Mencapai Puncak Tetaplah Tujuan, Pulang ke Rumah adalah Keharusan
Menetapkan puncak sebagai bonus dan pulang ke rumah sebagai tujuan dalam pendakian gunung dapat mendegradasi motivasi. Tanpa tujuan, persiapan mendaki sebuah gunung tidak akan matang.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengumpulkan motivasi dalam sebuah pendakian gunung menjadi hal yang penting dalam tahap perencanaan. Dengan menjadikan puncak sebagai tujuan, persiapan yang dilakukan akan jauh lebih matang.
Dalam konteks pendakian gunung, Muhammad Maahir Abdullah mempunyai prinsip yang berbeda dari kebanyakan orang. Banyak orang menganggap rumah adalah tujuan utama, sedangkan puncak hanyalah bonus. Bagi Maahir, puncak tetaplah tujuan utama, sementara pulang ke rumah adalah keharusan.
”Kalau tujuannya puncak, kita harus ke sana dengan manajemen yang matang,” katanya dalam webinar Manajemen Ekspedisi Pendakian dan Penjelajahan yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pendaki Gunung dan Penjelajah Alam (Pataga) Indonesia pada Minggu (14/3/2021).
Maahir merupakan anggota Pataga Indonesia yang baru saja menuntaskan misinya menjelajah Nusantara pada 2020. Selama 975 hari, dia bersepeda mengelilingi 34 provinsi sekaligus mendaki tujuh puncak gunung tertinggi di Indonesia. Termasuk Puncak Cartensz di Pegunungan Jayawijaya, Papua, yang memiliki ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Menurut Maahir, sebuah ekspedisi, baik pendakian gunung, penjelajahan, maupun penyelaman, membutuhkan persiapan yang matang. Menurut dia, hal pertama yang harus dipersiapkan adalah motivasi. Motivasi ini yang membuatnya lebih siap untuk mencapai tujuan.
”Saya punya mimpi melihat salju di Cartensz sejak SD. Waktu itu guru saya bilang satu-satunya salju yang ada di Indonesia itu suatu saat akan mencair. Makanya saya mau lihat langsung ke sana sebelum salju hanya jadi dongeng,” ungkapnya.
Sebuah ekspedisi, baik pendakian gunung, penjelajahan, maupun penyelaman, membutuhkan persiapan yang matang. Hal pertama yang harus dipersiapkan adalah motivasi. Motivasi ini yang membuat lebih siap untuk mencapai tujuan.
Motivasi ini yang membuat Maahir enggan menyerah meski sempat tiga kali gagal naik dari Timika, Papua, ke puncak Cartensz. Karena memiliki keinginan yang kuat, dia berhasil naik dengan rencana cadangan yang dia siapkan.
Persiapan lain yang tidak kalah penting adalah melakukan uji coba. Sebelum memulai ekspedisinya pada tahun 2018, Maahir terhitung melakukan tiga kali uji coba.
Uji coba pertama dilakukan tiga tahun sebelumnya, yakni pada 2015 dengan bersepeda keliling Jawa Barat. Uji coba kedua dilakukan pada 2016 dengan bersepeda Jakarta-Yogyakarta dan mendaki tujuh gunung. Pada 2017, dia melakukan uji coba terakhir dengan bersepeda Jakarta-Bali dan mendaki 14 gunung.
”Banyak pesepeda atau pendaki gunung tanpa persiapan yang matang. Saya menyiapkan ekspedisi ini dalam kurun waktu yang tidak sebentar,” katanya.
Uji coba tersebut secara tidak langsung akan mengasah kemampuan adaptasi Maahir. Dari situ dia berlatih menghadapi kendala-kendala yang mengancam.
Dari uji coba tersebut, misalnya, dia bisa menentukan jenis ban apa saja yang harus dia bawa selama perjalanan. Dia juga bisa menentukan perlengkapan apa saja yang bisa dia beli selama perjalanan agar beban sepedanya lebih ringan.
