan Entang tidak ingin menguburnya.
Melalui karya lain sebuah diorama yang diberi judul ”Unburried History”, Entang mempertegas hal itu. Ia tidak ingin mengubur persoalan- persoalan masa lalu terkait kolonialisme, perbudakan, dan ketidakadilan lainnya.
Sejarah rasisme
Di dalam pameran itu, Entang menampilkan sebanyak empat patung dan instalasi patung, 16 lukisan, dan satu diorama. Persoalan sejarah atau masa lalu menopang gagasan sebagian besar karyanya untuk meneriakkan persoalan dan pesan kekinian.
Akan tetapi, ada juga karya yang berlatar kisah fiksi seperti dari epos Ramayana menjadi sebuah lukisan berjudul, ”Setengah Matinya Raksasa (Half Died Giant)”.
”Gagasan lukisan dari kisah raksasa Kumbakarna yang membela kakaknya, Rahwana, dalam suatu peperangan,” ujar Entang.
Ia tidak melukis Kumbakarna atau Rahwana. Ia menunjukkan lukisan itu tentang potret keluarganya. Ia melukis dirinya ada di titik tengah bidang kanvas. Ia melukis dirinya dalam kondisi tanpa busana. Di sekelilingnya hadir figur-figur manusia yang bertubuh besar raksasa.
Melalui lukisan ini Entang hendak membicarakan tentang dirinya sendiri yang tinggal di negeri orang dan masih mengalami persoalan rasisme. Kadang kala rasisme dikisahkan sebagai bagian dari masa lalu yang sudah terkubur. Akan tetapi, sering tanpa disadari rasisme itu sekarang tetap terpelihara dan masih hidup seperti raksasa yang mengepung kehidupannya.
Melalui lukisan berjudul ”Kaleidoscope” dengan tiga panel, Entang menegaskan persoalan rasisme dari sisi mimpi-mimpi seorang imigran di Amerika Serikat. Entang menyinggung istilah terkenal, American Dream. Entang memilih dan memainkan diksi itu untuk menyuarakan persoalan antirasial.
Meski di negeri orang, Entang lantang mengekspresikan hasrat diri dalam berkesenian dengan gagasan-gagasan berani dan kontekstual.