Mengupayakan Mode Tanpa Limbah
Konsep ”zero waste” harus terus diupayakan di kalangan pelaku mode.
Konsep zero waste fashion design atau mode tanpa limbah bukanlah konsep hit and run (tabrak lari) yang bisa diterapkan hanya pada satu waktu tertentu. Agar bisa mencapai hasil optimal, konsep mode tanpa limbah perlu diupayakan tanpa henti, terutama di antara para pelaku industri mode.
Upaya untuk terus menggaungkan konsep mode tanpa limbah salah satunya dilakukan oleh Indonesian Fashion Chamber (IFC). Pada banyak kesempatan, National Chairman IFC Ali Charisma selalu menekankan pentingnya mode keberlanjutan, yang salah satunya diterapkan melalui konsep mode tanpa limbah.
Dalam perhelatan Mid Year Meeting IFC yang berlangsung di Bali pada 17-20 Juni 2021, para desainer juga kembali didorong untuk mengaplikasikan konsep mode tanpa limbah. ”Program dan kegiatan IFC ditekankan dan diperkuat pada tiga hal utama, yaitu digital marketing, sustainable fashion atau mode berkelanjutan, dan collaboration,” ungkap Ali.
Sebanyak 78 anggota IFC yang hadir diminta membuat koleksi dari bahan-bahan natural atau ramah lingkungan, seperti katun, linen, viscose, dan poliester. Koleksi tersebut lantas dipadukan dengan aksesori dari olahan ”sampah” yang berasal dari pantai, yang kemudian dipresentasikan dengan konsep trunk show dan flash mob di Pantai Double Six, Bali.
Rata-rata busana yang ditampilkan berpotongan sederhana, kotak-kotak, dan berukuran oversize (longgar). Warna-warna yang digunakan adalah warna-warna dasar, seperti putih, coklat muda, dan abu-abu.
Busana-busana tersebut kemudian ditampilkan dengan styling yang menarik bersama aksesori hasil olahan ”sampah” pantai yang ternyata bisa tampil cantik dan menarik dalam bentuk kalung juga gelang. Dari kegiatan itu diharapkan lahir pemikiran bahwa sampah sekalipun dapat dimanfaatkan agar bernilai komersial. Di sisi lain, hal itu dapat meningkatkan kesadaran para desainer untuk mengurangi sampah dan limbah serta membantu menyelesaikan masalah lingkungan.
Tentang limbah mode, mengutip data dari Ellen MacArthur Foundation, saat ini angkanya di dunia telah mencapai 500 miliar dollar Amerika Serikat per tahun atau setara dengan Rp 7,1 triliun. Konsep mode tanpa limbah diharapkan menjadi solusi pengurangan limbah mode.
Timo Rissanen dalam Zero Waste Fashion Design mengungkapkan, konsep mode tanpa limbah sebenarnya sudah ada sejak dulu. Salah satunya di Jepang, di mana teknik pembuatan pola zero waste diterapkan pada pembuatan kimono Jepang yang proses pembuatannya mengoptimalkan kain.
Sementara di China, pola zero waste diterapkan pada tahun 1956 dalam pembuatan celana panjang. Caranya dengan menggabungkan dua segitiga yang dijahit pada sisi-sisinya sehingga tidak menghasilkan limbah pada proses pembuatannya.
Awal tahun 2000, zero waste fashion sudah mulai diterima dan diadaptasi beberapa desainer di dunia. Di Australia, perusahaan mode yang dipimpin oleh Susan Dimasi dan Chantal Kirby memproduksi busana garmen tanpa limbah. Tahun 2008 muncul desainer Mark Liu, disusul Holly Mcquillan dan Timo Rissanen yang memperkenalkan pola-pola mode tanpa limbah.
Potongan sederhana
Neli Gunawan dari IFC Chapter Bali menampilkan busana dari bahan viscose silk untuk atasan berpotongan sederhana mirip baju bodo khas Sulawesi. Kotak, dengan lubang di bagian leher dan jahitan di bagian lengan. Untuk bawahan, Neli menggunakan bahan poliester bertekstur wafer.
”Ukurannya oversize, juga bentuknya cukup basic. Jadi bisa dipadupadankan dengan baju-baju lain yang kita udah punya. Bahannya kebetulan sisa dari uniform hotel. Jadi enggak beli lagi,” kata Neli, Rabu (23/6/2021). Saat ini, selain membuat busana-busana lounge untuk pasar Eropa, Neli juga membuat seragam untuk hotel-hotel di Bali yang menjadi kliennya.
Meski tampak sederhana, bukan berarti proses pengerjaannya tidak menantang. Untuk mengaplikasikan mode tanpa limbah yang diperkenalkan IFC, Neli perlu memutar otak.
