Menambal Sulam Rumah Kenangan
Merawat peninggalan leluhur memberikan kebanggaan dan beban sekaligus. Rasa bangga muncul karena Rudi senang bisa menjaga warisan dari para pendahulunya. Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan tergolong tak biasa.
Merawat bangunan-bangunan tua tidak hanya menyita waktu, tetapi juga memakan biaya. Di Lasem, masyarakat bersiasat merawat rumah kuno dan menjadikannya sebagai istana yang nyaman untuk tempat tinggal. Demi menjaga kebanggaan pada kebudayaan leluhur, warga Lasem ringan tangan melakukan itu.
Kecamatan Lasem, di Rembang, Jawa Tengah, merupakan gudangnya bangunan-bangunan kuno dengan ciri khas arsitektur tradisional Tionghoa peranakan. Di kawasan seluas 160 hektar di pesisir utara Jawa Tengah ini terdapat 215 bangunan bersejarah, seperti rumah, sekolah, pesantren, kelenteng, dan stasiun, yang berusia lebih dari 200 tahun.
Karakteristik bangunan khas Lasem mudah dikenali lewat tembok-tembok tinggi dan tebal yang mengelilingi rumah-rumah pecinan. Selain untuk alasan privasi, tembok itu dibangun juga untuk keamanan mereka yang tinggal di dalamnya. Pada 1930-an, ketika batik Lasem mencapai puncak kejayaan, tembok-tembok tinggi ini melindungi aset dan kegiatan membatik yang dijalankan di dalam rumah.
Di balik tembok itu terdapat rumah-rumah kuno dengan ciri khas campuran kebudayaan Tionghoa, Jawa, dan kolonial Belanda. Munculnya bangunan-bangunan kuno khas pecinan di Lasem tidak lepas dari sejarahnya. Pada 1740 M terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia kepada VOC Belanda yang dikenal sebagai peristiwa Geger Pecinan. Pemberontakan tersebut mengakibatkan pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia sehingga banyak yang mengungsi ke Lasem.
Mereka yang pertama datang belum bersinggungan dengan budaya lokal sehingga membangun rumah sesuai pakem khas China. Lama-kelamaan, bisnis mulai berkembang dan para pendatang punya uang untuk merenovasi rumah. Akhirnya rumah dibuat mengikuti interaksi dengan orang lokal dan juga pedagang VOC dari Belanda.
Tionghoa Jawa
Masuk di kediaman Mulyono (Oei Giok Siang), Selasa (25/5/2021), di Desa Karangturi, Lasem, misalnya, terlihat rumah megah yang kental dengan perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa. Unsur kebudayaan China di rumah itu terlihat dari bentuk bangunan simetris, seperti terdapat dua jendela besar di sebelah kanan dan kiri pintu rumah.
Di bagian tengah bangunan terdapat altar dan meja abu untuk berdoa. Adapun keberadaan pendopo di bagian depan rumah merupakan bukti bahwa unsur kebudayaan Jawa sudah bercampur dengan kebudayaan China. Pendopo dipakai sebagai pusat kegiatan penghuni, seperti untuk menerima tamu, bersantai, serta anak-anak belajar dan bermain.
Rumah khas pecinan Lasem itu sudah mengalami beberapa perubahan, kata Mulyono. Granit hitam yang tadinya menjadi alas rumah, misalnya, sudah diganti keramik. Demikian juga warna kayu yang tadinya merah sudah diganti dengan biru tosca yang lebih lembut. ”Dulu, engkong saya tidak punya uang. Jadi, granitnya dikelupas dan dijual,” ujar Mulyono
Dia merupakan generasi keenam yang menempati rumah tersebut. Kalau kira-kira setiap generasi berusia 40 tahun, rumah tersebut sudah berusia setidaknya 240 tahun. Kini, Mulyono tinggal di rumah tersebut bersama ibu, istri, anak-anak, dan cucu-cucu. Yenny Mulyani (Tjia Pwee Hian), istri Mulyono, mengatakan, dirinya tidak berniat mengubah penampilan rumahnya.
”Kalau diganti-ganti eman. Ini, kan, kayu zaman dulu besar-besar dan kuat. Enggak pernah kena rayap. Kalau saya ganti, belum tentu bisa beli lagi,” katanya.
Tinggal di rumah kuno bukan tanpa tantangan. Sudah berkali-kali rumah itu bocor. Perbaikan genteng yang bocor tidaklah mudah mengingat ukuran genteng berbeda dengan yang ada sekarang. Selain tidak mudah, perbaikan juga menelan biaya. Di rumahnya, terlihat rembesan air hujan membuat tembok berlumut. Bercak hijau kecoklatan menempel di dinding rumah.
Rudi Siswanto (38), juragan batik dari Rumah Batik Kidang Mas, juga berkali-kali memperbaiki rumah kuno peninggalan leluhur. Di rumahnya, setiap bulan ada saja bagian rumah yang harus diperbaiki, seperti kayu keropos, genteng bocor, dan tembok berlumut.