”Kalau saya lewat kawasan pelosok, maka logistik yang harus dibawa cukup untuk perbekalan. Kalau melewati perkotaan, tidak perlu itu. Kita bisa beli,” ujarnya.
Selanjutnya, penting bagi penjelajah untuk beradaptasi dengan masyarakat setempat dan mengenali kearifan lokal di sana. Sebab, banyak informasi yang dapat diulik dari warga setempat agar ekspedisi berjalan lebih aman dan kondusif. Dalam hal ini, mengenali bahasa setempat menjadi poin penting.
”Saya hampir salah paham saat bersepeda dari Nabire ke Dogiyai. Ada warga bilang saya ini bahaya. Saya kira saya mengancam dia, ternyata bahaya di sana artinya hebat. Di sini pentingnya kita memahami bahasa mereka,” tuturnya.
Menurut Maahir, persiapan dalam sebuah ekspedisi yang memiliki banyak lokasi tujuan seperti yang dilakukannya lebih kompleks dibandingkan ekspedisi dengan satu lokasi. Khususnya dalam hal mencari sumber pendanaan atau sponsor. Hal ini bisa diakali dengan membuat persiapan yang berbeda pada tujuan masing-masing.
”Proposal saya ditolak oleh banyak kementerian karena jenis ekspedisi saya berkeliling. Akhirnya saya pisahkan proposal-proposalnya. Saya pisah berdasarkan kegiatannya mulai dari bersepeda, mendaki gunung, menyelam hingga membuat taman baca," katanya.
Tim pendukung
Menurut pendiri Pataga Indonesia, Nungki Poernomo, peran tim pendukung dalam keberhasilan ekspedisi juga sangat krusial. Dalam sebuah ekspedisi pendakian gunung, semua anggota tim tidak perlu mencapai puncak. Cukup satu atau dua anggota tim. Sementara yang lain mendukungnya.
”Seperti sepak bola, yang perlu mencetak gol adalah penyerang. Tapi dia harus didukung oleh anggota tim lain,” katanya.
Pada tahun 1988, Nungki pernah ditunjuk menjadi anggota tim pendukung ekspedisi pendakian Gunung Eiger di Swiss oleh Pataga Indonesia. Menurut dia, banyak hal yang perlu dipersiapkan saat itu, misalnya melakukan survei lokasi dan menyiapkan perlengkapan.
”Kami bekerja sama dengan lembaga pemantau cuaca di sana untuk memastikan tim kita mendaki di cuaca yang baik,” ujarnya.
Nungki juga harus memikirkan cara untuk menyuplai makanan kepada para pendaki. Sebab, tidak mungkin pendaki melakukan perjalanan selama dua pekan sambil membawa bekal makanannya.
Jenis makanan yang disiapkan juga harus menunjang performa para pendaki. Makanan yang dibawa harus mengandung banyak kalori dan tidak boleh mengandung karbohidrat. Sebelum berangkat, para pendaki harus dibiasakan dengan pola konsumsi tersebut.
”Selama perjalanan, pendaki tidak boleh bawa nasi atau mi. Kami ganti dengan cokelat. Mereka harus makan 500 gram cokelat sehari,” katanya.
Ketua Tim Pendakian Puncak Cartensz Pataga-Kopassus tahun 1990, HR Sulistyanto, mengatakan, keberhasilan sebuah ekspedisi bukan ditentukan oleh keahlian yang dimiliki oleh pendakinya. Keberhasilan akan ditentukan oleh kemauan yang keras.
”Secara teknik, pasti pendaki-pendaki sekarang sudah jauh lebih hebat. Tetapi, untuk menerobos halangan dibutuhkan kemauan yang keras,” katanya.
Sebagai ketua ekspedisi saat itu, Sulistyanto mengaku tidak pernah memuji para anggota timnya. Di matanya, semua anggota selalu melakukan kesalahan. Dia menilai, hal itu yang membuat mental anggotanya terlatih.
”Kalau dipuji, mereka akan merasa dirinya hebat. Hal ini yang dapat melemahkan semangat,” katanya.