Facebook Bakal Tutup Grup yang Kerap Menyebar Hoaks
Facebook akan menutup grup yang membiarkan penyebaran hoaks. Pengguna Facebook yang terdeteksi sering mengunggah konten melanggar di suatu grup, haknya untuk membuat grup dan mengundang pengguna lain akan dicabut.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Raksasa media sosial Facebook mengumumkan memperketat pengawasan kebijakan berperilaku penggunanya dalam berinteraksi di sebuah grup. Langkah tegas penutupan grup akan dilakukan terhadap grup yang terdeteksi terus-menerus membiarkan penyebaran konten hoaks atau misinformasi.
Pada Kamis (18/3/2021) waktu Indonesia, Facebook mengumumkan serangkaian kebijakan baru yang dirancang untuk membatasi pengaruh dari pengguna dan grup Facebook yang terdeteksi menjadi sumber penyebaran misinformasi dan ujaran kebencian. Perwakilan Facebook di Indonesia mengonfirmasi pada Jumat (19/3/2021) bahwa kebijakan berikut juga segera berlaku di Indonesia.
Pertama, Facebook akan memberikan peringatan bagi pengguna yang ingin bergabung ke dalam sebuah grup yang telah terdeteksi banyak mengandung konten hoaks, ujaran kebencian, dan hal lain yang melanggar Facebook Community Standards.
Konten yang melanggar Community Standards, antara lain, mengandung ataupun memicu kekerasan, penipuan, dan tindakan kriminal. Lalu, juga menampilkan tindakan bunuh diri, eksploitasi seksual, perundungan (bullying), ujaran kebencian terhadap SARA dan orientasi seksual, hingga pemalsuan identitas, spam, berita bohong, dan manipulasi konten.
Lalu, jika sebuah grup terdeteksi memiliki anggota yang sering mengunggah konten-konten yang melanggar, Facebook akan mewajibkan setiap konten hanya bisa dipublikasikan di grup tersebut melalui moderasi admin grup. Namun, jika si admin tetap memperbolehkan konten tersebut dipublikasikan, Facebook akan langsung menutup grup tersebut.
Facebook mengumumkan serangkaian kebijakan baru yang dirancang untuk membatasi pengaruh dari pengguna dan grup Facebook yang terdeteksi menjadi sumber penyebaran misinformasi dan ujaran kebencian.
Bagi pengguna yang terdeteksi sering mengunggah konten melanggar di suatu grup, haknya untuk membuat grup dan mengundang pengguna lain untuk bergabung di suatu grup akan dicabut. Pengguna tersebut juga akan secara periodik dihilangkan kemampuan untuk mengunggah konten dan berkomentar di grup mana pun.
Konten dari sebuah grup yang terdeteksi memiliki konten melanggar Community Standards juga akan ditekan distribusinya di News Feed atau aliran konten utama di beranda pengguna sehingga lebih ”tenggelam”.
”Penting bagi kami untuk pengguna bisa berinteraksi di dalam grup Facebook dengan aman dan nyaman. Ini menjadi alasan kami untuk terus menekan penyebaran konten berbahaya, seperti ujaran kebencian dan misinformasi,” kata VP Engineering Facebook Tom Alison.
Secara terpisah, co-founder dan fact-check specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aribowo Sasmito, menilai ini adalah langkah yang baik dari Facebook.
Bagi pengguna Facebook yang terdeteksi sering mengunggah konten melanggar di suatu grup, haknya untuk membuat grup dan mengundang pengguna lain untuk bergabung di suatu grup akan dicabut.
Berdasarkan pengamatannya selama ini, memang ada sejumlah grup yang menjadi tempat langganan penyebaran hoaks dan konten negatif lainnya. Terlebih lagi keberadaan grup yang tertutup atau private membuat lebih susah diawasi.
”Meskipun sudah dilaporkan, masih saja grup dan anggotanya bebas melanjutkan,” kata Aribowo.
Meski demikian, masih harus tetap dikawal apakah langkah Facebook ini dapat secara efektif menekan penyebaran hoaks dan konten negatif lainnya. Adanya peringatan terhadap suatu grup yang berisi konten negatif, misalnya, sangat mungkin diabaikan oleh pengguna jika konten grup tersebut sesuai dengan ”selera” si pengguna.
”Sebetulnya yang benar-benar bisa menentukan apa yang masuk dan keluar dari media sosial adalah pengguna, seketat apa pun platform berusaha mengendalikan penggunanya,” ujarnya.
Aribowo mengatakan, di Indonesia, Facebook memang menjadi platform media sosial tempat hoaks paling banyak ditemukan. Berdasarkan pemetaan tahunan terbaru Mafindo, yakni 2019, sebanyak 718 atau 68,9 persen dari total hoaks berasal dari Facebook. Sisanya terdeteksi di Twitter dan Whatsapp.
Namun, kemampuan penyebaran hoaks melalui aplikasi pesan instan, seperti Whatsapp dan Telegram, juga sulit untuk diperkirakan karena karakteristiknya yang sangat privat dan tertutup.
”Walaupun dibilang media sosial yang ’buat orang tua’, Facebook masih menjadi media yang paling populer digunakan untuk menyebarkan hoaks,” kata Aribowo.
Facebook memang masih menjadi media sosial yang paling populer di Indonesia. Berdasarkan survei internet Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2019-2020, sebanyak 89,3 persen dari 196,7 juta pengguna internet Indonesia pernah menggunakan Facebook.