Kikugawa di setengah abad lebih usianya kini harus menghadapi banyak persaingan dari sesama restoran Jepang di Jakarta, terutama di kawasan penyangga yang menjadi kantung-kantung hunian ekspatriat.
Oleh
Wisnu Dewabrata dan Sarie Febriane
·4 menit baca
Suara musik dari petikan koto yang syahdu melatari keheningan yang bersahaja di restoran mungil ini. Restoran Jepang, yang kini berusia lewat dari setengah abad itu, masih diam-diam berdiri dan bertahan di Jakarta. Halo Kikugawa, apa kabarmu?
Lima puluh dua tahun lalu, restoran itu didirikan seorang mantan serdadu Jepang di Perang Dunia II, Terutake Kikuchi, di negeri yang di akhir hayat menjadi Tanah Air keduanya. Nama Kikugawa merupakan perpaduan namanya, Kiku, dan Gawa, yang berarti sungai. Kiku juga berarti serunai atau krisan, bunga nasional Jepang. Sesuatu tentang sungai tampaknya disukai Kikuchi san. Seperti kesukaannya kepada lagu ”Bengawan Solo”, ciptaan maestro Gesang.
Kikuchi sendiri telah meninggal sekitar satu dekade silam. Namun, warisannya ini tetap terawat meski tetap dengan ciri khas kebersahajaannya. Kursi-kursi rotan lawas pun masih dipertahankan, begitu pula beberapa hiasan dinding.
Selain atmosfer interior restoran, Kikugawa memang berupaya mempertahankan orisinalitas menu masakan mereka sejak pertama didirikan, seperti disampaikan Manajer Umum Restoran Kikugawa Yoanita Dwi Cahyo saat ditemui pada Rabu (10/2/2021).
”Awalnya dahulu ada menu-menu makanan yang disajikan secara beragam dan bertahap ala makan malam tradisional Jepang (kaiseki-ryōri). Caranya kurang lebih mirip seperti metode fine dining ala Eropa di mana menu-menu makanan diantarkan satu per satu ke meja tamu,” tutur Yoanita.
Cara itu dimungkinkan karena dahulu kebanyakan pelanggan Kikugawa memang masih dari kalangan orang Jepang. Akan tetapi, seiring waktu, jumlah konsumen orang Jepang berkurang dan tergantikan pelanggan orang Indonesia. Kini, menu hidangan yang disajikan bisa dipesan lebih fleksibel, baik berbentuk satuan ataupun paket-paket menu, yang tentunya disesuaikan selera pemesan.
”Sejak 1998 hingga awal 2000-an jumlah pelanggan asal Jepang mulai turun. Hingga tahun dua ribu belasan, pelanggan kami kebanyakan sudah orang Indonesia. Termasuk juga soal pilihan ikan. Dahulu masih ada disajikan tuna selain salmon, baik untuk sushi, sashimi, atau menu yang dibakar atau steam,” ujar Yoanita.
Menurut Yoanita, di setengah abad lebih usianya, Kikugawa kini harus menghadapi banyak persaingan dari sesama restoran Jepang di Jakarta, terutama di kawasan penyangga yang menjadi kantung-kantung hunian ekspatriat.
”Akibatnya, kebutuhan para ekspatriat Jepang untuk pergi ke pusat (Jakarta) relatif semakin jarang. Tahun 2000-an adalah titik terendah kami. Tamu harian tak lebih dari lima orang. Padahal, tahun 1990-an, tamu yang datang masih bisa mencapai ratusan orang dan sebagian besar ekspatriat Jepang,” ujar Yoanita.
Lokasi serta penataan ruangnya terus dipertahankan hingga sekarang diyakini justru memberi nilai lebih untuk bisa mendatangkan para tamu dan pelanggan. Upaya promosi juga sempat dilakukan dengan menggelar acara workshop Ikebana, yang lumayan sukses, tetapi terhenti akibat pandemi.
Orisinalitas rasa
Namun, terlepas dari semua upaya tadi, satu hal terpenting yang juga masih terus dijaga adalah orisinalitas rasa beragam hidangan Jepang yang disajikan di restoran ini.
Semisal pilihan Ume dan Kikugawa Set, yang masing-masing di dalamnya terdapat aneka sajian menu lezat. Ume Set terdiri dari beberapa masakan seperti yang disajikan sejak dahulu. Mulai dari tempura, sashimi salmon, sushi salmon, semangkuk besar sukiyaki yang aromanya mengundang, yakitori, dan semangkuk kecil sup miso.
Elemen menu paling istimewa dan menarik di set menu ini adalah sajian sukiyaki. Bintang utama sukiyaki ini adalah irisan tebal daging sapi bagian punggung (tenderloin), yang diracik terlebih dahulu ala metode kanto, alias direbus terlebih dahulu sebentar dengan bumbu-bumbu hingga aroma dan rasanya lebih meresap.
Keistimewaan lainnya juga terdapat pada pilihan sayuran sawi putih dan bayam, yang sedikit memberi tekstur saat dimakan. Keberadaan sayur bayam sendiri merupakan penyesuaian karena komponen sayur shungiku (Glebionis coronaria) atau crown daisy sulit diperoleh di Jakarta. Selain itu juga ada tambahan mi shirataki, tahu putih yang empuk, dan telur apung (poached egg)
Masakan sukiyaki dari Kikugawa dahulu menjadi kesukaan Presiden Soekarno dan salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi (Naoko Nemoto). Itu yang sempat diceritakan Kikuchi pada Februari 2008 silam dalam wawancara dengan Kompas. Ia terlihat gagah dan segar di usianya yang 90 tahun.
Menurut putra bungsunya, Tommy Paat, ketika itu, Kikuchi sebelumnya selalu enggan menerima wawancara media. Namun, dalam obrolan lebih dari satu jam menjelang waktunya ia tidur siang kala itu, Kikuchi bercerita banyak. Termasuk soal Bung Karno yang pernah harus memaksanya untuk berfoto bersama. Ia tertawa tipis saat mengenang serpihan kenangannya bersama Sang Presiden. ”Saya kurang suka foto,” kata Kikuchi.
Selain sukiyaki yang sarat kenangan tersebut, dalam Ume Set juga tersaji sushi dan sashimi daging ikan salmon segar, yang diiris tebal, dua tusuk sate ayam khas Jepang atau yakitori, serta beberapa potong tempura udang dan sayuran. Menikmati Ume Set memang jadi terasa memuaskan, bak hidangan sapu jagat.
Pada set menu kedua, yaitu Kikugawa Set A, kelezatan dihadirkan lewat pilihan chicken katsu dan ikan gindara. keduanya diolah dengan dengan siraman saus teriyaki. Daging ikan gindara terasa istimewa karena juga dipanggang sambil beberapa kali dicelup ke dalam saus teriyaki. Selain itu, kehadiran bakso ikan tuna (tuna ball), sayuran selada, dan tahu goreng tepung yang disiram saus tempura juga menjadi teman nasi pulen, yang juga disajikan di menu set ini.