Lembaran baru dari sentuhan adibusana telah dibuka. Tak sekadar gaun indah atau eksentrik, pakaian yang lebih membumi dan merakyat juga turut mewarnai landas peraga yang kembali hidup.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Lembaran baru dari sentuhan adibusana telah dibuka. Tak sekadar gaun indah atau eksentrik, pakaian yang lebih membumi dan merakyat juga turut mewarnai landas peraga yang kembali hidup. Ya, ratusan pasang mata kali ini tak terpaku lagi dari rumah. Mereka hadir untuk menyaksikan langsung reinkarnasi makna dari gelaran adibusana.
Setelah bertahan pada dua perhelatan dengan tetap menggelar haute couture week secara virtual, Federation de la Haute Couture et de la Mode berkesempatan menyelenggarakan rangkaian pertunjukan secara langsung pada 5-10 Juli 2021. Sebagian rumah mode seakan merayakan peluang kebangkitan lewat beragam pesan pada pekan adibusana edisi koleksi musim gugur/musim dingin 2021 ini.
Pandemi yang dirasakan seluruh dunia sempat mengakibatkan perhelatan mode ini mau tidak mau banting setir. Pilihan untuk tetap mengadakan pekan adibusana secara daring diambil pada Juli 2020. Untuk pertama kalinya, tak hanya undangan yang dapat menikmati peluncuran koleksi anyar para desainer kenamaan ini.
Berlanjut pada Januari 2021 untuk koleksi musim semi/musim panas 2021. Pembatasan jam malam di Paris, Perancis, membuat acara ini dilangsungkan lagi secara daring. Dalam setahun, memang wajib ada dua jadwal pekan adibusana yang selalu diadakan pada Januari untuk musim semi/musim panas dan Juli untuk musim gugur/musim dingin.
Meski pertunjukan kali ini dibuka untuk digelar secara langsung, ada beberapa rumah mode yang tetap memilih secara virtual. Namun beberapa rumah mode besar dan desainer kondang, seperti Dior, Jean Paul Gaultier, Giorgio Armani, Balenciaga, hingga Zuhair Murad percaya diri dengan pertunjukan langsung. Bahkan Chanel mempunyai jadwal khusus pertunjukan fisik yang tidak disiarkan secara daring dan hanya terbatas bagi undangan.
Bagi para pelaku mode, kondisi yang berangsur pulih ini membawa harapan baru sekaligus perspektif baru. Maria Grazia Chiuri dari Dior melalui koleksi yang didominasi bahan tweed yang ditenun dengan tangan dan sulaman motif floral di atas bahan sutera ini disuguhkannya sebagai simbol kebangkitan pascapandemi.
Spiritnya diambil dari Christian Dior yang melakukannya pasca-Perang Dunia II saat konsumsi mode kembali meledak. Chiuri membesutnya dengan cara baru lewat pemaknaan serupa. Bahan tweed disulapnya menjadi setelan dan trench coat. Motif floral sulam ditatahkan pada bahan sutera yang dibentuk menjadi setelan blus berkerah tinggi dengan celana panjang atau dengan rok maxi lebar. Gaun malam yang ringan melayang tentu juga tak ketinggalan.
”Material yang dibuat langsung dari tangan ini luar biasa. Seperti momen lahir kembali setelah tiga musim ini terasa sulit. Sekaligus menghidupkan lagi rantai tak terlihat dari orang-orang di balik layar yang tanpa mereka praktik haute couture ini tidak mungkin ada,” ungkap Chiuri.
Merujuk pada kata couture yang berasal dari bahasa Perancis berarti pembuatan busana. Kata haute memiliki arti tinggi atau bisa dimaknai berkelas. Istilah haute couture pun identik dengan busana berkelas yang unik dengan ciri utama pengerjaannya sebagian besar menggunakan tangan. Desainnya unik dengan material khusus dan ukurannya sesuai dengan tubuh pemesan. Chiuri menoleh pada deretan pengertian klasik ini dalam membesut koleksi kali ini. Namun, desain yang dihadirkan dalam 75 tampilan busananya tetap fleksibel digunakan, tanpa harus terbatas untuk acara megah.
