Pandemi memberi waktu Didit Hediprasetyo merenung dan melahirkan karya yang lepas dari batasan waktu dan ruang.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 mengubah pola hidup banyak orang. Aktivitas fisik berkurang, berganti bekerja dari rumah menggunakan internet. Pandemi juga memberi waktu Didit Hediprasetyo untuk merenung dan melahirkan karya yang lepas dari batasan waktu dan ruang.
Bagi seorang perancang busana yang aktivitasnya ada di dua belahan dunia, pandemi Covid-19 membuat aktivitas fisik perjalanan Jakarta, Paris, dan Kabupaten Batubara di Sumatera Utara menjadi sulit. Pun ketika panggung peragaan di Paris tidak lagi terbuka, teknologi internet menjadi pengganti dengan segala keterbatasan dan kelebihannya.
Didit Hediprasetyo tak ingin menyerah. Tahun 2021 menjadi saat untuk menunjukkan optimisme, memunculkan sosok yang kuat sebagai penyintas.
Keempat belas karya Didit tetap mempertahankan desain bergaya bersih, bermain blok warna, dan detail lipit yang langsung dibentuk di badan (drape). Desain yang bersih sesuai semangat zaman untuk bangkit dan menjadi lebih percaya diri, menonjolkan karakter penggunanya. Celana panjang berpipa ramping dan jaket hadir lebih banyak dengan padanan sepatu bergaya Oxford atau mary jane berbahan kulit yang sedang disukai.
Drape hadir dalam bentuk lipit pada gaun malam panjang. Pada baju atas mengingatkan pada kemben busana perempuan Jawa sekaligus korset dari Barat. Memadukan antara pengaruh Barat tempat Didit menyelesaikan pendidikan desain mode di Parsons di New York dan Paris dan pengaruh Timur, tepatnya Indonesia sebagai sebagai identitas asal-usulnya, menjadi ciri khas.
Penggalian lebih dalam kemungkinan memadukan unsur Timur dan Barat semakin menjadi keniscayaan ketika dia tidak harus terbang Jakarta-Paris akibat pandemi. Hal yang sebetulnya rutin dia lakukan sejak 2001 untuk menyiapkan rancangan dan peragaan koleksinya di Paris, setahun dua kali, kecuali tiga tahun terakhir.
Songket batik
Indonesia dikenal dengan kekayaan teknik, corak, dan bahan kain, seberagam masyarakat yang menghidupi tenun tradisional itu. Di tangan Didit, tenun tangan buatan perajin bukan hambatan untuk menjadi bagian dari rancangannya yang masuk di dalam rumpun couture.
Kata ”couture” berasal dari bahasa Perancis dan federasi yang menjaga rumpun mode ini, Fédération Française de la Couture, menyebut jenis busana ini sebagai haute couture atau adibusana. Beberapa ciri utama adalah pembuatan berdasarkan pengukuran tubuh pemesan dengan material sangat khusus dan pengerjaan sebagian besar menggunakan tangan. Istilah haute couture dilindungi hukum dan rumah mode harus mendapat izin Kementerian Industri Perancis untuk mengklaim istilah itu.
Dalam kenyataan, untuk dapat bertahan pada abad ke-21 pemahaman tentang haute couture melonggar. Jumlah busana yang wajib dipamerkan dalam setiap peragaan busana yang diadakan setahun dua kali berkurang. Materi yang digunakan juga melonggar, termasuk membolehkan corak cetak tiga dimensi.
Istilah couture kemudian dimaknai sebagai membuat desain busana yang unik dan terbaik untuk setiap pelanggan. Bahkan, teknik pembuatannya pun mengalami perubahan, mengikuti bergeraknya waktu.
Untuk memenuhi kriteria rumpun couture, selain mengadakan pergelaran busana setahun dua kali, Didit menggunakan materi khusus. Kulit anak sapi yang sangat lembut pada jaket pendeknya yang dibuat di Paris. Sementara kain berasal dari berbagai sumber, termasuk tenun tangan songket dari Kabupaten Batubara di pantai timur Sumatera Utara.
Sejak awal memulai debutnya sebagai perancang busana, Didit sudah menggunakan songket batubara yang budayanya mendapat pengaruh Melayu. Songket ini dibuat memakai alat tenun bukan mesin dari benang katun dan jumlahnya sangat terbatas karena pengerjaannya manual. Didit dan timnya menyiapkan proporsi corak songket sebelum diberikan kepada penenun.
Didit banyak memakai corak geometris dari corak tenun asli Batubara, tetapi dimodifikasi sesuai garis rancangannya yang bersih. Benang perak dan emas dipakai sesuai tema rancangan.
Untuk koleksi musim semi/panas 2021, Didit melangkah lebih jauh. Dia meminta petenun membuat songket dalam corak parang yang merupakan ragam hias batik Yogyakarta dan Solo.
”Ini salah satu hasil duduk diam, berpikir lama, yang dimungkinkan karena pandemi,” ungkap Didit. Komunikasi yang terbangun selama 10 tahun dengan para petenun memudahkan dalam meminta perajin mengerjakan corak yang sama sekali baru dan berasal dari pakem budaya berbeda.
Hasilnya koleksi musim semi/panas 2021 benar-benar kosmopolitan, menghilangkan batas ruang, dan menjadi semacam pengayaan akulturasi budaya yang selama ini sebetulnya terus terjadi.
”Koleksi ini dikerjakan bersama. Stylist-nya di Paris, kainnya ditenun di Batubara dengan corak batik parang, materi kain lainnya dan kulit dari Paris dan London, pengerjaannya sebagian di sini,” kata Didit.
Bertahan
Internet memungkinkan pengerjaan lintas benua. Melalui internet juga, Didit memperagakan rancangannya meskipun karyanya tetap hadir di toko di Paris yang diisi bersama karya beberapa desainer lain. Jaket bomber yang longgar menjadi salah satu cara menyiasati berkurangnya kesempatan membuat busana sesuai ukuran tubuh pemesan.
Ditanya apakah dapat bertahan melalui pandemi, Didit dengan terus terang mengatakan belum tahu. Yang jelas, dalam menapaki tahun ke-11 sebagai desainer yang berkarya di Paris, Didit sudah melalui banyak periode naik dan turun. Sejauh ini dia sintas karena mengembangkan talentanya yang lain. Dia menjadi penerbit dan direktur kreatif buku, salah satunya biografi Nadya Hutagalung, Walk with Me. Dia juga pernah menjadi salah satu perancang interior BMW edisi terbatas untuk seluruh dunia.
Untuk menunjukkan komitmennya sebagai perancang busana, Didit harus menyiapkan koleksi musim gugur/dingin 2021/2022 yang sesuai jadwal diperagakan Juli mendatang. Membaiknya penanganan Covid-19 akan menjadi tantangan sekaligus jalan baginya suatu saat kembali menampilkan karyanya dalam peragaan di Paris.