”Ada beberapa yang bikin bingung. Kayak segitiga ini gimana bikin bajunya. Oh, kayak bikin origami dilipet-lipet. Jadi butuh ekstra mikir. Tapi, ini kalau udah jadi satu sampel, buat produksi malah gampang,” ujarnya.
Menurut dia, konsep mode tanpa limbah tersebut bukan konsep baru. Di IFC, konsep mode tanpa limbah pun makin kerap digaungkan. ”Bukan konsep baru. Cuma memang semuanya harus diusahakan terus-menerus. Kan, enggak bisa tahun ini mengusung sustainability, tahun depan goodbye. Harus berkesinambungan,” kata Neli.
Sebagai seorang desainer, Neli pun telah menerapkan konsep mode tanpa limbah. Setiap kali membuat koleksi, Neli berusaha tidak membuang sisa kain yang ada.
”Kadang saya jadikan aksesori, kadang jadikan pouch, lining tas, atau apa. Itu juga salah satu gaya zero waste yang bisa kita kerjakan karena pasar untuk mode tanpa limbah pun sebenarnya sangat menjanjikan asal ada cerita yang kuat. Karena nilai artistiknya, harganya bahkan bisa 2-3 kali lipat,” kata Neli.
Muhammad Bilal dari Palembang, Sumatera Selatan, menghadirkan busana berkonsep tanpa limbah dari bahan tenun blongket Palembang. Blongket tidak jauh berbeda dari songket. Jika songket biasanya berbentuk sarung dan selendang, blongket berupa kain tenun panjang, hingga 10 meter, dan umumnya berbahan katun sehingga tidak panas. Dengan begitu, blongket lebih mudah dikreasikan.
”Saya memang bergerak khususnya di tenun Palembang. Bagi saya, tenun Palembang adalah wastra yang sayang kalau dilupakan. Jadi, saya perkenalkan ke luar, ternyata bisa dibuat macam-macam,” tuturnya.
Busana yang ditampilkan Bilal perpotongan sederhana. ”Look-nya simpel karena mengangkat baju cowok. Cutting-nya juga simpel, enggak ribet juga, bisa dipakai siapa aja, uniseks,” kata Bilal tentang rancangannya yang berjudul ”Make It Simple” itu.
Bilal yang baru saja bergabung di IFC ini selama sembilan tahun mengolah songket Palembang dengan sentuhan modern. Potongannya simpel elegan. Dua tahun terakhir, Bilal berpindah pada blongket agar lebih leluasa berkreasi baik dari sisi motif maupun warna.
Dalam perhelatan utama, Bilal menghadirkan koleksi bertema ”Next Level” yang menghadirkan blongket dengan sentuhan gaya Jepang. ”Motifnya, gaya bajunya oversize. Jadi anak muda enggak ada alasan terlihat tua. Justru lebih gaul, lebih edgy,” kata Bilal yang tahun ini banyak bermain di warna-warna lembut.
Hannie Hananto, Local Chairman IFC Chapter Jakarta, untuk pertama kalinya membuat busana tanpa limbah dari bahan linen. ”Menantang karena enggak pernah pakai pola zero waste. Tapi gampang, cuma persegi panjang ditekuk jadi dua, tengahnya dibolongin kotak buat kepala, ditambahin kiri kanan buat lengan. Kayak baju Jepang, oversize, kotak-kotak,” ujar Hannie.
Selain Hannie, anggota baru IFC dari Chapter Jakarta juga membuat pola-pola lain. Rata-rata senada, tidak banyak menggunakan bahan, hanya dilipat lalu dilubangi di bagian leher. ”Ini juga jadi pembelajaran bagi member IFC semua,” kata Hannie.
Baca juga : Perenungan Pandemi Didit Hediprasetyo
Menurut dia, konsep mode tanpa limbah sudah digaungkan di IFC sejak dua tahun terakhir. Meski demikian, tidak serta-merta semua anggota mengaplikasikan konsep tersebut.
”Jadi, memang mulai dari hal yang kecil-kecil dulu, pelan. Ambil contoh, kemarin aku bikin baju perca, dress, beberapa kali dan itu aku jual. Tapi enggak bisa banyak, kan, namanya juga sisa. Jadi, begitu abis ada yang pesan lagi bingung. Tapi, masyarakat itu bisa menerima. Kan, aku test case, pasarnya ada dan mereka enggak papa tuh itu sisa,” ujar Hannie.
Dia sepakat, meski perlahan, konsep mode tanpa limbah harus terus digaungkan. ”Upaya-upaya seperti ini juga untuk membuka mata dan wawasan para member IFC Indonesia,” pungkasnya.