Warung Kurma Asih berdiri di tepi pantai bagian selatan Desa Perancak, Kabupaten, Jembrana, Bali, menyediakan ikan bakar yang lezat sembari menyalurkan niat mulia untuk pelestarian penyu.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
Ketika daya nalar manusia berkembang, makan tak lagi sekadar menjadi pemenuhan kebutuhan hidup, tetapi mulai mempertanyakan ulang untuk apa kita makan, apa jenis makanannya, dan dari mana asal-usulnya? Warung Kurma Asih berdiri di tepi pantai bagian selatan Desa Perancak, Kabupaten, Jembrana, Bali, sejak tahun 2017 untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial tadi.
Warung ini digagas generasi kedua Kelompok Pelestari Penyu (KPP) Kurma Asih, seperti I Gede Arjunaya, I Wayan Anom Astika Jaya, dan I Komang Gunawan. Orangtua mereka, yakni I Wayan Tirta, I Ketut Toyo, dan I Nyoman Westra, adalah para nelayan yang merintis Kurma Asih setelah menyadari bahwa perburuan penyu yang mereka lakukan selama berpuluh-puluh tahun adalah kesalahan yang harus diperbaiki.
Pendirian warung, kata I Gede Arjunaya, awalnya untuk mendorong masyarakat lokal turut berdonasi dalam melestarikan penyu. ”Sebab, 99,9 persen para adopter telur penyu adalah wisatawan asing. Orang-orang kita belum peduli,” kata Arjunaya, Kamis (2/9/2021), dari Perancak, Jembrana. Arjunaya, yang sekaligus bertindak sebagai manajer warung, mengatakan, usaha restoran diharapkan memberi subsidi silang atas niat mulia para nelayan menyelamatkan penyu.
Sebab, menurut Gunawan, telur-telur penyu yang didapat dari penduduk di pesisir selatan Kabupaten Jembrana diganti dengan sejumlah uang. ”Kalau tidak dirangsang dengan uang, mereka tidak mau menyerahkan telur penyu. Nah, warung kita harapkan bisa menjadi penyubsidi,” katanya.
Sebagai warung yang berdiri di tepi pantai, Kurma Asih tak perlu berlari jauh mencari menu yang disajikan kepada para pengunjung. Setelah melihat mekanisme penetasan telur penyu, para wisatawan bisa menikmati menu utama berupa ikan bakar khas Perancak. Bisa juga memesan varian lain, seperti ikan bakar Jimbaran, kepiting saus padang, udang bakar madu, atau sate cumi-cumi. Jika beruntung, Anda bisa memesan kerang lokal yang dimasak dengan saus tiram.
Ikan lokal
Jangan khawatir jika Anda bertanya dari mana asal-usul ikan, kepiting, udang, cumi-cumi, dan kerang di warung kecil itu. Semuanya berasal dari laut sekitar Desa Perancak dan ditangkap oleh para nelayan lokal dengan cara menjaring, memancing, ataupun memasang bubu (perangkap bambu). ”Tidak ada yang ditangkap dengan bom,” kata Arjunaya yang juga bertindak sebagai pengurus warung bersama istrinya, Ni Luh Ratna Riani. ”Chef-nya langsung istri saya, jadi kelokalan rasanya dijamin, he-he-he,” ujar Arjunaya.
Warung Kurma Asih secara langsung mendapatkan pasokan ikan, udang, kepiting, dan cumi-cumi dari para nelayan lokal. Oleh sebab itu, pertama-tama kesegaran menu-menu yang disajikan di sini sudah pasti dijamin. Kedua, seluruh isi laut yang disajikan di piring Anda mengandung kemuliaan niat dan laku mengonservasi penyu yang terus-menerus terancam punah.
Jadi, kata Arjunaya, dalam sepiring ikan bakar atau kepiting saus padang yang Anda nikmati telah diberi pesan-pesan tentang betapa pentingnya seluruh lapisan masyarakat berlomba-lomba memperhatikan lingkungan.
Itu pula alasan mengapa seluruh menu di sini tidak menggunakan monosodium glutamat atau MSG yang berfungsi menyedapkan rasa. ”Kalau pakai itu, selain tidak sehat, masakan kita kehilangan keasliannya. Kalau bahannya segar tidak perlu penyedap,” kata Ratna Riani. Kunci dari keindahan rasa, tambahnya, terletak pada kesegaran bahan yang digunakan. ”Ikan-ikan di sini baru mati sekali, belum dibekukan,” tambahnya.
Selain soal misi warung dan kesegaran bahan, soal tempat dan harga juga menjadi penting. Menurut Arjunaya, karena warung ini berlokasi di tempat ikan ditangkap, harganya pun bisa sangat damai. Bayangkan, untuk satu kilogram kepiting saus padang Anda hanya perlu mengganti sebesar Rp 165.000. Jika memesan ikan kakap merah bakar dengan berat satu kilogram, Anda akan langsung diberi sebakul nasi, plecing kangkung, tahu-tempe goreng, dan dua macam sambal. Anda cukup menggantinya seharga Rp 120.000.
Sebelum pandemi, kata Arjunaya, warungnya bisa menghabiskan isi laut sebanyak 10 kilogram. ”Tetapi, setelah pandemi, apalagi ada PPKM, sehari syukur ada pengunjung. Kalau hari-hari kerja, terkadang tak ada pengunjung sama sekali,” katanya. Meski begitu, tambahnya, Warung Kurma Asih didirikan dengan misi khusus mendukung konservasi penyu yang dilakukan secara mandiri oleh para nelayan setempat.
Tepat di sebelah warung, terdapat sepetak kolam berisi tukik yang siap dilepaskan ke laut. Tak jauh dari sana, para wisatawan akan menyaksikan petakan pasir dengan luas sekitar 50 meter persegi yang memendam telur-telur penyu. Pada setiap lubang setidaknya berisi 100-150 butir telur. ”Semuanya didapat dari para penduduk di sekitar sini,” kata Gunawan yang sehari-hari menjadi pengurus penetasan dan pelepasan tukik.
Jadi, jika Anda mengunjungi KPP Kurma Asih, Anda akan menerapkan pesan pepatah tua, ”sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui”. Anda bisa menjadi adopter telur-telur penyu secara langsung, lalu nama-nama kita dicatatkan di secarik kertas; juga bisa berdonasi untuk melepaskan tukik ke laut luas; dan yang tidak kalah penting menyantap masakan lokal di lokasi para penghuni laut itu ditangkap.
Sudah pasti itu akan menjadi pengalaman hidup yang layak diingat sepanjang usia. Kapan mau mencobanya?