”Tampilan mode di dunia saat ini lebih fokus pada pakaian sehari-hari. Potongannya longgar dan nyaman. Namun, pembuatannya tetap khusus, jelas tidak mudah karena dikejar tenggat waktu. Tapi tim yang bekerja di studio justru merasa senang. Mereka lelah, tapi senang,” jelas Chiuri.
Desainer Giorgio Armani juga menjadikan kesempatan ini sebagai momen reflektif melalui koleksi bertajuk ”Shine”. Berbahan sutra organza, Armani mengubahnya menjadi setelan blazer dan celana dengan dalaman berupa crop top berbentuk kemben, blus berpadu celana palazzo, hingga gaun dengan potongan bertumpuk atau diberi aksen lipit besar. Sederhana, tapi anggun.
Di usianya yang sudah 87 tahun, Armani tak mau berhenti meski dihadang pandemi. Bahkan kecelakaan yang belum lama ini terjadi dan membuatnya dirawat 15 hari di rumah sakit tak menyurutkan semangatnya.
”Setelah pandemi, saya ingin karya saya menunjukkan emosi dengan cara yang lebih jelas. Selama periode ini, kita telah menemukan sesuatu yang kuat, sesuatau yang memperkaya dan memberi energi. Saya ingin menyampaikan semua itu lewat karya saya,” jelas Armani yang kemudian mengejawantahkan ke dalam warna pelangi yang dituangkan pada 68 tampilan busananya.
Ia pun ingin menularkan semangat kepada perempuan untuk menjadi diri sendiri. ”Perempuan selalu ingin terlihat cantik. Saya membuat busana-busana ini untuk bisa dipakai semua perempuan sesuai dengan diri mereka. Bahan yang halus dan warna yang cerah bagi mereka yang selalu bersinar. Karena sinar dan kecantikan itu dari dalam diri, bukan dari penilaian orang lain,” ungkap Armani.
Berani
Sementara itu, yang dinantikan dari pagelaran selama sepekan ini adalah karya kolaborasi desainer Jean Paul Gaultier dengan Chitose Abe dari jenama Jepang, Sacai. Kolaborasi ini telah bergaung sejak awal 2020. Namun, urung terdengar kabarnya lagi karena terimbas pandemi. Pada kesempatan kali ini, keduanya menghadirkan nuansa yang berbeda dalam panggung adibusana.
Tak pernah terbayangkan bagi Abe membesut koleksi adibusana, bahkan bekerja sama dengan idolanya. Namun, tawaran yang datang lewat undangan minum teh bersama ini, tentu tak disia-siakannya. Gaultier memilih Abe untuk mewujudkan gebrakan keinginannya merancang ulang makna elegan yang kadung mengakar dalam sistem mode konvensional.
Hasilnya adalah 31 busana yang unik dari bahan satin organza yang dipadukan menjadi gaun yang melayang dipadu dengan blazer yang direkonstruksi. Setelan kemeja dan celana panjang pun menjadi tak biasa di sini, karena ditambah detil berupa bustier dan drape lipit besar bertumpuk di bagian kanan kiri kemeja.
Ada juga jaket bomber yang dimodifikasi menjadi gaun dengan bagian bawah menggelembung seperti rok balon. Sweater dengan garis biru putih yang menjadi khas Gaultier pun dikombinasikannya dengan detail sifon yang dibuat berlipit dan disisipkan di bagian dalam hingga menjuntai ke bawah. ”Sentuhan adibusananya ini tersembunyi dalam detail-detail dan rekonstruksi dengan tingkat kesempurnaan tinggi yang saya lakukan bersama Gaultier,” jelas Abe.
Tujuan dari Gaultier untuk menggeser pemaknaan elegan pun cukup berhasil karena keberaniannya dengan Abe menampilkan busana yang lebih akrab dengan anak muda.
Sejalan dengan perubahan yang terjadi di dunia. Panggung adibusana juga berupaya mendeskripsikan ulang keberadaannya. Kelonggaran untuk tetap relevan dilakukan. Adibusana pun tak harus melulu untuk melenggang di karpet merah bagi pesohor atau hanya untuk memukau khalayak. Karena busana sejatinya sebagai manifestasi diri.