Untuk memperbaiki rumah, ia memanggil tukang yang sudah seperti ”karyawan” karena bekerja setiap hari sepanjang tahun. ”Kalau bulan ini tukang memperbaiki pagar di depan rumah, bulan depan dan seterusnya dia memperbaiki hal lainnya. Tahu-tahu sudah setahun saja dan tukang itu masih bekerja di sini memperbaiki rumah,” kata Rudi.
Tambal sulam untuk memperbaiki bangunan memang sudah lazim dilakukan oleh pemilik rumah kuno. Cara ini menelan biaya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan memperbaiki rumah secara keseluruhan. Biaya untuk membeli material bangunan, seperti semen, kayu, pasir, cat, dan genteng, seperti tidak habis-habis.
Belum lagi material bangunan rumah kuno biasanya sudah sulit didapatkan. Orang-orang pun harus berburu material bangunan dari rumah tua yang dibongkar atau bahkan ada yang mencari material bangunan di kota lain.
Dalam memperbaiki rumah, fokus utama Rudi terletak pada bagaimana membuat bangunan menjadi hunian yang nyaman. Apalagi, di rumahnya juga ditinggali oleh ibu yang sudah lansia dan anak-anak balita. Rumah yang lembab dikhawatirkan bisa mengganggu kesehatan.
Di rumahnya, yang terletak di Desa Babagan, Lasem, ia menaruh perhatian lebih pada bagian ruang tengah. Di bagian ini terdapat altar untuk sembahyang dan kamar tidur. Meja abu yang berada di altar usinya sudah ratusan tahun. ”Saya enggak berani otak-atik bagian itu. Geser sedikit bisa rusak,” kata pria yang merupakan generasi keenam dari pemilik rumah.
Mandat keluarga
Secara rutin, Rudi mengecek dinding rumah. Kondisi kayu rumah juga diperhatikan agar bebas rayap dan ngengat. Upaya Rudi dalam merawat rumah kuno meneruskan mandat keluarga yang sebelumnya dipegang oleh orangtua, terutama ibu Tjan Djoen Nio (Djoeniati). Selain merawat rumah kuno, keluarga ini juga dipercaya merawat makam leluhur di Lasem.
Merawat peninggalan leluhur memberi kebanggaan dan beban sekaligus. Rasa bangga muncul karena Rudi senang bisa menjaga warisan dari para pendahulunya. Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan tergolong tak biasa. ”Saya, sih, enjoy saja karena ini sudah tradisi,” katanya.
Kalau punya rezeki lebih, Rudi ingin merehabilitasi rumah secara keseluruhan tanpa mengubah bentuk asli bangunan, misalnya dengan mengganti kayu yang rapuh dan memperbaiki konstruksi bangunan pendopo yang sudah miring.
Meski untuk merawat bangunan kuno ini pemilik rumah harus mengetatkan ikat pinggang, selalu ada kebanggaan merawat rumah-rumah kuno yang merupakan warisan leluhur.
Ekawatiningsih, pemilik Rumah Batik Lumintu, merawat rumah kuno mengikuti pesan sang ibunda. ”Ibu saya yang paling berjasa. Kalau ibu tidak kuat iman, barang-barang antik di dalam rumah sudah dijual,” ujarnya.
Hasil dari upaya menjaga warisan leluhur itu kemudian bisa dinikmati oleh generasi yang lebih muda, termasuk Eka. Merawat bangunan kuno sebagai warisan berharga generasi selanjutnya menjadi semangat Eka dalam mempertahankan rumahnya.
Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia Nadia Rinandi mengatakan, merawat bangunan kuno tidak sulit asalkan bangunan itu dipakai untuk kegiatan sehari-hari.
”Misalnya, rumah dipakai untuk kegiatan bimbingan belajar atau untuk kegiatan membatik. Kalau rumah dipakai untuk kegiatan, dengan sendirinya rumah dibersihkan, dilap, dipel, atau kalau ada genteng bocor jadi diperbaiki,” katanya.
Pada 24-28 Mei 2021, Tim Ahli Cagar Budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pendataan terhadap 215 bangunan bersejarah yang ada di Lasem. Pendataan ini dilakukan untuk menyambut Lasem sebagai kawasan cagar budaya nasional.
Menurut Nadia, dalam pendataan terlihat bagaimana warga Lasem berusaha melestarikan kondisi rumah kuno peninggalan leluhur. Selain untuk tempat tinggal, rumah-rumah itu dipakai juga sebagai penginapan atau tempat usaha.
”Dengan menjadikan rumah sebagai tempat usaha, ada upaya untuk merawat rumah-rumah kuno ini,” katanya.
Sementara itu, Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Junus Satrio Atmojo menuturkan, merawat rumah kuno yang menelan biaya tinggi memang selalu menjadi tantangan bagi kawasan cagar budaya nasional. Selain tantangan perawatan, tantangan lain yang juga muncul adalah status kepemilikan rumah dan juga beban pajak yang tinggi.
Dengan tantangan-tantangan ini, banyak orang kemudian menjual rumah atau menghancurkan rumah untuk dialihfungsikan sebagai lahan parkir dan toko. ”Sebaiknya jangan seperti itu. Kita harus memelihara rumah kita karena ini mencerminkan kekayaan dan karakter masyarakat yang tidak bisa ditemukan di tempat lain,” katanya.